********
Jingga masih bermalas-malasan di atas tempat tidur, bahkan selimut masih menutupi hampir seluruh tubuhnya. Pandangannya menerawang kosong ke langit-langit kamar, tampak lingkaran hitam membingkai bagian bawah matanya.
Benar. Hampir semalaman gadis itu tidak bisa tidur. Terus teringat akan kejadian kemarin sore, dan sekarang dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Biru jika bertemu di sekolah.
“Jingga, ya ampuun. Ini udah mau jam tujuh, lho. Kok kamu belum siap-siap?” Bunda yang baru datang ke kamar langsung heboh melihat putrinya yang masih anteng di tempat tidur. Wanita paruh baya itu lantas membuka gorden kamar sehingga cahaya matahari pagi langsung menyeruak di ruangan itu, membuat mata Jingga memicing karena terpaan cahaya.
“Aku hari ini nggak sekolah, ya, Bun.” Ucap Jingga dengan suara sedikit serak khas bangun tidur.
Bunda mengernyit, lalu menghampiri Jingga. “Kamu sakit?” Tanyanya seraya meletakkan tangannya di kening Jingga.
“Eung, iya. Aku agak sakit, nih, Bun.” Jawab Jingga bohong.
“Nggak panas, ahh.” Sahut Bunda. Beliau lantas memicingkan matanya penuh curiga, membuat Jingga sedikit gelagapan.
“Ya – nggak sakit panas, Bun. Sakitnya di bagian lain.” Ujar Jingga sulit mencari alasan.
“Di bagian lain yang mana?” Bunda menanggapinya dengan serius, namun matanya masih menyoroti Jingga curiga.
“Ya di – ” Jingga berpikir sejenak, memutar otaknya untuk mencari alasan, tapi tetap saja tidak bisa. “Ahh, pokoknya aku sakit dan nggak bisa sekolah.”
“Yaa, nggak bisa gitu, Ji. Harus jelas sakit apa dulu.” Ucap Bunda.
“Pokoknya Bunda telepon ke sekolah bilangin aku sakit, ya. Sakit apa aja, deh, bebas.” Pinta Jingga tak menyahuti ucapan Bunda.
Bunda memandang heran Jingga yang kini memasang puppy eyes padanya. Menggemaskan. Jurus andalan Jingga yang akan membuat siapa saja tidak bisa menolak permintaannya.
“Kamu ada masalah di sekolah?” Tebak Bunda seraya menarik selimut Jingga hingga sebatas perut.
“Kamu bikin ulah, ya? Atau dibully?” Tambah Bunda heboh.
“Enggak, Bun, nggak kayak gitu.” Jingga menggeleng cepat. “Aku, tuh, cuma agak capek aja kemarin habis pelajaran olahraga. Tubuh aku agak sakit-sakit gitu, deh, Bun.”
“Biasanya kamu olahraga nggak pernah kayak gini, ahh, lebay. Jangan bohong kamu. Udah cepetan bangun. Ayah sama Kak Bintang udah berangkat, terus Langit tadi ke sini jua udah Bunda suruh berangkat duluan. Nanti kamu Bunda yang anterin.” Bunda berusaha menarik lengan Jingga agar anak itu bangun, tapi tubuh Jingga benar-benar lengket dengan kasur.
“Nggak bohong, Buuuuun. Please, sekali ini aja aku nggak sekolah. Lagian nggak bakal ngurangin nilai aku, kok.” Jingga memelas. Sekali lagi dia memasang puppy eyesnya.
Bunda mendesah pelan sebelum kemudian dia berkata. “Ya udah, oke. Tapi cuma hari ini aja, ya.”
Mendengar itu Jingga langsung berseru kegirangan. Dia lantas bangun dan memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah wanita yang sudah melahirkannya itu.
“Ihh, Jinggaaa. Udah, ahh, jijik tahu, nggak? Kamu tuh belum mandi. Lagian udah gede masih aja suka cium-cium Bunda kayak gini.” Omel Bunda sambil mendorong wajah Jingga agar menjauh. Sementara gadis itu hanya nyengir lebar.
Jingga tersenyum puas selepas kepergian Bunda dari kamarnya. Dia kemudian menarik selimut, berniat untuk mengganti tidurnya semalam, dan mengabaikan ponselnya yang terus bergetar tanda panggilan dan beberapa pesan masuk.
“Huuuft….” Setidaknya Jingga bisa bernapas lega satu hari ini karena bisa terhindar untuk bertemu Biru.
********
Jingga kembali sekolah hari ini. Sesuai janjinya, dia hanya bisa bolos sau hari. Jingga yang duduk di boncengan motor Langit terus bergerak-gerak gelisah. Memikirkan apa yang harus dia lakukan seandainya bertemu Biru.
“Ji, kamu bisa diem, nggak? Jadi oleng, nih, motornya.” Tegur Langit setengah berteriak, namun suaranya tetap teredam helm dan bising kendaraan di jalanan.
