********
Tak terasa hampir satu semester hubungan Biru dan Jingga berjalan. Tidak ada kata bosan dari keduanya. Setiap harinya, mereka melakukan aktivitas dengan mengikuti list aturan yang telah mereka buat dulu.
Mulai dari berangkat dan pulang bersama, makan siang bersama, lalu pergi jalan-jalan atau ke taman bermain setelah pulang sekolah. Seperti anak kecil, mereka bermain dengan semua permainan yang tersedia di sana seperti ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, dan lainnya. Keduanya bahagia bermain bersama dan sesekali saling menjahili.
Tidak lupa, mereka juga melakukan kencan romantis setiap hari Minggu dan tanggal merah. Sebisa mungkin keduanya mencari ide atau konsep baru untuk kencan mereka agar terasa lebih berkesan dan tidak bosan seperti jalan-jalan ke mall, jalan-jalan di sudut kota, piknik di taman, pergi ke pantai, mengunjungi café yang kekinian serta tempat-tempat wisata ikonik di Bandung atau luar kota, dan masih banyak lagi.
Tidak berjalan mulus, terkadang mereka bertengkar kecil dan Biru selalu menjadi bagian yang membujuk di saat Jingga marah padanya karena cemburu dengan gadis-gadis fans gila di sekolahnya.
Biru memperlakukan Jingga dengan sangat baik. Tidak ada satu hari pun cowok itu menyakiti hatinya, membuat cinta Jingga tumbuh semakin besar meski sifat posesif dan pemaksa Biru tidak hilang, sepertinya memang sudah mendarah daging.
“Dikit lagi-dikit lagi, ayo, Kak, aku mau boneka lobak. . . ..” Jingga menyemangati dengan heboh Biru yang sedang berusaha mendapatkan boneka di claw machine. “Yaaa, gagal…” Gadis itu menatap kecewa boneka lobak yang tidak berhasil Biru capit.
Hari Minggu ini mereka memilih jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Keduanya nampak asyik bermain Arcade di Timezone. Mereka mencoba hampir semua permainan di sana dan bertanding dengan punishment untuk yang kalah harus mau mencium pipi yang menang. Tentu saja ini ide nakal Biru, tapi dengan polosnya gadis itu setuju-setuju saja.
Tidak ingin menyerah, Biru memasang konsentrasi penuh untuk berusaha mencapit boneka lobak yang Jingga inginkan.
“Yes.”
“Yeay, dapat.”
Seru keduanya. Gadis itu berseru senang, berjingkat-jingkat seperti anak kecil yang mendapatkan permen begitu Biru berhasil menangkap boneka sayur berbentuk lobak, dan tanpa sadar Jingga memeluk Biru.
“Thank you.” Ucap Jingga senang dengan suara yang dibuat imut seraya mengeratkan pelukannya.
Biru tersenyum gemas melihat tingkah Jingga yang begitu imut dan lucu di matanya. Ingin rasanya dia menggigit pipi gadis itu kalau tidak ingat mereka sedang berada di tempat umum.
“Makasih doang, nih?” Tanya Biru dengan tatapan penuh arti.
Jingga merengut sebentar, lalu matanya bergerak memperhatikan sekitar untuk kemudian berjinjint dan mencium dagu Biru sekilas.
Biru mengulum senyum senang, hatinya berbunga-bunga. Ini pertama kalinya dia mendapatkan ciuman dari Jingga. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di perutnya.
“Hey, itu bukan pipi.” Biru berpura-pura protes sambil mencolek ujung hidung Jingga yang mancung.
“Udah, jangan protes. Aku nggak mau ngelakuin itu untuk yang kedua kali.” Ujar Jingga sembari menarik diri, melepaskan pelukannya. Sungguh, sebenarnya dia sangat malu melakukan hal itu.
Biru berdecak kecil. “Curang.”
“Sebodo. Udah, ahh, ayo.” Gadis itu lantas meraih tangan Biru dan menuntunnya menuju photo box.
