Kotaro berdiri dengan kebingungan. tempat yang dipijakinya terasa asing dan membuatnya kesepian. dengan penuh kekhawatiran, diarunginya keseluruhan dataran berharap menemukan tapal batas dari ranah yang dijejakinya. tak kunjung ia menemukannya semakin menambah masygul dan rasa kecewanya.
terdengar sekehan tawa, Kotaro berhenti memperhatikan sekelilingnya.
"Siapa itu?" seru Kotaro dengan nada cemas.
"Aku..." jawab suara dibelakangnya.
Kotaro membalikkan tubuh mencari asal suara. ia menemukannya. disana berdiri sosok sama tinggi dengannya. kulit sosok itu berwarna merah nyala dengan hawa pekat jingga menyelimuti tubuhnya.
"Kau...kau....aku?" gumam Kotaro dengan bingung mendapati sosok tersebut berwajah identik sama dengan dirinya.
"Bodoh! memang kau pikir siapa?!" bentak sosok itu.
"Tapi...siapa kau?" tanya Kotaro masih tenggelam dalam kebingungan.
"Aku? Kazama!" jawab sosok itu dengan mantap.
Kotaro terperangah, "Biiju..."
tersadar kemudian, terbit kemarahan disanubarinya, "Tentu...kaulah penyebabnya! kau sumber penderitaanku! kau yang menyebabkan keluarga kami mengalami penderitaan! mengapa kau memilihku?! aku tak menginginkanmu!"
Kazama tertawa dengan sinis, "Tenangkan dirimu. inilah takdirmu! Ratu Amaterasu memilihmu sebagai wadahku untuk bereinkarnasi."
"Sudah kubilang, aku menolakmu! pergilah mencari wadah lain. cukup sudah aku menanggung penderitaan ini. kau menyebabkan aku terpisah dari kedua orang tuaku. kau penyebab segala penderitaanku!" teriak Kotaro seraya meninju-ninju dada Kazama.
sosok dihadapannya hanya mendengus dan menangkap bogem terakhir yang dilayangkan Kotaro. Kazama melempar tinju pemuda itu dan menarik kerah bajunya.
"Bodoh! kalau kau menolakku, sudah sejak lama kau mati diujung sandal para pengawal itu! sudah lama juga kau mati karena menyentuh pusaka Sudeshige." bentak Kazama lalu mendorong Kotaro beberapa tindak kebelakang. sosok itu kemudian melangkah memutari pemuda itu dan terus memberikan penjelasan,"Kau sudah tahu, bahwa sarung tangan itu dimandikan dengan darah dari beberapa siluman yang ditangkap dan ditumbalkan. manusia biasa takkan bisa menyandangnya. Sudeshige sendiri mengikat persekutuan dengan Ratu Yuki saat mengenakan sarung tangan itu. jika tanpaku, memangnya kau bisa menyentuhnya?!"
Kotaro hanya diam kemudian tunduk merenung memikirkan kata-kata kembaran astralnya itu.
"Tapi... mengapa harus aku?" gumam Kotaro dengan nada tercekat.
"Sudah kukatakan, inilah takdir kita. kau dan aku akan tetap bersama sampai ajal memisahkan kita. bersama, kita akan menguasai tanah Jepang dengan leluasa." kata Kazama.
"Aku tak mau menjadi penguasa!" tolak Kotaro.
Kazama memutar bola matanya dan menatap Kotaro. ia mendesah lalu memegang kedua bahu anak itu.
"Lalu, maumu apa?" tanya Kazama dengan lemah.
Kotaro menunduk lama. Kazama melihat beberapa titik bening jatuh dari mata anak itu. Kazama mendesah jengkel melihat Kotaro yang menangis.
"Dasar cengeng! hentikan itu. aku tahu apa dalam hatimu. kau merindukan kedua orang tua kita, bukan?" tebak Kazama.
"Itu ayah-ibuku, bukan ayah-ibumu..." desis Kotaro seraya menyusut air matanya. Kazama hanya bisa mendesah jengkel lagi.
"Kau ditakdirkan untuk hal-hal yang besar! orang tuamu telah mengikhlaskanmu. jangan pikirkan mereka. apa lagi ayahmu..." kata Kazama.
"Ada apa dengan ayahku? katakan!" desak Kotaro.
"Ayahmu sudah berada di nirwana." jawab Kazama dengan datar.
tubuh Kotaro gemetar dan ia jatuh bersimpuh. Kazama mendekatinya lalu jongkok disisinya. "Ayah gugur melawan ketidak-adilan. Gonsuke membunuhnya dan mencuri kalung milikmu yang disimpannya sebagai kenangan." Kazama mengayunkan tangannya ke depan. dihadapan mereka berdua, muncul sosok Churro. lelaki itu berdiri dan menatapi Kotaro kemudian tersenyum.
"Ayaaah..." teriak Kotaro seraya bangkit dan berlari menyongsong sosok tersebut. tapi langkahnya tertahan ketika Kazama mencengkeram bajunya dari belakang.
