********
“Emang kalau cewek sama cowok deketan dan barengan terus, itu berarti mereka pacaran, ya?” Tanya Jingga. Biru bergeming, mencoba menyusun jawaban.
“Biasanya emang kayak gitu, kan?” Biru melemparkan pertanyaan konfirmasi.
Jingga mengernyit, mencoba berpikir. “I don’t think so.”
“Terus?” Tanya Biru lagi seolah meminta kepastian siapa Langit bagi Jingga.
“F-R-I-E-N-D.” Jingga mengeja dengan penuh penekanan di setiap hurufnya. “We’re nothing more than friend, more like a brother and sister.”
Biru tersenyum sinis dan penuh cibiran. “Cowok sama cewe itu nggak bisa berteman baik. Secara general nggak bisa, karena selalu ada ketertarikan emosional di antara keduanya walaupun sedikit. Kalau ujung-ujungnya nggak saling jatuh cinta, pasti tetap ada salah satu di antara mereka yang terbawa perasaan.”
“Pendapat kamu emang bener.” Jingga membenarkan kata-kata Biru. “Tapi kurang tepat, karena nggak semua orang kayak gitu. Kamu nggak tahu seberapa berartinya persahabatan kami. So, jangan asal mengambil kesimpulan karena kamu nggak tahu apa-apa. Lagian bagaimanapun hubungan kami, teman atau bukan, itu bukan urusan kamu.”
Biru mengatupkan bibirnya. “Kamu tiba-tiba jadi sangat serius.”
Jingga menghela napas. “Sorry kalau aku merusak suasana. Aku cuma nggak setuju aja sama pendapat kamu. Mereka yang keluar dari comfort zone dari zona pertemanan adalah orang yang nggak punya sikap bijaksana dalam pengambilan sikap untuk nggak melanjutkan perasaan ketertarikan karena takut bisa menghancurkan hubungan persahabatan.”
Biru terdiam untuk beberapa saat. “Apa kamu pernah tertarik sama dia?”
Jingga menggeleng. “Enggak dan nggak akan pernah.” Jawabnya tegas.
“Tapi Langit?” Tanya Biru lagi.
“Aku juga yakin dia nggak bakal pernah melibatkan perasaan kayak gitu sama aku. Kami tumbuh seperti saudara sejak kecil. Jadi, itu nggak mungkin.” Jelas Jingga yakin.
Biru mengangguk-angguk, tetapi masih terlihat sangsi. Jingga sendiri memperhatikannya, lalu menghela napas.
Setelah itu, keheningan yang canggung menyeruak di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Jingga terdiam dengan wajah datar, dia memang sedikit sensitif jika ada orang yang menyinggung dan meragukan persahabatannya dengan Langit. Sebagai orang yang sudah tumbuh bersama sejak kecil, Jingga benar-benar murni menyayangi Langit sebagai saudaranya.
“Maaf, kalau kamu tersinggung.” Biru akhirnya mengambil inisiatif untuk bicara. Dia benar-benar tidak suka dengan suasana canggung di antara mereka. Sementara Jingga hanya menyahutinya dengan gelengan kepala dan senyuman tipis.
“Ngomong-ngomong. . . .” Biru menghela napas sejenak, otaknya berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan. “Kenapa nama teman kamu Langit?” Dan yang keluar malah pertanyaan konyol. “Apa karena dia lahir di langit?” Dia lalu nyengir kaku seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Duhh, kenapa dia jadi receh begini?
Jingga mengernyit seiring dengan senyum geli yang terbit dari sudut bibirnya. “Ya nggak dilahirin di langit juga. Sebenernya aku juga kurang tahu pasti, sih. Tapi dari yang aku denger, waktu dilahirin panjangnya Langit di bawah rata-rata. Karena itu orang tua dia ngasih nama Langit dengan harapan biar dia tumbuh tinggi menjulang sampai ke langit.” Jelasnya kemudian, lalu terkikik geli, mengingat harapan orang tua Langit kini terkabul karena cowok itu tumbuh tinggi bak seorang model sekarang.
“Konyol banget, kan?” Jingga berdecak geli, sementara Biru hanya tersenyum menanggapinya. “Tapi yang paling konyol, sih, orang tua aku. Masa ngasih aku nama warna. Untung aja mereka nggak ngasih aku nama merah, kuning, hijau, atau ungu.”
Biru terkekeh mendengar ocehan Jingga. Tawanya terdengar lembut, sama seperti suara bariton yang keluar dari bibir kemerahannya.
