********
“Oke. Kalau gitu ayo kenalan. Aku Biru. What’s your name?” Tanya cowok bernama Biru itu seraya mengulurkan tangannya.
Jingga memandang ragu uluran tangan Biru sebelum akhirnya menerima untuk meraih uluran tangan tersebut. “Jingga.”
“So, sekarang mau pulang bareng aku?” Tanya Biru lagi dengan senyum hangat yang tak memudar di wajahnya.
“Maaf, jemputan aku udah on the way ke sini.” Jawab Jingga sambil mengulas senyum tipis yang canggung.
“Oke, lain kali aja kalau gitu. Tapi, jangan nolak aku temenin di sini sampai jemputan kamu datang.” Biru kemudian bergerak untuk duudk di sebelah Jingga hingga membuat gadis itu otomatis menggeser posisinya untuk memberi jarak, dirasa jarak duduk mereka terlalu dekat dan nyaris saling menempel.
“Kalau nggak ngerepotin.” Jingga mengangguk canggung, lalu melihat jalanan di sekitar halte yang cukup sepi. Dia pikir, tidak ada ruginya jika Biru menemaninya.
Sesaat suasana heniing. Hanya suara hembusan angin yang mengambil alih percakapan di antara mereka, terkadang ada deru mesin kendaraan yang tiba-tiba lewat.
“Eung, who are you, Biru?” Jingga mencoba untuk membuka percakapan. Selain itu, dia juga penasaran dengan sosok cowok yang duduk di sebelahnya ini. Merasa tidak pernah melihatnya selama dia masuk SMA.
“Malaikat.” Jawab Biru sekenanya.
Jingga yang mendengar jawaban Biru memutar bola matanya malas, wajah cantiknya merengut lucu hingga membuat Biru yang melihatnya merasa gemas.
“Udah, ahh, males ngomong sama makhluk yang beda spesies.” Jingga memalingkan pandangannya ke arah jalanan di depannya.
Biru menahan tawa mendengar ucapan Jingga sebelum kemudian dia berujar. “Emang kamu nggak pernah lihat aku?”
“I think, this is the first I met you.” Jawab Jingga. Sementara Biru hanya tersenyum geli. “So, you are my junior, classmate, or senior?” Tanya Jingga lagi, gregetan. Tapi Biru malah kembali tersenyum.
“Yang bener kamu nggak pernah lihat aku?” Biru balik bertanya, membuat Jingga sedikit jengkel.
Jingga menggeleng lemah. “Apa kamu cowok populer, si the most wanted, atau anggota F4?” Gadis itu lantas tersenyum geli dan sinis sekaligus, merasa sebal karena Biru tidak menjawab pertanyaannya.
Biru terkekeh geli mendengar rentetan pertanyaan Jingga, dan tentu saja karena ekspresi Jingga yang begitu menggemaskan juga.
“Haha, kamu kira ini Meteor Garden atau Boys Over Flowers? Nggak ada hal kayak gitu di sekolah kita.” Sahut Biru seraya mengusap sudut matanya yang berair menggunakan ibu jarinya. Sementara Jingga hanya mendengus kesal.
“Jingga, mungkin kamu lupa kalau sebelumnya kita pernah ketemu.” Ucap Biru kemudian.
“Ohh, ya?” Jingga mengerjap lugu, lalu keningnya merengut, berusaha mengingat kapan dirinya pernah bertemu dengan Biru.
“Waktu itu kamu nggak sengaja nabrak dan bikin semua buku yang aku bawa jatuh semua.” Jelas Biru mengingatkan.
Mendengat itu, mata Jingga membulat lebar seiring dengan otaknya yang otomatis mampu membuka memori saat kejadian itu berlangsung. Saat itu Jingga memang tidak memperhatikan orang yang ditabraknya karena terlalu buru-buru.
“Wahh, beneran itu kamu? Kebetuan banget.” Jingga cukup speechless.
“Apa aku kelihatan lagi bohong?” Tanya Biru sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Jingga, meraasa gemas karena gadis itu menatapnya seolah tak percaya.
Mata Jingga mengerling jahil. “Eum, wajah kamu emang kayak tukang bohong, sih.” Cibirnya kemudian seraya menjauhkan wajahnya, lalu berpura-pura merapikan rambut, karena berada sedekat itu dengan Biru membuatnya gugup.
Biru yang mendengarnya mendengus kesal sekaligus geli. Sementara Jingga terkekeh melihat ekspresi cowok itu.
“Ternyata kamu ngeselin ju–” Ucapan Biru tergantung begitu saja saat tiba-tiba sebuah Pajero Sport warna hitam berhenti di depan mereka. Diiringi dengan suara lelaki paruh baya yang memanggil nama Jingga.
“Jingga, ayo pulang.” Ucap lelaki paruh baya dengan sedikir menurunkan kaca mobilnya.