"Belum saatnya kau ketemu ayah. aku masih membutuhkan tubuhmu! sekarang, bangunlah kau!" seru Kazama menghantam tengkuk Kotaro membuat pemuda itu tersungkur. ia tak lagi melihat apapun. kegelapan membentang dihadapannya.
...***...
Gojiro menempelkan handuk basah di dahi anak itu. berdasarkan keterangan Takiyasha, anak itu mengalami kesakitan luar biasa ketika sarung tangan Sudeshige menyerap cakranya. Takiyasha sendiri tak berani melepas sarung tangan itu dan berlari meninggalkan Kotaro yang pingsan, menuju ke rumah mendapati Gojiro dan mengabarkan segalanya.
untung saja Kotaro masih bisa diselamatkan ketika Gojiro tiba dan melepaskan pusaka itu dari kedua tangan anak tersebut. ia dibawa ke rumah besardan dirawat disana dalam pengawasan Gojiro. kulit pemuda itu kini berwarna putih pucat bagai tak dialiri darah, namun anehnya, bobot tubuhnya tak berkurang, otot tubuhnya tak menyusut, bahkan terkesan angker ketika Gojiro menyadari sepasang taring kecil muncul disudut bibir anak itu. Gojiro bergidik.
"Kenapa kau membiarkannya? bukankah kau tahu kalau pusaka itu terkutuk?" kata Gojiro memandangi Takiyasha.
"Salahnya sendiri!" gerutu Takiyasha, "Dia bersikeras memakainya. sekarang dia menerima akibatnya."
setidaknya Takiyasha bisa bernapas lega ketika mengamati dada Kotaro yang naik-turun dengan teratur. anak itu masih hidup meski napasnya terhela lemah. kedua mata lentik gadis itu melebar ketika melihat perlahan kotaro membuka matanya.
"Dia sadar kek!" pekik Takiyasha dengan senang.
Gojiro ikut memperhatikan. anak bertubuh raksasa itu perlahan sadar dari pingsannya. kakek itu bernapas lega seakan semua beban terlepas dari pundaknya.
"Kau sudah sadar?! untunglah. kurasa memang para dewa menjagamu." kata Gojiro dengan rasa senang. Kotaro memutar pandangan kearah Takiyasha. gadis itu bersimpuh dan mendekatkan wajahnya ke wajah Kotaro.
"Kupikir... kau takkan mampu bertahan..."
Kotaro memandangi langit-langit kamar. "Aku tak menyangka... pengaruh sarung tangan itu sangat kuat." kata pemuda itu dengan pelan.
Takiyasha mengangguk. "Kurasa... hanya kau dan mendiang Soke terdahulu yang mampu menguasai sarung tangan itu. aku sendiri, kakek, dan warga desa, tak ada yang mampu.... bahkan ayahku juga...." kata Takiyasha tanpa sadar menatapi dua taring kecil yang menguncup disudut bibir Kotaro. gadis itu bergidik.
perlahan Kotaro bangkit lalu duduk. "Dalam alam lain, aku menemui ayahku... dia tersenyum... aku ingin memeluknya... aku... merindukannya..." tak terasa Kotaro menyadari kedua matanya telah basah dan celananya menampilkan bekas jatuhan titik-titik air mata.
Kotaro menyusut air matanya, Takiyasha menatapi Gojiro, "Kakek, bolehkah Kotaro kembali ke kampung lamanya?"
semula Gojiro enggan mengabulkan permintaan Takiyasha. namun lama ia berfikir, akhirnya kakek itu mengangguk juga. "Asalkan berhati-hati dan segera kembali jika maksud telah tercapai. aku khawatir, banyak hantu berkeliaran menculik anak-anak, terutama yang seistimewa dirinya."
Gojiro kemudian menatap Kotaro. "Kau boleh menyambangi kampung lamamu. tapi ingat, cepatlah pulang." pesan kakek itu.
wajah Kotaro berbinar dan memamerkan senyumnya yang lebih cocok disebut seringai. anak itu bersimpuh. "Terima kasih atas ijinnya kakek. saya pasti akan kembali kesini dan..."
"Sudah, jangan banyak berjanji." omel Gojiro langsung berdiri dan meninggalkan ruang utama.
sepeninggal Gojiro, pemuda itu menatap Takiyasha. "Kau akan menemaniku?"
Takiyasha menggeleng dan tersenyum, "Tidak. nikmatilah perjalananmu....jangan berpikir tentang apapun..."
Kotaro mengangguk mantap. Takiyasha mengembangkan senyum jahilnya , " Kau masih ingat jalan pulang ke desa lamamu, kan?"
...***...
