Hari sudah berganti pagi. Seperti biasa, Grisha selalu bangun lebih awal, mandi lebih dahulu, lalu bersiap untuk membangunkan suaminya.
Meski Xeno selalu mengusir dan membentaknya, ia tetap harus melakukannya daripada melihat lelaki itu keluar terburu-buru karena terlambat.
Grisha mengetuk pintu pelan seraya memanggil nama suaminya. Namun tak ada balasan dari yang bersangkutan. Seperti biasa, bila tak ada jawaban apapun Grisha langsung saja memasuki kamar tersebut.
Ah, kamarnya begitu wangi. Dengan cat berwarna hijau tua yang elegan. Kamar ini dipenuhi oleh bau Xeno, andai ia bisa tidur sekamar dengan suaminya pasti ia sudah sangat bahagia. Namun apa yang dapat ia lakukan jika sang suami begitu membenci dan menolak keberadaannya?
Grisha berjalan mendekati gundukan selimut yang membalut tubuh suaminya. Dengan hati-hati, ia menggerakkan bahu sang suami untuk membangunkannya.
"Xeno...bangunlah," bisiknya.
Hanya terdengar gumaman dari mulut sang suami yang masih tertutup karena kantuk. Namun detik berikutnya Xeno membuka matanya dan menatap Grisha dengan sebal.
"Dasar keras kepala." Xeno tak mengindahkan ucapan Grisha yang menyuruhnya bangun. Lelaki itu malah kembali merebahkan kepalanya hendak melanjutkan tidur.
Melihat tindakan itu, tentu Grisha tak bisa mengabaikannya. Ia kembali menggerakan bahu sang suami, kali ini sedikit lebih keras.
"Jangan tidur lagi, Jean menelpon tadi bahwa hari ini kau harus datang lebih pagi. Ada rapat bersama kolega dari Italia. Kau harus bergegas."
"Berisik! Aku tau!!"
Buk!!
Untuk yang kesekian kalinya Xeno melempar sebuah bantal pada wajahnya. Wajahnya memerah karena sakit, namun kali ini gadis itu tidak menangis. Ia malah tersenyum, lalu tanpa banyak kata ia segera keluar dari kamar, hendak menuju dapur untuk memasak sesuatu yang bahkan tak pernah disentuh oleh sang suami.
"Untuk hari ini dan seterusnya, aku sudah berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Aku sedang berusaha sekarang. Aku tidak mau jadi gadis yang lemah dan berakhir merepotkanmu lagi." Gumamnya.
Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengucir rambut panjangnya yang tergerai. Sangat tidak nyaman jika kau memasak dengan rambut yang terurai, dan ia ingin memasak sesuatu yang special hari ini.
"Hari ini pun harus semangat!"
....
Grisha sedikit tidak fokus saat memasak. Lehernya terasa perih, mungkin akibat Xeno yang menarik kalungnya kuat-kuat saat itu, hingga meninggalkan luka gores yang cukup membuatnya mendesis sakit apabila luka itu terkena gesekan baju.
Masakannya sudah selesai dan sudah tertata rapi di meja makan. Ia tinggal membuat kopi hitam kesukaan suaminya. Walaupun sang suami belum pernah mencicipi kopi buatannya sama sekali, ia tetap harus membuatkannya.
Xeno keluar dari kamarnya. Lelaki itu sangat tampan dan terlihat gagah dengan balutan kemeja hitam yang membalut tubuh tinggi atletisnya. Kali ini rambutnya ditata dengan poni yang terbelah dipinggir kanan. Jika dilihat seperti ini, Xeno kelihatan lebih muda dari umurnya yang kini menginjak 25 tahun.
Xeno hendak mengambil segelas air minum, namun Grisha yang tampak sedang fokus menarik perhatiannya. Lelaki itu berjalan mendekatinya, dan berdiri tepat dibelakangnya.
Namun matanya melihat sesuatu, hingga reflek menyipitkan matanya. "Hei, leher mu kenapa?"
Prang!!
"Auch!!"
Grisha yang terkejut tanpa sengaja menjatuhkan gelasnya. Gelas beserta kopi panas itu jatuh tepat pada kakinya yang sialnya tak memakai sendal. Hingga air panas itu tumpah tepat pada kulitnya.
Grisha reflek berjongkok, ia mengelap kakinya yang panas dengan ujung pakaiannya. Miris, kakinya benar-benar sakit dan perih. Gelas itu berat dan jatuh menghantam kakinya, disusul air panas yang tumpah setelahnya.
Xeno hanya menatapnya datar, Grisha hampir menangis jika saja ia tak menahannya.
"Pergilah ke kamar mandi dan biarkan air mengguyur kakimu yang terkena air panas selama 30 menit. Jangan mengeluh pegal, lalu oleskan salep luka bakar. Biar aku yang urus pecahan ini."