“Apaan, sih? Kamu aja yang nggak bisa bawa motornya.” Sahut Jingga sewot.
“Ihh, enak aja.” Langit tak terima. Kemudian menarik gas menambah kecepatan motornya sehingga membuat Jingga otomatis memeluk perutnya erat-erat.
“Langiiit.” Protes Jingga. Tapi Langit tak peduli meski gadis it uterus berteriak ketakutan.
********
Jingga dan Langit berjalan beriringan di koridor sekolah menuju kelasnya. Seperti biasa, mereka membahas banyak hal kekanak-kanakkan, sesekali saling memukul. Julukan Tom and Jerry memang cocok untuk mereka.
Jingga yang sedang tertawa lepas seketika terdiam begitu berpapasan dengan Biru dan Albi dari arah berlawanan. Entah mau ke mana mereka, sepertinya ruang guru.
Biru menatapnya dengan tatapan tak terbaca, sementara Albi melempar senyum hangat bahkan dari jarak beberapa meter.
“Hallo, Jingga.” Sapa Albi. Jingga hanya menyunggingkan senyuman tipis yang kaku. Dia lantas menggamit lengan Langit dan menyembunyikan setengah wajahnya dibalik bahu cowok itu guna menghindari tatapan tajam Biru. Gadis itu persis anak kecil yang berlindung pada ibunya.
Melihat itu, Biru langsung menyorotinya tak suka.
“Genit, lo.” Sahut Langit yang melihat Albi mesem-mesem pada Jingga.
“Yee bocil, nggak sopan lo sama senior.” Sahut Albi.
“Sebodo.” Langit mengedikkan bahu tak peduli dan berlalu melewati Albi dan Biru.
Biru nyaris meraih tangan Jingga saat gadis itu melewatinya, tapi Jingga dengan sigap menarik tangannya.
Cowok itu mematung sejenak, menatap kepergian Jingga hingga hilang dari pandangannya.
“Tatap aja terus sampai mata lo buta.” Ledek Albi yang melihat Biru terus menatap Jingga sejak awal kedatangannya. “Love is an action, not a feeling.” Lanjutnya penuh cibiran.
“How can you be sure that love isn’t feeling?” Tanya Biru menantang.
“Ya mana gue tahu. Gue cuma nemu kata-kata itu dari madding sekolah.” Albi mengedik santai. Biru mencebik sebal.
“Makannya jadi orang nggak usah sok bijak, deh, lo.” Biru lantas melengos pergi, meninggalkan temannya beberapa langkah di belakang.
********
Terhitung tiga hari Jingga berusaha menghindari Biru. Sering dia bertemu Biru baik di gerbang, koridor, perpustakaan, dan area lainnya. Jingga sebisa mungkin menghindari tatapannya. Pun dengan rentetan pesan dan panggilan dari Biru juga dia abaikan.
Jingga mengunyah roti isi yang dibekalnya dari rumah dengan malas. Hembusan napas malas juga terlihat keluar dari mulutnya.
Hari ini Jingga memilih untuk tidak keluar dari kelas. Dia malas ke kantin karena takut bertemu Biru. cowok itu selalu melayangkan tatapan aneh padanya.
“Yaah, habis.” Gumamnya mengacungkan botol air minumnya yang kosong.
Gadis itu lantas memasang wajah bingung. Menimang-nimang apakah dia harus keluar dari kelas untuk membeli minuman atau menelepon Langit untuk membelikannya? Tapi pilihan kedua pasti akan membuatnya menunggu lama.
Setelah beberapa menit termenung, Jingga lantas bangkit. Dia benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama, kerongkongannya terasa kering dan gatal.
Namun baru saja dia tiba di ambang pintu, tangan kekar tiba-tiba menarik lengan Jingga dan menuntunnya untuk pergi menuju atap sekolah. Biru.
Beruntungnya saat ini koridor sekolah sepi karena jam istirahat, masalahnya bisa heboh seantero sekolah jika ada yang melihat mereka sedekat ini. Terang saja karena Biru sangat terkenal.
“Apaan, sih, Kak, main tarik-tarik aja?” Protes Jingga seraya menghempas kasar tangan Biru.
Jingga nyaris melarikan diri saat perhatian Biru sedirit lengah, tapi tidak berhasil karena dengan sigap Biru kembali lengannya dan menuntunnya untuk duduk di kursi panjang yang ada di sana.
Jingga menatap berang Biru yang kini duduk bersebelahan dengannya.
“Oke, aku minta maaf. Aku udah keterlaluan ngerjain kamu.” Ucap Biru. “Tapi kamu nggak seharusnya terus menghindar dari aku kayak gini, dong.” Protesnya kemudian, mengingat bagaimana sikap Jingga belakangan ini.
“Ihh, siapa bilang aku menghindar? Perasaan kamu aja, kali.” Elak Jingga. Biru mendelik sebal.