“Ehh, aku duluan, ya. Makasih udah mau nemenin aku.” Pamit Jingga sebelum kemudian masuk ke mobil. Biru tersenyum mengangguk dan memperhatikan kepergian mobil yang Jingga tumpangi sampai hilanng dari pandangannya.
********
Jingga melempar tas sekolahnya sembarang ke atas sofa di kamarnya. Dia kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu, napasnya tampak naik turun dengan teratur, pandangannya kosong menatap langit-langit kamar.
Ingatan saat dia bertemu dengan Biru tiba-tiba berputar begitu saja seperti sebuah video. Rasa penasaran terhadap si pengirim foto yang ingin dia temuipun kini berganti dengan sosok Biru.
Jingga menggelengkan kepalanya begitu sadar. “Kenapa malah mikirin dia, sih?” Dia lalu mengusap penuh wajahnya, berharap wajah tampan Biru hilang dari pikirannya.
Detik berikutnya, Jingga memilih untuk tidur karena tubuhnya memang sangat lelah. Perlahan, matanya mulai terpejam. Namun baru saja matanya tertutup, Bunda membuka pintu kamar tanpa aba-aba hingga membuat Jingga terkejut dan beringsut duduk. Tatapan kesal otomatis dia layangkan pada Bunda.
“Ji, Ji. Kata Ayah tadi kamu ditemenin sama cowok?” Tanya Bunda heboh sambil mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur Jingga.
“Iya, emang kenapa?” Jingga balik bertanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Bunda tersenyum dan memicingkan matanya penuh arti, lalu kembali melayangkan pertanyaan. “Ganteng?”
Jingga mengangguk polos, tidak menyangkal jika cowok yang tadi bersamanya memang tampan.
“Terus, dia siapa? Pacar kamu?” Tanya Bunda lagi, alisnya naik turun penuh arti.
Jingga memutar bola matanya malas, dia kira ada hal penting. Ternyata ibunya datang ke kamar untuk menanyakan hal seperti ini.
“Ya ampun, Bun. Aku cuma nggak sengaja ketemu dia tadi, terus dia baik aja mau nemenin sampai Ayah datang.” Jelas Jingga. “Besok-besok paling nggak bakalan ketemu lagi. Lagian kayaknya aku sama dia bukan seangkatan. Tahu deh adik kelas atau senior, I don’t care.” Lanjutnya kemudian sambil mengedikkan bahu tak peduli.
Jingga berpikir jika Biru akan menjadi seseorang yang hanya lewat atau tidak sengaja berpapasan saja. Dia pun tidak ingin mengetahui Biru lebih.
“Terus, dia kelihatan ada tertarik nggak sama kamu?” Rupanya Bunda tak mengindahkan penjelasan Jingga.
“Ya mana aku tahu, Bun. Aku, kan, bukan cenayang.” Jingga mendelik sebal.
“Ya siapa tahu aja dia tertarik, terus nanti bisa jadi pacar kamu gitu.” Ujar Bunda, membuat Jingga kembali memutar bola matanya malas.
“Apaan, sih, Bunda? Udah, ahh, males aku ngomongin pacar-pacaran.” Jingga hendak beranjak dari tempat tidur untuk mandi sekaligus melarikan diri dari Bunda, namun dengan cepat wanita yang sudah melahirkannya itu menahannya.
“Lho, kenapa? Kan udah gede, boleh kok kalau mau punya pacar. Tapi harus yang genteng.” Bunda mengedipkan sebelah matanya menggoda. Jingga yang melihatnya hanya mendengus geli.
“Tapi Ayah nggak ngebolehin, tuh.” Sahut Jingga, mengingat sang ayah yang selalu mewanti-wantinya untuk jangan berpacaran karena takut terjadi hal yang tak diinginkan terhadap anak gadisnya itu. Mungkin karena Jingga anak perempuan satu-satunya di keluarga, Ayah menjadi sedikit posesif padanya.
“Ahh, nanti juga dibolehin.” Ucap Bunda enteng.
“Siapa bilang?” Suara bariton tegas tiba-tiba terdengar di kamar Jingga, membuat Bunda sedikit terperanjat dan langsung nyengir kaku kea rah si pemilik suara, Ayah.
“Enggak ada pacar-pacaran. Jingga masih kecil, fokus belajar aja, kan katanya dia mau jadi dokter, Bun.” Imbuh Ayah terlihat serius.
“Kan Jingga kita udah pinter, Yah. Ayah tuh kayak nggak pernah muda aja, kita dulu juga pacaran dari kelas satu SMA, kok.” Protes Bunda. Sementara Jingga yang mendengar keributan kecil orang tuanya hanya mendesah malas.