Mereka mulai memasang berbagai gaya saat masuk di ruangan snapshoot dan mulai berfoto. Mulai dari ekspresi formal, kalem, romantis, sampai ekspresi terjelek mereka lakukan, sesekali tangan dan bibir nakal Biru mengambil kesempatan memeluk dan mencium Jingga di sela-sela jepretan foto.
“Ihh, curang. Kok cuma kamu yang ganteng.” Keluh Jingga saat melihat hasil foto mereka. Foto dengan ekspresi manyun nampak jelek di matanya, tapi menggemaskan di mata Biru.
“Kan yang cantik itu kamu, Ji.” Sahut Biru menggodanya hingga membua Jingga tersenyum antara malu dan kesal.
“Apaan, sih? Makin pinter gombal kamu.” Jingga mendengus malas sambil melayangkan pukulan pelan di lengan bahu Biru.
“Kamu, tuh, cantik dengan ekspresi apapun. Mau gimanapun ekspresi kamu, aku tetap suka. Udah, ya, kita ambil hasilnya, nggak usah diulang.” Rayu Biru yang otomatis membuat pipi Jingga bersemu merah. Cowok itu kemudian menekan salah satu tombol dari mesin sehingga hasil fotonya keluar.
Biru mengambil hasil foto dan memberikannya satu pada Jingga untuk mereka simpan masing-masing.
“Mau nonton sekarang?” Tanya Biru.
“Uhm…” Jawab Jingga mengangguk cepat. Biru lantas menggandeng mesra tangan Jingga dan berjalan menuju gedung bioskop.
********
Setelah berhasil mendapatkan tiket film pilihannya, Jingga duduk di kursi tunggu, menunggu Biru yang mengantre di stand penjual popcorn dan cola.
Jingga tersenyum lebar menyambut kedatangan Biru yang berhasil mendapatkan satu cup besar popcorn dan cola yang diinginkannya. Keduanya lantas masuk ke dalam gedung bioskop dan duduk sesuai nomor yang tertera pada tiket.
Keduanya terdiam begitu film diputar. Tak ada satu pun dari mereka yang mulai membuka pembicaraan. Biru dan Jingga fokus pada film layaknya pengamat berita politik. Namun sesekali mereka saling menatap dan menahan tawa ketika tak sengaja tangan mereka bersentuhan saat akan mengambil popcorn dan cola.
Keadaan mendadak berubah canggung saat film memunculkan adegan ciuman panas. Wajah kedua remaja itu nampak menegang begitu melihat adegan tersebut, dan tanpa sadar, entah bagaimana awalnya tiba-tiba Biru menggenggam tangan Jingga dan meremasnya.
DEG….
Gadis itu mematung, darahnya seketika berdesir. Dia menahan napas, gugup karena pengaruh remasan tangan Biru pada telapak tangannya.
“Eungh….”
Biru tersadar dan dengan cepat menarik tangannya saat mendengar suara lenguhan kecil dari bibir Jingga.
“Maaf, Jii…” Bisiknya lirih. Dia salah tingkah, sesekali berdehem untuk menetralisir gugup yang menyelimutinya.
Jingga sendiri hanya mengangguk. Wajahnya trasa panas hingga rona merah muncul di sana. Beruntung ruangan di dalam gedung itu tidak terang akan cahaya.
Keduanya bergerak-gerak gelisah. Canggung satu sama lain. Jingga memilih untuk meminum cola sementara Biru memasukkan popcorn banyak-banyak ke dalam mulutnya.
********
“Makasih untuk hari ini.” Ucap Jingga tersenyum manis sambil melepaskan seatbelt sesaat setelah Biru menghentikan mobil di depan rumahnya.
Biru mendesis ngilu. “Senyumnya biasa aja, kali.” Ujarnya menatap wajah cantik Jingga dalam-dalam.
“Haah?” Gadis itu mengerutkan keningnya tak mengerti.
