Untuk kesekian kalinya. Aku tertegun memperhatikan sekelilingku. Tunggu, aku dimana? aku terbaring di tempat tidur putih sederhana. Semua benda di sana terbuat dari kayu tua, bisa dibilang ini kamar pelayan. Tidak, tapi ini terlalu besar. Ini jelas bukan kamarku. Aku memang sedikit trauma jika terbangun seperti ini. Aku lalu duduk di tempat tidur itu seperti orang linglung.
Akhirnya aku tidak mengulangi kejadian yang sama lagi. Rasanya saking senangnya aku ingin menangis. Aku kira kehidupanku tidak ada akhirnya. Aku membaringkan tubuhku lagi di tempat tidur itu. Aku tidak pernah sebahagia ini, tapi jika benar, aku tidak akan bisa melihat ibuku lagi. Aku tidak bisa terbangun di Morroc lagi. Baru beberapa detik yang lalu aku sangat senang, tapi sekarang aku menyesalinya.Tiba-tiba terdengar suara ketokan dari pintu besar dekat sana. Saking kagetnya aku langsung duduk kembali.
"Putri Jene... sepertinya Anda sudah sadar."
Seorang pria berkacamata muncul dibalik pintu itu. Rambutnya yang berwarna coklat hampir mengejutkanku. Siapa dia? Dewa? Malaikat?
"A-Anda siapa? Apa saya benar-benar sudah mati?"
"Putri Jene, saya Bass Vilencia dan Anda tengah berada di Tower Tiga Albatraz."
Di tower tiga katanya? Aku belum mati? Aku sempat menutup mulut dengan tanganku saking kagetnya. Kenapa? Aku tidak pernah ada di sini sebelumnya. Apa ini artinya aku berhasil membujuk Raja Albatraz itu? Aku tidak jadi dihukum mati?
"Berterima kasihlah pada Yang Mulia karena Beliau menunda hukuman Anda."
"Menunda?"
"Beliau ingin bertemu dengan Anda lagi."
Kenapa? Kenapa tiba-tiba Yang Mulia berubah pikiran? Antara senang dan bingung, aku tidak tahu harus bagaimana.
"Ada apa sebenarnya?"
"Ikuti saya, Nona."
Aku langsung mengangguk dam mencoba menyembunyikan wajah kagetku saat itu. Pria itu sempat memperhatikanku dari rambut sampai ujung kakiku. Apa ada yang salah denganku? Aku mengikutinya dari belakang. Kami menyusuri anak tangga yang bisa kuhitung jumlahnya dan karena ini tower tangga yang memutar ini membuatku pusing. Apalagi kondisi tubuhku masih belum pulih. Sebenarnya ini istana atau penjara?
Setelah beberapa lama akhirnya kami sampai di lantai paling bawah dan ketika sampai di luar, sebuah pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya menyambutku. Sebuah taman hijau dengan danau di tengahnya. Aku baru tahu ada taman serapi ini di Albatraz. Mulutku menganga tanpa sadar saking kagumnya melihatnya.
"Silahkan duduk di sini."
Rupanya pria yang bernama Bass tadi sudah berada di dekat kursi dekat sana dan mempersilakanku untuk duduk. Entah kenapa aku menurut saja dengannya.
"Sebentar lagi Yang Mulia Lord akan datang."
"Emm... Tuan Bass, apakah aku benar-benar sudah lepas dari hukuman itu?"
"Saya tidak berhak untuk mengatakannya."
"Tapi kenapa Yang Mulia ingin bertemu dengan saya seperti ini?"
"Saya sendiri kurang tahu."
Apa benar tentang perkataanku itu? Aku menelan ludah. Jujur, aku gugup sekali menunggu orang nomor satu di Albatros menemuiku. Aku takut dia menanyai tentang pengakuan cintaku dan membunuhku di sini! Aku harus bilang apa? Aku bercanda? Bisa-bisa kepalaku ditebas di tempat.
"Mohon tunggu di sini, saya permisi."
Tuan Bass berbalik dan meninggalkanku sendirian di pinggir danau kecil itu, sedangkan aku berusaha menikmati pemandangan yang tidak biasa ini. Pasalnya, aku bingung harus berkata apa pada Yang Mulia. Pertama-tama pura-pura berterima kasih? Tunggu, apa ibuku sudah dibunuh? Bagaimana bisa aku berterima kasih pada orang yang membunuh keluargaku? Tenanglah, Jane. Aku harus bisa mengambil hatinya agar tetap hidup dan kembali ke Morroc. Setidaknya aku tidak mengalami kejadian yang sama lagi. Tidak ada siapa- siapa di taman seluas ini? Aku tidak bisa berhenti berdecak kagum. Tak lama, sayup-sayup aku mendengar suara seseorang dari arah aku datang tadi. Tanpa sadar aku menguping pembicaraan mereka.
"... Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja."
"Terima kasih atas perhatianmu."
Astaga, apakah itu Yang Mulia Noc? Tapi rambutnya berbeda. Aku buru-buru melepaskan pandanganku dari sana. Bisa gawat kalau dia tahu aku memperhatikannya. Seorang pria sedang bersama wanita cantik berambut coklat yang tergerai indah.
Siapa dia?
Tanpa sengaja mata biru milik wanita itu menangkapku dari kejauhan. Satu kata untuknya. Cantik. Matanya. Dia lalu pergi dari sana dengan anggunnya. Lawan bicaranya tadi langsung menoleh ke arahku. Dia bukan Noc. Tapi siapa? Mata kami bertemu beberapa detik. Mata merah pria itu membuatku penasaran. Tak lama dia mengalihkan pandangannya dariku.
Astaga, orang yang daritadi kutunggu datang juga. Lord Noc! Pria dingin itu terlihat menyapa pria yang sejak tadi berada di sana. Jantungku berdegup kencang seketika. Tiba- tiba aku teringat akan ucapanku kemarin padanya. Dia pasti akan mempertanyakan hal itu padaku sebelum membunuhku.
Tanganku terasa sedikit gemetaran. Aku berusaha menenangkan diriku. Sia-sia saja usahaku kalau aku masih tetap terbunuh olehnya. Aku pasti bisa mengambil hatinya! Dengan wajah dan rambut indah milikku ini, Yang Mulia harusnya tertarik padaku.
"Hormat pada Yang Mulia..."
Pria itu berjalan ke arahku dan aku langsung terpaku menatapnya. Rambutnya yang berwarna hampir sama denganku itu tertata rapi. Dia berpakaian serba putih.
Apa dia memang setampan ini?
Entah kenapa pertanyaan itu terbesit dalam pikiranku. Sampai-sampai aku tidak menyadari dia sudah ada tepat di depanku dan menatapku dengan sorotan mata yang bisa membunuhku.
Dia mendekat perlahan seolah ingin memangsaku. Tatapannya berbeda dengan saat dia berbicara dengan pria tadi. Aku mendongak padanya sambil mencengkeram tanganku sendiri.
Apa-apaan ini? Apa dia akan membunuhku di sini?
"Apa kau punya perlindungan sihir?"
Suara berat yang berasal dari mulutnya tiba-tiba memecahkan keheningan. Perlindungan sihir? Aku memasang wajah masem tanpa mengalihkan pandanganku. Kenapa dia menanyakan itu?
"Sa-saya tidak mengerti..."
Wajahnya semakin mendekatiku dan berhasil membuat tanganku berkeringat dingin. Bola matanya berubah lagi menjadi merah! Jadi kemarin aku tidak salah lihat? Namun, tak lama, matanya berubah seperti semula. Siapa yang tidak terkejut melihatnya?
Aku mencoba mengalihkan pandanganku, tapi dia tiba-tiba memegang tanganku dan menarikku dari tempat duduk. Jantungku rasanya ingin lepas saat itu juga.
"Aku tanya sekali lagi, apa kau menggunakan perlindungan sihir?!"
"Ti-tidak!"
Saking terkejutnya aku refleks berteriak padanya. Pria yang selalu dipanggil Yang Mulia itu kasar sekali. Apa sih perlindungan sihir yang dimaksudnya? Dia lalu terdiam, heran menatapku yang terlihat ketakutan itu.
"Apa pria tua itu yang melakukannya?"
Aku mendelik dan tertegun. Pria tua? Maksudnya ayahku? Benar-benar seenaknya. Bukannya takut aku malah menjadi kesal padanya.
"Aku tidak bisa melihat masa depanmu."
Dia lalu melepaskan tanganku perlahan di saat aku masih mencerna perkataannya. Masa depan? Pria ini bisa melihat masa depan seseorang? Dengan hanya melihat matanya? Apa karena itu warna matanya berubah? Tunggu, apa karena ini juga kah dia tidak jadi membunuhku?
"Apa maksud Anda?"
"Siapa namamu?"
"Jane. Saya benar-benar tidak bisa menggunakan sihir."
"Harusnya kemarin aku langsung membunuhmu..."
Aku terdiam saat pria itu tiba-tiba mengambil pedangnya dan mengarahkannya padaku. Ujung pedang itu sangat dekat dengan leherku. Bahkan menelan ludah saja aku takut. Dia benar-benar tidak punya hati!
"Lalu jelaskan maksud ucapanmu kemarin?"
"Sa-saya..."