“Dulu sama sekarang tuh beda, Bun. Gaya pacaran anak zaman sekarang tuh udah kelewat batas, nggak jarang Ayah lihat anak seumuran Jingga nggak malu peluk-peluk, cium-cium, atau pegang-pegang di depan umum. Dan lebih parah hamil di luar nikah, Ayah nggak mau kalau itu sampai terjadi sama Jingga.” Terang Ayah, mengingat kemajuan zaman benar-benar membawa banyak perubahan dalam banyak hal, termasuk cara berpacaran anak muda yang sudah menggeser budaya ketimuran di Indonesia.
“Tapi Jingga pasti tahu, kok, apa yang harus dan nggak boleh dia lakuin. Ya, kan, sayang?” Bunda masih keukeuh, pandangannya berlaih pada Jingga meminta persetujuan.
“Eung. . . .” Jingga teridiam sejenak, menatap Ayah dan Bunda bergantian. “A-aku mau mandi aja.” Lantas buru-buru dia beranjak dari tempat tidur dan berjalan masuk ke kamar mandi, meninggalkan orang tuanya yang masih berdebat tentang Jingga yang boleh berpacaran dan tidak boleh.
Di dalam kamar mandi, Jingga kembali berdecak geli karena cowok yang dekat dengannya pun tidak ada, kenapa orang tuanya malah heboh? Ckck.
********
Jingga berjalan bersama Langit, Laura dan Ken menuju kantin di mana di sana terdapat vending machine untuk mereka membeli minuman. Mereka tampak berkeringat, sedikit lusuh, dan kelelahan. Terang saja karena kelas mereka baru saja selesai kelas olahraga.
Sepanjang perjalanannya ke kantin, Langit dan Ken tidak berhenti adu mulut. Masalahnya jelas karena Langit yang selalu berusaha menjauhkan Ken dari Jingga. Cowok itu terus merangkul Jingga layaknya sebuah tameng dan Ken tidak bisa mendekati Jingga sedikit pun.
Sementara Jingga dan Laura hanya membiarkan mereka, tenaganya sudah terkuras habis di pelajaran olahraga tadi. Tidak cukup kuat untuk melerai Ken dan Langit.
Sesampainya di kantin, mereka melihat banyak siswa perempuan berkerumun di depan vending machine, tidak lupa dengan iringan suara riuh yang sangat berisik sekali.
Pandangan keempatnya lantas berusaha mencari tahu apa penyebab keributan di depan mesin penjual minuman otomatis itu. Dan ternyata sekelompok siswa laki-laki yang sedang membeli minuman di sanalah yang menjadi pusat perhatian.
Jingga sedikit terkejut saat melihat ada Biru di sana. Tapi yang membuatnya heran adalah, kenapa kehadiran sekelompok siswa itu bisa membuat keributan sampai seperti ini?
“Ohh, pantesan.” Laura mengangguk-angguk. Matanya yang bulat tampak berbinar.
“Kenapa?” Tanya Jingga.
“Jelas ribut banget, Ji. Cowok-cowok most wanted ada di sini.” Jawab Laura tanpa mengalihkan pandangannya dari sekelompok siswa itu.
“Siapa? Mereka?” Tanya Jingga lagi sambil mengedikkan dagunya ke arah sekelompok siswa yang dimaksud Laura.
“Ya iyalah mereka, emang siapa lagi? Elo sih kuper, tahunya perpustakaan sama lab doang.” Cibir Laura sambil menoyor kepala Jingga pelan. Jingga mendengus sebal dibuatnya.
Terang saja jika Jingga tidak tahu siswa-siswa populer di sekolahnya karena dia cukup acuh untuk memperhatikan hal seperti itu. Bahkan dirinya sendiri terkenal di seantero sekolah pun, dia tidak peduli.
“Tahu nggak, Ji? Ken sama Langit aja kalah pamor sama mereka.” Ujar Laura, membuat Ken si Ketua OSIS, serta Langit si siswa paling pintar dan juga mengklaim dirinya paling tampan di sekolah mendelik sewot pada Laura.
“Sebodo! Aku haus, kenapa mereka lama banget?” Gerutu Jingga yang sudah pegal berdiri di sana, dia merasakan kerongkongannya semakin kering.
“Fans gilanya yang bikin mereka lama, Ji.” Kali ini Langit menyahuti, dia meringis kala melihat kerumunan siswa perempuan di depannya. Seandainya dia menerobos, mungkin dia akan kembali dengan penuh cakaran di wajahnya. Langit bergidik ngeri membayangkannya.
“Apa mereka anggota F4 sampai punya fans gila segala?” Jingga berdecih sinis, merasa kesal karena mereka menyulitkannya untuk membeli minuman segar.
“Mereka emang F4nya sekolah kita. Yaelah parah banget lo sampai nggak tahu, Ji.” Sahut Laura.