Biru mendekatkan kepalanya ke telinga Jingga untuk kemudian berbisik. “Manisnya keterlaluan.”
“Ihh, gombal terus dari tadi.” Jingga mencubit kecil pinggang Biru hingga membuat cowok itu terkekeh kecil karena lebih terasa seperti gelitikan.
“Aku turun, ya.” Pamitnya kemudian.
“Tunggu…” Biru menahan lengan Jingga yang bersiap membuka pintu mobil. Gadis itu hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Ini…..” Lalu dengan cepat Biru meraih wajah Jingga dan mencium pipi kanan dan kirinya secara bergantian. Senyum merekah langsung terbit di bibir kemerahannya.
Jingga sendiri sudah tidak terkejut lagi dengan hal ini. Mungkin menjadi terbiasa sekarang, dia hanya mendengus kecil.
********
Jingga melangkah senang, menaiki satu per satu anak tangga menuju kamarnya, gadis itu sesekali melompat kecil. Menggemaskan, dis seperti seekor anak kelinci.
Senyum mengembang tak bisa menyurut dari wajahnya. Kencan romantis hari ini bersama Biru terus terngiang di kepalanya.
“Aaaakh.” Jingga meredam suaranya dengan boneka lobak yang Biru dapatkan untuknya dari claw machine. Wajah gadis itu kembali memerah saking senangnya.
Jingga tidak menyangka jika keputusannya bersama Biru akan menjadi semenyenangkan ini.
“Kamu dari mana?”
“Oh My God.” Pekik Jingga berjengit kaget melihat Langit bersandar di depan pintu kamarnya, sedang menatapnya dengan tatapan kosong.
“Ya ampun, Laaaang. Kamu ngagetin tahu, nggak?” Protes Jingga mengusap-usap dadanya, lalu memberi instruksi tangan agar Langit menyingkir karena menghalangi jalannya untuk masuk.
“Kamu habis dari mana, Ji?” Tanya Langit mengikuti langkah Jingga ke dalam kamar.
“Jalan-jalan.” Jawab Jingga sambil melempar sling bag warna kuningnya ke sembarang tempat, lalu berjalan menuju balkon dan duduk di kursi yang tersedia di sana diikuti Langit.
Langit memutar bola matanya jengah. “Ke mana? Sama siapa? Kok nggak ngajak aku?”
“Ke Mall doang, Lang.” Jawab Jingga tanpa menoleh ke arah Langit. Mata jernihnya memandang langit malam yang tak berbintang, mungkin karena faktor cuaca.
Langit menghela napas sambil memejamkan matanya sebentar. “Sama siapa?”
Pertanyaan Langit yang diulang itu membuat Jingga terdiam, juga merasa bersalah karena selama hampir tujuh bulan ini dia menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Biru. Terang saja karena Jingga dan Langit sudah tumbuh besar bersama dan selalu menghabiskan banyak waktu bersama pula jauh sebelum Biru datang kke dalam kehidupan Jingga.
“Ji….” Sentak Langit membuat Jingga berjengit kaget.
“Ehh, iya. Itu sama – teman.” Jawab Jingga gelagapan, membuat Langit menatapnya curiga.
“Nggak usah bohong sama aku. Kamu nggak pernah jalan sama teman lain selain aku.” Sahut Langit berhasil menangkap kebohongan di mata Jingga. “Aku kayaknya kenal mobil yang nganterin kamu tadi. Mobil itu juga yang suka tiap hari antar jemput kamu sekolah, kan?”
Kembali terdiam. Jingga tidak bisa mengelak lagi. Tidak pada Langit.
Meski Jingga tidak bercerita, Langit tahu. Dia mengawasi gadis itu dari jauh. Jelas saja karena dia heran tiba-tiba Jingga jarang bermain dengannya lagi. Terlebih saat Jingga memintanya untuk tidak perlu berangkat atau pulang sekolah bersama lagi.
“Biru, kan?” Langit memastikan.