“Kamu lahir di saat matahari tenggelam?” Tanya Biru.
Jingga mengangguk. “Biar aku tebak. Kamu lahir saat langit lagi cerah-cerahnya?”
Biru menggeleng pelan, lalu memencet ujung hidung Jingga seolah sebuah tombol. “Tetot. Salah.” Jingga langsung mengernyit bingung dibuatnya. “Itu karena Mama aku fansnya Doraemon.”
Jingga melongo tak percaya. “Jadi, karena Doraemon warnanya biru?”
Biru mengangguk, lalu mendesah pelan. “Lebih konyol dari orang tua kamu, kan? Orang tua aku udah bukan konyol lagi, sih. Tapi asal ngasih nama.”
“Tapi nama Biru nggak jelek, kok. Cukup oke.” Sahut Jingga.
“Kalau orangnya?” Tanya Biru.
Biru dan Jingga saling tatap selama beberapa saat, lalu secara bersamaan membuang pandangan. Setelah itu, suasana canggung kembali mengambil alih, dan tak lama, suara bel tanda jam pelajaran selanjutnya akan dimulai berhasil membuyarkan suasana tersebut.
“Ehh, udah bel. Aku turun duluan.” Ucap Jingga cepat sambil menunjuk kea rah pintu yang menghubungkan balkon dengan ruang gedung sekolah.
Biru buru-buru mengangguk, sementara Jingga segera beranjak lebih dulu. Biru menatap punggung gadis itu tanpa kedip. Ada perasaan tidak rela mencokol di hatinya karena pertemuannya dengan Jingga harus berakhir secepat ini.
“Jingga, tunggu. . . .” Teriak Biru sebelum Jingga melangkah lebih jauh.
Mendengar Biru meneriaki namanya, Jingga berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya. Dia menatap Biru yang kini tengah berjalan menghampirinya.
“Apa kita bisa berteman mulai sekarang? Teman baik?” Tanya Biru seraya mengulurkan tangannya.
Jingga tersenyum mencibir mendengar pertanyaan Biru yang seperti sebuah permintaan. Jingga masih ingat betul ucapan Biru beberapa saat yang lalu.
“Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau cewek sama cowok itu nggak bisa berteman baik?” Jingga tak menerima uluran tangan Biru hingga cowok itu menariknya kembali.
Biru terdiam, lalu mengerjap. “ Then I’m gonna take back my words.”
Jingga mencebik geli sambil menahan tawanya. “Maaf, tapi aku nggak bisa berteman sama orang a–”
“Dan sampai kapan kamu akan menganggap aku orang asing?” Sambar Biru memotong kalimat yang hendak Jingga ucapkan. “Bukannya kita udah cukup saling kenal?”
Jingga kembali menyunggingkan senyum yang tak bisa Biru artikan. “Apa kamu orang baik?”
Biru mengernyit bingung, merasa pertanyaan Jingga cukup ambigu.
“Karena aku nggak bisa berteman sama orang jahat.” Sambung Jingga kemudian.
“Apa wajah aku kelihatan kayak orang jahat?” Biru menunjuk wajahnya sendiri.
“Eung. . . .” Jingga mengerlingkan matanya ke atas seolah sedang berpikir. “Kelihatannya, sih, gitu.” Katanya sambil tersnyum jahil, lalu dengan cepat pergi meninggalkan Biru yang terbengong-bengong.
Biru lalu mendengus geli setelah Jingga hilang dari pandangannya. “I’m not giving up on you, Jingga.”
********
Sore hari cerah, menampakkan pemandangan langit yang indah bak sebuah lukisan. Hamparan langit yang membentang tanpa batas dihiasi warna jingga kemerah-merahan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, membuat siapa saja yang memandangnya menyadari betapa luar biasanya sang pencipta.
“Sejak kapan kamu tertarik sama langit sore? Akhir-akhir ini aku sering lihat kamu di sini, nggak biasanya.” Komentar gadis berusia 18 tahun yang memiliki rambut panjang terurai dengan sentuhan through bangs sehingga membuat wajahnya yang cantik tampak terlihat polos, Luna.
Biru tersenyum tipis mendapati Luna yang tiba-tiba menghampiri dan ikut duduk di sebelahnya, di kursi ayunan yang terbuat dari kayu jati bercat putih yang bertengger kokoh di halaman belakang rumahnya.