Tanpa sadar tanganku sudah gemetaran dibuatnya. Apa yang harus kukatakan? Astaga, apa aku mati lagi saja? Rencana berpura-pura menyukainya benar-benar buruk!
"S-sa-saya hanya menyatakan perasaan saya... s-sa-saya..."
Jauhkan pedang itu sialan! Aku berteriak di dalam hati. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaannya dalam situasi seperti ini. Dia seperti sudah bersiap mencabik keringkonganku dengan pedangnya yang besar itu.
"Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu."
Dia tersenyum lirih kali ini. Dia pasti tahu kalau kata-kata manisku kemarin hanyalah kebohongan.
"Saya melihat gambar Anda..."
"Karena wajahku?"
"I-iya... maafkan saya telah lancang."
"Aku baru tahu Morroc memiliki seorang putri yang tidak takut mati sepertimu."
"Menikahlah dengan saya, Yang Mulia."
Hidup dan matiku dipertaruhkan di sini. Pasalnya aku sudah berkali-kali merasakan kematian, sehingga aku tidak harus takut lagi dengan pria ini. Ini mungkin ide tergilaku karena sudah berani melamarnya, tapi aku harus bisa bertahan dengan mengambil hatinya dan menyelamatkan Morroc. Walaupun Ayah dan Ibuku sudah tidak bisa diselamatkan, setidaknya aku masih berusaha menghentikan kutukan kematianku dan menyelamatkan orang-orangku.
"Aku tidak menikah... dan aku tidak tertarik denganmu."
JEDERR!
Bak petir yang menyambar di siang bolong, aku terpaku mendengar ucapannya. Apa dia tidak menyukai wanita? Dia pria yang benar-benar tidak punya hati, setidaknya dia bisa menolakku dengan lebih sopan. Yah, tapi ini memang salahku yang keterlaluan langsung mengajaknya menikah.
Sialan! Apa karena sebelumnya aku tidak pernah ditolak seperti ini? Siapa yang berani menolak seorang putri Morroc yang cantik ini? Tatapannya pun terlihat seperti jijik melihatku! Bagaimana ini? Apa aku harus memohon dan bersujud padanya sekarang?
Sabar, Jene.
"Yang Mulia, saya akan mengabdi pada Anda."
Aku tahu resikonya, tapi aku benar-benar tidak mau mengalami hal yang sama lagi. Dia terlihat kaget dan menatapku dengan heran.
"Aku tidak butuh. Apa kau mengatakannya agar tidak kubunuh?"
Sial, dia peka juga. Aku sengaja menatapnya dengan wajah memelas. Pria itu terdiam dan sekali lagi kuperhatikan bola matanya berubah menjadi merah. Apa dia mencoba 'membaca' pikiranku atau masa depanku lagi?
Tak lama pedangnya semakin mendekat, sehingga aku berjalan mundur. Sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya? Sepertinya aku tahu kenapa dia tidak bisa melihat masa depanku, karena aku memang tidak punya masa depan. Seharusnya aku sudah mati sekarang.
Aku lalu melirik danau yang tengah berada di belakangku. Dia berusaha menenggelamkanku?
"Ya-yang Mulia..."
"Matilah..."
Dia sengaja terus memojokkanku ke tepi danau dan benar saja, belum sampai hitungan ketiga, aku tiba-tiba terjatuh ke dalam danau yang aku sendiri tidak tahu dangkal atau tidaknya.
BYURR!
Suara ketika tubuhku menghantam air dengan pelan, aku mendengarnya tapi dengan tenang aku menarik nafasku yang sepertinya susah dilakukan. Tidak. Aku tidak perlu meronta-ronta minta pertolongan, dia tidak akan membantuku. Aku akan hidup lagi dan menyusun rencana lain.
Lama-lama leherku tercekik dan tubuhku sangat ingin berenang ke permukaan. Aku tidak menyangka danau ini cukup dalam, bahkan aku belum mencapai dasarnya. Kematianku sebelumnya sepertinya tidak semenderita ini. Leherku benar-benar tercekat, sehingga aku harus membuka mulutku. Astaga, aku baru tahu rasanya tenggelam seperti ini. Kali ini aku berusaha naik ke atas, tapi rupanya tubuhku tidak bergerak sama sekali walau sudah menggerakkan tanganku.
Sial!
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
fiza
klo dh syik kena bunuh tiap kali bangun,apa lagi pegang pisau ,tumbuk muka dia,puas ati,tiapkali bagun,tiapkali buat,tumbuk,lempang,tendang..apa2 la..maki jgn lupa😁
2024-05-15
0
🍇Annoranaura🍇
keren
2023-12-17
0
alya
sukaaa
2021-09-12
0