Gadis itu terdiam sejenak, menatap Langit dengan perasaan bersalah. “Maaf, Lang. Aku nggak cerita sama kamu.” Sesalnya.
“Jadi bener?”
Mendengar pertanyaan itu Jingga hanya mengangguk malu-malu.
“Cieee, udah punya pacar sekarang.” Ledek Langit sambil mengacak rambut Jingga.
Gadis itu mendengus. “Tapi kamu nggak marah, kan?”
“Hah?” Kening Langit merengut dengan satu alis tebalnya terangkat. “Marah kenapa?”
“Yaaa karena aku nggak cerita.” Jawab Jingga masih diselimuti perasaan tidak enak hati.
Langit tertawa kecil dengan tangan terulur mengacak rambut Jingga sekali lagi. “Enggak, lah. Ngapain marah? Malah aku ikut seneng. Kamu seneng, kan, jadi pacarnya cowok paling ganteng di sekolah?”
“Ish, apaan, sih?” Jingga memukul pelan lengan Langit sambil menahan senyum malu-malu.
“You deserve it. I’m so happy for you.” Ucap Langit tulus sembari menyikut pelan lengan bahu Jingga.
Jingga menggigit bibir bawahnya sambil menahan senyum malu-malunya. “Thanks.”
“Cieee, malu-malu.” Ledek Langit lagi sambil menunjuk pipi Jingga yang memerah. Gadis itu hanya mendelik sebal.
“Tapi aku agak kecewa, sih.” Langit menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. Jingga sendiri hanya menatapnya penuh tanya. “Soalnya kamu nggak langsung cerita. Terus belakangan ini jadi jarang banget main dan jalan-jalan sama aku. Kita juga udah jarang banget main tenis.”
“Maaf, deh. Gimana kalo Sabtu depan kita ke klub tenis?” Tawar Jingga membuat Langit mengembangkan senyumnya.
“Yang bener?” Tanya Langit sangsi.
Jingga mengangguk yakin. “Yep. Janji….” Lantas dia mengangkat satu jari kelingkingnya yang langsung disambut baik oleh Langit.
“Ohh, iya. Kita juga bisa jalan bertiga. Ntar aku kenalin kamu sama dia, deh.” Ujar Jingga setelah menarik jari kelingkingnya. Matanya berbinar membayangkan dirinya, Biru, dan Langit pergi bersama dan bersenang-senang. Mereka bisa berteman dengan baik.
“Iih, ogah. Ntar malah jadi embek congek aku. NO.” Langit menyilangkan kedua tangannya sambil menggeleng penuh penolakan. Jingga hanya mendengus sebal melihatnya.
Tapi Langit tidak benar-benar menolak. Dia hanya bergurau, dia tidak akan keberatan. Tidak apa-apa menambah satu teman lagi, mungkin akan lebih menyenangkan.
“Ohh, iya. Kamu jangan bilang-bilang sama Ayah, ya?” Pinta Jingga, mengingat mulut Langit sangat ember pada orang tuanya.
Langit terdiam sejenak seolah sedang berpikir, sejurus kemudian senyuman jahil tersungging di kedua sudut bibirnya. “Ayaaaaah……….”
“Iiih, Langiiiit.” Geram Jingga kesal dengan segera berdiri dan membekap mulut Langit. Sahabatnya itu benar-benar menyebalkan.
“Ayah Jingga udah punya pa – embbbb.”
Teriakan Langit kembali Jingga bungkam sekuat-kuatnya. Malam itu keduanya berbincang cukup lama terlebih Jingga menceritakan banyak hal tentang Biru, saling melempar candaan, juga terkadang saling memukul. Gelak tawa mereka menggelegar, bersahut-sahutan dengan nyanyian binatang malam kala itu.
********
To be continued. . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Salsadilla
second lead yang jadi sadboy pasti langit.
2023-01-24
0
Mei Shin Manalu
2 like
2021-01-20
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
jejak..jejk..jejak..🐾🐾🐾
2021-01-15
0