Xeno tiba-tiba berjongkok dihadapannya. Menyingsingkan kemeja kerjanya sampai ke siku, dan mengambil pecahan kaca tersebut.
Grisha terdiam sesaat, tak menyangka Xeno tidak memarahinya dan justru malah membantunya. "Tidak Xeno, ini...ini salahku, biar aku yang bersihkan---auch!!"
Darah langsung mengucur saat jari Grisha berusaha mengambil pecahan kaca. Xeno berdecih lalu menampik tangan Grisha.
"Sudah kubilang cepat pergi ke kamarmu! Jangan buat aku semakin repot! Mengerti tidak?" Seru Xeno sedikit meninggikan nada bicaranya.
Grisha tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia segera bergegas menuju kamarnya dengan jalan tertatih. Dengan keadaan kaki terluka, ia mengutuk mengapa kamarnya berada dilantai dua. Hingga ia harus rela menahan sakit dikakinya setiap menaiki anak tangga.
Ia melirik Xeno yang masih membereskan kekacauan yang tak sengaja ia buat. Hatinya menghangat, melihat Xeno yang gentle menangangi masalah walau sifat membentaknya masih saja menempel. Meskipun begitu, ia bersyukur Xeno tidak mengabaikannya.
.....
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Grisha yang sedang mengguyur kakinya dikamar mandi seketika menoleh ke kasurnya. Disana ada Xeno berdiri diambang pintu, tengah menatapnya datar.
"Jika masih sakit, pergilah ke klinik. Aku tak mau orang melihat ada luka di tubuhmu. Nanti mereka mengira aku melakukan KDRT." Ucapnya. Grisha hanya bisa mengangguk dengan senyum tipis.
"Oh ya satu lagi. Mulai besok dan seterusnya, tidak usah membuatkanku kopi atau makanan yang lain."
Grisha membulatkan matanya, menatap sang suami bingung. "Kenapa...?
Xeno berdecih, "Apa kau bodoh? Apa kau pernah melihatku memakan masakanmu? Memang sejak awal aku tak pernah berniat mencicipinya. Lagipula aku tak minta diurus olehmu. Urus saja urusanmu sendiri. Ok?"
Pintu kembali tertutup, menyisakan keheningan. Grisha terdiam dengan tatapan kosong. Lagi-lagi Xeno menolak keberadaanya.
Hanya dengan aktivitas kecil membuat masakan atau kopi lah yang membuatnya benar-benar merasa bahwa ia telah menjadi seorang istri.
Jika kegiatan kecil itu tak boleh dilakukan lagi. Lalu apa yang harus ia lakukan?
Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya meluncur juga. Grisha menangis, dengan luka dihati yang tambah menganga lebar.
"Sebegitu bencikah kau padaku, Xeno?"
....
Grisha berjalan tertatih memasuki rumahnya. Ia baru saja dari klinik dan berdiam diri ditaman, menenangkan pikiran dan hatinya sejenak.
Taman sangat menenangkan sekaligus membuatnya iri. Di taman, banyak orang yang tertawa, berbahagia, ada yang kasmaran, bermain dan sebagainya. Sedangkan dia malah bersedih hati.
Grisha menghabiskan waktunya diluar, seraya mengingat-ingat jalan agar tidak tersesat lagi.
Hingga tanpa sadar hari sudah semakin gelap.
Ia membuka pintu dan dikejutkan dengan keadaan rumah yang berantakan. Dahinya mengkerut, "Apa Xeno sudah pulang? Tumben sekali." Gumamnya.
Ruang tamu begitu berantakan, dengan baju, sepatu, dan tas kerja Xeno yang berserakan dilantai. Grisha tersenyum, merasa sedikit gemas. Mungkin suaminya itu tergesa-gesa karena sesuatu.
Ia menunduk, mengambil satu per satu kekacauan yang dibuat suaminya. Ia meletakan sepatu Xeno kembali pada tempatnya. Lalu saat memungut kemeja sang suami, ia mencium sesuatu. Bau alkohol...
Merasa ada sesuatu yang tak beres, dengan cepat ia berjalan menuju kamar sang suami. Berusaha mengabaikan rasa sakit di kakinya yang belum sembuh sempurna.
Samar-samar ia mendengar desahan. Semakin dekat dengan kamar Xeno, suara desahan dan kecipak basah semakin terdengar jelas.
Grisha menelan ludah, berusaha menampik segala prasangka buruk yang kini mulai menggerayangi hati dan pikirannya.
"Tidak mungkin...tidak mungkin kan?"
Untuk membuktikan prasangka buruknya, dengan berat hati Grisha membuka pintu kamar yang tak tertutup rapat itu. Namun pemandangan yang ia lihat berikutnya, seketika membuat tubuhnya lemas. Wajahnya pucat pasi.
Disana, didalam kamar itu. Xeno tengah berciuman dengan seorang wanita. Pakaian wanita itu sudah sangat berantakan, hanya tersisa bra dan celana jeans yang menutupi tubuhnya. Sedangkan Xeno sudah bertelanjang dada.