“Buktinya beberapa hari ke belakang kalo kita ketemu kamu suka lari.” Balas Biru bersungut-sungut.
“Ya – itu karena aku emang ada urusan.” Sahut Jingga sekenanya.
“Ihh, bohong.” Ucap Biru tak percaya.
“Enggak.” Balas Jingga.
“Terus chat dan telepon dari aku kenapa nggak kamu gubris?” Tanya Biru.
“Kalau itu karena –” Jingga berpikir sejenak, bola matanya yang hitam pekat bergerak-gerak gelisah. “Karena aku nggak biasa balas chat atau angkat telepon dari orang asing.”
“Kita udah saling kenal, Jinggaaaaa.” Biru geram sendiri sambil mencubit keras satu pipi Jingga hingga membuat gadis itu mengaduh kesakitan.
“Udah, deh, ngaku aja. Kamu sengaja, kan, ngehindarin aku?” Lanjut Biru. Jingga mengedikkan bahunya, malas menjawab pertanyaan Biru.
“Udah, ahh, aku mau pergi.” Jingga melepaskan cekalan tangan Biru dari lengannya, tapi Biru kembali menahannya begitu Jingga baru saja bangkit dari duduknya.
“No, aku nggak izinin.” Ucap Biru.
“Aku nggak lagi minta izin.” Sahut Jingga santai.
“Tetap nggak boleh.”
Jingga merengut. “Aku haus, aku mau ke kantin.” Kini perasaan malu pada Biru yang beberapa hari ini bercokol di hatinya seketika berubah menjadi sebal. Biru benar-benar menyebalkan. Cowok tampan itu ternyata memiliki sifat yang dominan.
“Nggak usah. Kamu minum punya aku aja.” Ucap Biru seraya memberikan sebotol air mineral yang tadi memang dibawanya.
“Nggak mau, ini bekas kamu.” Tolak Jingga yang melihat air di dalam botol itu tinggal setengahnya. “Jijik.” Dia lantas berpura-pura bergidik jijik.
Biru mendengus geli. “Ihh,, aku minum yogurt bekas kamu aja nggak jijik.”
“Ya itu, kan, kamu.” Sahut Jingga sewot.
“Minum.” Biru kembali menyodorkan air mineral itu, tatapannya mengintimidasi. Sementara Jingga hanya menggeleng.
“Minum atau aku cium kamu 10 kali.” Ucapan Biru yang terdengar mengancam membuat Jingga tertawa geli.
“Haha, jangan becanda. Kamu nggak akan berani ngelakuin itu.” Ujar Jingga tak percaya.
“Berani.” Balas Biru menantang.
Jingga mencibir dengan tatapan tak percaya. “Coba aja kalau berani, nih, nih.” Lanjutnya seraya memajukan wajahnya ke arah Biru.
“Cieee, yang pengin dicium dari kemarin-kemarin.” Ledek Biru kemudian, membuat Jingga menarik wajahnya kembali dengan ekspresi merengut. Biru benar-benar menyebalkan.
Mendelik sewot, Jingga lalu merampas air mineral dari tangan Biru dengan kasar, lalu meneguknya hingga botol tersebut nyaris kosong. Sementara Biru hanya memperhatikannya dengan tatapan penuh arti.
“Jingga aku nggak suka lihat kamu rangkul-rangkulan sama Langit.”
“Uhuk….uhuk….”
Rasa panas dan gatal langsung menyerang tenggorokan Jingga begitu mendengar ucapan Biru. Cowok itu selalu saja mengejutkannya.
“Apa kamu bilang?” Tanya Jingga memastikan.
“Lebih tepatnya, aku nggak suka kamu ada di dekat cowok selain aku.” Jawab Biru.
“Terus?” Jingga memutas bola matanya jengah.
“Yaaa, mulai sekarang kamu cuma boleh deket sama aku doang. Nggak boleh sama cowok lain, termasuk Langit.” Jawab Biru lagi. Cowok itu berucap santai.
Jingga mendengus geli. “Hei, Biru kamu siapa? You are nothing.” Ucapnya terdengar serius. Pun tatapannya. Sementara Biru terdiam, menunggu gadis itu menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya.
“Dan tolong jangan bersikap seolah kita dekat. Aku menghormati kamu sebagai kakak kelas aku.” Imbuh Jingga seolah memberi peringatan. “Makasih minumnya. Aku permisi, Kak Biru.” Sambungnya sebelum kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah pergi.
Biru sendiri masih terdiam menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh.
“Seperti Langit. . . .” Teriak Biru menghentikan Jingga yang baru saja mengambil lima langkah ke depan. “Apa bisa kamu memperlakukan aku seperti Langit?”
********
To be continued. . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Mei Shin Manalu
Like like like
2021-01-14
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
datang lagi nih kak
bersama asisten dadakan..😘
semangat ya dan mampir juga yuk💪
2021-01-09
0
Sekapuk Berduri
like
2020-12-26
0