Luna. Anak dari pengasuh yang merangkap sebagai kepala pelayan di keluarga Biru yang sudah dianggap sebagai keluarga. Biru dan Luna berteman baik, mereka tumbuh bersama di rumah besar bergaya Eropa modern itu sejak mereka kecil.
Kehadiran Luna mempu menepis rasa kesepian Biru yang tidak memiliki saudara di tengah kesibukan kedua orang tuanya yang tidak bisa menemani Biru setiap saat.
Biru menghela napas, lalu menghentikan kegiatannya yang sejak tadi sibuk mencoret-coret buku sketsa. “Aku pernah denger seseorang yang mengatakan kalau menyaksikan senja di sore hari, kita bisa melihat dan merasakan perubahan siang dan malam secara langsung.”
Kemudian tangan Biru kembali bergerak lihai di atas buku sketsa dengan bantuan pensil gambarnya, terus menggoreskan objek yang ada di kepalanya. Hingga beberapa saat kemudian, goresan tersebut membentuk sebuah gambar sketsa seorang gadis cantik yang memiliki rambut sedikit bergelombang sebahu dengan sentuhan poni yang menghias dahinya. Biru menatap hasil gambarnya dengan puas.
“Dan dia bener. Itu sangat cantik.” Sambung Biru tersenyum lebar. Pandangannya kini tertuju pada bentangan langit sore yang mulai menjingga.
“Who’s that?” Tanya Luna terdengar penasaran.
Biru tersenyum, matanya kembali mencuat ke bawah, menatap gambar sketsanya. Satu ibu jarinya terjulur mengusap-usap gambar tersebut. “Seseorang yang untuk pertama kalinya terlihat cantik di mata aku.” Dia lalu menghela napas sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya. “She is so beautiful as a fairy.”
Tatapan Luna menyorot tak suka, tapi buru-buru dia sembunyikan dengan seulas senyum tipis di bibirnya saat pandangannya bertemu dengan Biru.
“Wow. Apa aku nggak salah denger? Seorang Biru yang nggak pernah peduli sama cewek, sekarang tiba-tiba bucin kayak gini?” Ucap Luna takjub. Pasalnya, selama ini Biru tidak pernah tertarik dengan seorang gadis. Dia jadi penasaran siapa gadis yang sudah berhasil mencuri perhatian Biru sampai membuat sahabatnya ini berubah drastis dari cowok dingin menjadi bucin? Bahkan dirinya yang sudah berada di sisi Biru bertahun-tahun lamanya, tidak pernah sedikit pun cowok itu melihatnya sebagai seorang gadis.
“Bukan bucin, tapi nyatanya dia emang cantik. Aku pikir, aku nggak akan pernah bisa jatuh cinta sama cewek lain selain sama dia sekalipun aku hilang ingatan.” Sahut Biru dengan mata berbinar.
Luna mencebik geli. “Aku jadi penasaran dia kayak gimana? Kenalin, doong, sama aku.”
“Iya, ntar aku kenalin.” Jawab Biru seraya menutup buku sketsanya, lalu kembali memandang langit sore.
“Kapan?” Tanya Luna mendesak.
“Kapan-kapan.” Sahut Biru sekenanya tanpa menoleh ke arah Luna.
Pipi gadis itu mengembung lucu. “Ihh, kok, gitu?”
“Cerewet.” Biru terkekeh pelan setelah sebelumnya memukul kepala Luna menggunakan buku sketsanya. Dia merasa temannya itu terlalu ingin tahu banyak.
Tidak ada lagi percakapan di antara mereka setelah itu. Keduanya terdiam menatap langit, mengamati gerak matahari yang semakin menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat untuk kemudian mempersilahkan bulan mensejajarkan kilau dirinya di langit malam bersama bintang.
Cahaya yang menampakkan warna jingga sore itu perlahan meredup, digantikan dengan keremangan malam yang mulai menyergap, menuntun manusia untuk beristirahat, untuk kemudian menyambut birunya langit esok hari yang akan membawa harapan bagi semua orang yang tidak kenal kata menyerah.
********
To be continued. . . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Sophie Anggara
Ini penulis novel atau kaya kahlil gibran puitis bgt kata2nya. Bikin hati meleleh dan kata2nya indah bgt untuk di jdkan puisi. Keren bgt deh...
2022-02-16
0
Wedo Aishy
terima kasih author utk tulisan2 hebat nyaaa😘😘
2021-05-22
0
🌹Dina Yomaliana🌹
itu yang dikatakan oleh Jingga, Biru😌😌😌
2021-02-28
0