Menyadari bahwa ia sudah terciduk, wanita yang tengah berciuman dengan Xeno segera mendorong tubuh Xeno lalu berlari tergesa-gesa keluar kamar seraya memunguti pakaian dan barang-barangnya.
Xeno berbalik ke arahnya dengan tatapan malas seraya berkacak pinggang. "Mengganggu saja."
Grisha meremat ujung hoodie yang dikenakannya. "Apa kau puas melukaiku seperti ini?"
Xeno hanya menyeringai lalu duduk ditepi ranjangnya, menatap Grisha yang tengah menahan tangisnya. Entahlah, ia merasa senang saat melihat gadis itu menangis.
Bibirnya bergetar, tenggorokannya tercekat. Hatinya hancur, bahkan kakinya lemas sekali. Tak pernah terpikirkan bahwa Xeno akan berbuat semacam itu dihadapannya.
Ia kira...Xeno sudah mulai membuka hati untuknya.
"Apa...apa kau begitu membenciku Xeno?" Lirihan itu terdengar menyedihkan. Suaranya bergetar dan serak. Grisha benar-benar sedang menahan rasa sakitnya. Rasa sakit dimana tidak ada obat yang mampu menyembuhkannya.
Xeno menyeringai, "Ya...aku sangat membencimu."
Satu kalimat yang membuat hatinya hancur lebur seketika. Tangisnya tak lagi dapat ia tahan. Akhirnya air mata yang berusaha tegar turun juga. Jatuh menuruni pipi mulus yang mulai memerah.
"Jika kau tidak mencintaiku, kenapa kau tidak menceraikanku, Xeno? Untuk apa kau mengikatku dengan status pernikahan jika hati dan tubuhmu kau berikan pada orang lain?"
Xeno menggeram marah, wajahnya tertekuk tajam. Dengan cepat ia menghampiri Grisha dan mengukungnya. Mengurung gadis itu dalam kungkungan dan tatapan tajamnya. Namun Grisha hanya diam, gadis itu memilih untuk memberanikan diri dan menatap mata sang suami.
"Kau pikir aku mau menahanmu? Cih" Xeno berdecih, tatapan matanya merendahkan sosok yang berada dalam kungkungannya.
"Ini semua demi menjaga nama baikku. Agar semua aset dan perusahaan tidak diambil dari tanganku. Jika aku menceraikanmu, aku akan kehilangan semua kemewahan itu dan berakhir dicoret dari kartu keluarga Arsene."
Grisha mencengkram kedua tangannya. Berusaha menahan amarah saat lelaki itu berujar dengan entengnya. Lelaki itu hanya memikirkan diri sendiri dan kekayaan. Egois sekali.
"Apa kau tidak berpikir bahwa ucapanmu itu menyakitiku?"
"Kenapa aku harus berpikir?" Sahut Xeno dengan santainya.
"Ingat Grisha, aku menikahimu hanya karena orang tuaku menyukai anak panti kampungan sepertimu. Aku tidak punya rasa apapun. Ah sepertinya ada, rasa jijik dan benci. Ya, hanya itu yang aku rasakan padamu. Aku membencimu Grisha Rosalie."
Grisha hanya bisa menatap lelaki itu dengan tatapan kosong. Mata pria itu mengungkapkan segalanya dengan jujur. Mendengar hal itu, semakin menyadarkan kembali pada posisinya.
Grisha hanyalah gadis panti yang tidak beruntung karena disukai oleh orang tua dari lelaki yang membencinya. Ya, bahkan derajat mereka pun sangat jauh.
"Baik." Jawab Grisha dengan senyuman. Mengabaikan air mata yang terus menuruni pipinya.
"Aku akan mengingat ucapanmu dengan baik. Terima kasih atas luka nya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Grisha menutup pintu kamar Xeno dengan sangat halus. Mengundang rasa aneh pada pemilik kamar tersebut, namun Xeno memilih untuk tidak peduli.
Grisha segera memasuki kamarnya dan menghamburkan diri pada ranjang. Menarik selimut tinggi-tinggi hingga menutupi wajahnya.
Ia kembali menangis, kali ini lebih keras dengan suara yang teredam selimut. Ia meremat dadanya, rasa sakit hati terus berdenyut, membuat air matanya tak ingin berhenti. Jika bisa, ia ingin sekali berteriak mengungkapkan betapa hancur perasaannya saat ini.
"Apa aku melakukan kesalahan? Aku hanya ingin hubungan kami tidak memburuk, tapi kenapa sangat sulit terkabul? Apa Tuhan juga membenciku? Apa yang harus kulakukan..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
dhapz H
pergi dan tinggalkan xeno jls dia membencimu
2021-11-23
0
Shariiahh
fixs q nangis thor 😭😭
2021-05-12
0
Lia
Kok sedihnya sampai ke gua si
2021-01-30
1