“Ya emang nggak tahu dan aku nggak mau tahu.” Sambar Jingga sewot, dia hanya ingin minum sekarang. Tidak peduli dengan empat manusia tampan yang ada di depan sana.
“Biar gue kasih tahu. Mereka itu senior kita, Ji.” Laura mengangkat satu jari telunjuk dan bersiap-siap untuk menunjukkan pada Jingga siapa mereka satu per satu. “Yang mirip Kim Woo Bin tapi kurang perawatan dikit, namanya Bian, yang pake kawat gigi namanya Bisma, terus yang paling manis namanya Albi, dan. . . . .”
“Dan yang paling ganteng kayak aku, namanya Biru. Biru Birendra Harsa. Dia yang paling the best di antara mereka, dia yang jadi perwakilan sekolah pada program pertukaran pelajar ke Amerika tahun kemarin.” Jelas Langit cepat memotong ucapan Laura. Jingga yang mendengar Langit sangat percaya diri langsung mencebik geli.
“Ken, kamu, kan ketos. Coba, dong, tuh kerumunan dibubarin, keburu bel masuk bu–”
“The break time will be ended in five minutes left. . . .”
Dan benar saja, belum sampai Jingga menyelesaikan kalimatnya, bel yang membertitahukan tanda bahwa waktu istirahat akan berakhir dalam lima menit terdengar menggelegar, dan otomatis membubarkan kerumunan di sana. Pun dengan semua siswa yang sedang jajan di kantin, hanya tinggal beberapa orang saja di sana termasuk mereka dan kelompok most wanted itu.
“Tuh kan tuh kan habis. Belum minum, jajan, terus ganti baju.” Jingga kembali menggerutu kesal sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
“Ji, lo kalau lagi kelaparan ngeselin banget asli. Berarti lo kalem kalau perut lo kenyang doang kali, ya?” Ledek Laura yang melihat Jingga uring-uringan. Dia sangat tahu dan sudah maklum dengan kebiasaan teman sekelasnya itu.
“Hei.” Seruan seseorang mengalihkan perhatian mereka, ternyata Albi yang berteriak. “Kalian mau pake ini?” Tanyanya kemudian sambil menunjuk vending machine.
Laura hendak membuka mulutnya untuk menjawab, namun bel tanda masuk berbunyi.
“Tadinya. Tapi nggak jadi, Kak.” Laura nyengir kaku, lalu mendesah pasrah karena mau tidak mau mereka harus buru-buru masuk kelas sekarang.
Sementara Jingga menatap kesal ke arah kelompok kakak kelasnya itu hingga matanya tertuju pada Biru yang kini juga sedang menatapnya. Tapi sedetik kemudian, Jingga buru-buru membuang pandangannya. Ada rasa gugup yang terasa aneh bagi Jingga saat matanya bertemu dengan tatapan Biru.
“Sorry, tadi mesinnya agak macet, jadi lama.” Jelas Albi.
“Nggak apa-apa, kok, Kak. Kalau gitu kami duluan.” Sahut Laura sedikit gugup, ini adalah kali pertama dia berbicara langsung dengan salah satu idola sekolah itu.
Mereka berempat pun, dengan rasa haus yang masih mendera kerongkongannya memilih untuk kembali. Tapi baru saja mereka berbalik, Albi kembali memanggil.
“Wait, Jingga….”
Jingga membalikkan tubuhnya kembali dengan sebelah alis terangkat bingung. Bukan Biru yang memanggilnya, tapi Albi. Kenapa? Jinggga merasa tidak kenal dengan cowok berwajah manis itu.
“Kamu Jingga, bener?” Tanya Albi memastikan seraya berjalan menghampiri Jingga. Sementara orang yang ditanya hanya mengangguk.
“Aku tadi beli dua, kamu boleh ambil ini.” Albi lalu memberikan satu botol yoghurt rasa jeruk, tapi Jingga menolaknya dengan gelengan kepala. Kemudian pandangannya beralih pada Biru sejenak. Entah apa yang terjadi, seolah ada medan magnet yang berlawanan, mata Jingga tertuju pada Biru begitu saja. Tampak cowok itu menggelengkan kepalanya sedikit sambil tersenyum tipis padanya.
“Maaf, aku nggak biasa menerima apapun dari orang asing.” Tolak Jingga kemudian, lalu beranjak dari sana dan disusul oleh teman-temannya.
********
To be continued. . . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Neni Nuraeni
authornya kayaknya pecinta pelangi
2023-01-24
0
🌹Dina Yomaliana🌹
katanya Biru ngak masuk anggota F4, tapi kenapa Langit bilang gitu🙄🙄🙄 kenapa Biru bohong sama Jingga😬😬😬
2021-02-22
0
🌹Dina Yomaliana🌹
duh mulai dari nemenin, nanti jadi lebih dekat😘😘😘
2021-02-22
0