Kotaro meninggalkan desa Rappa dan menyusuri jalanan setapak di pegunungan Ashigarashimo. ia menyusuri wilayah Sagami menujuke utara. tujuannya adalah propinsi Dewa, lokasi desa lamanya berada. langkahnya ringan nan riang, mulutnya tak henti-hentinya bersenandung senang.
propinsi dewa, pada jaman dulu disebut Ushu-Tandai, merupakan pemerintahan otonomi yang dibangun birokrasi keshogunan Ashikaga untuk mengawasi para hanshi (gubernur jenderal) yang memerintah wilayah-wilayah utara. para pejabat Ushu-Tandai sering berasal dari keluarga Mogami secara turun temurun.
Kotaro membiarkan rambut merahnya terurai, kontras dengan sozuku putih-biru serta sepatu kulit yang dikenakannya. sebilah ninjato tersampir dipunggungnya. perjalanan itu memakan waktu seminggu menurut kekuatan fisik Kotaro. selama diperjalanan melintasi jalan utama, Kotaro tidak sekalipun kekurangan karena Gojiro membekalinya dengan sekantong keping ryo. pemuda itu bisa sesukanya makan di kedai yang dijumpainya.
Gojiro tidak begitu saja melepasnya. tanpa sepengetahuan Kotaro, kakek itu memerintahkan Takiyasha bersama 10 shinobi Rappa berkemampuan tinggi untuk membayangi Kotaro tanpa disadari pemuda tersebut. sebenarnya, jika dalam keadaan biasa, Kotaro mampu mendeteksi keberadaan Takiyasha dan konco-konconya. namun kegembiraan lebih menguasai anak itu sehingga ia tak memperdulikan sekitaran dan lebih fokus pada tujuan perjalanannya.
...***...
dalam sejarah, warga desa Rappa, aslinya adalah keturunan para kriminal negeri yang dilindungi samurai bernama Taira Sudeshige. paska perang Shimosa dan Taira Masakado yang dihukum mati, kepalanya disemayamkan di kuil Kubizuka, Edo. Sudeshige kemudian melarikan diri ke Ashigarashimo dan membangun desa disana, beralih menjadi petani biasa. paska perang Dan no Ura yang dimenangkan Genkuro Yoshitsune, keluarga Heike cabang Kammu sebagai aras utama keluarga Taira dimusnahkan oleh Minamoto Yoritomo yang kemudian mendirikan keshogunan Kamakura. mertuanya, Hojo Tokimasa yang masih memiliki kekerabatan dengan Taira Kiyomori kemudian memanfaatkan hubungan perbesanannya untuk menguasai keshogunan. shogun ketiga, Sanetomo, gugur dalam insiden konspiratif hingga keshogunan dikuasai keluarga Hojo yang kemudian memaksa pihak kekaisaran mengikuti aturan yang ditetapkan keshogunan. kepemimpinan negeri dirampas dari tangan kekaisaran Jepang kepada keshogunan Jepang yang menjabat sebagai Shikken (wali negara atau perdanan menteri utama.)
kerabat keluarga Minamoto cabang Seiwa adalah keluarga Ashikaga. Takauji, sebagai kepala keluarga kemudian menyusun pemberontakan bersama Nitta Yoshisada. mereka berhasil menumbangkan keluarga Hojo bersama dengan terbakarnya kota Kamakura. pasukan Ashikaga kemudian memasuki Kyoto sebagai pemenang dan mendirikan keshogunan dengan mendirikan istana di distrik Kamigyo, Kyoto.
Taira Shinkuro yang mengabdi pada Imagawa Ujichika, dihadiahkan propinsi Izu pada era Bunki kedua (1493). ia merubah namanya menjadi Ise Moritoki dan melakukan ekspansi kemudian merebut kota Odawara yang dijadikan sebagai basis kekuasaannya. Ise Moritoki merebut Kamakura pada era Eisho (1512) dan Kastil Arai (1518). puncaknya, ia mendirikan kembali keluarga Hojo sebagai pelanjut keturunan keluarganya yang sempat musnah. Shinkuro (Ise Moritoki) merubah namanya menjadi Hojo So un.
...***...
beberapa hari kemudian, Kotaro tiba di desanya. langkah pemuda itu terayun menuju rumahnya. namun langkahnya sempat tertahan ketika melihat rumahnya dikerumuni banyak orang. dengan hati-hati, ia menyeruak ditengah kerumunan warga.
"Ada apa ini?" tanya Kotaro. salah satu warga menengok dan tercengang melihat pemuda setinggi 216 meter. ia sempat berpikir dan terkejut kemudian.
"Kau, Kotaro, kan?" tebak warga itu.
"Benar. ada apa?" jawab Kotaro.
jawaban pemuda itu menggemparkan warga desa mereka tak menyangka dan mengagumi anak yang pergi kini pulang dengan tubuh kekar dan penampilan yang garang. tanpa perduli, Kotaro memasuki rumahnya. pemuda itu langsung menuju bilik tempat Akane terbaring sakit dijaga oleh kerabatnya.
"Ibu... aku pulang." kata Kotaro
mata Akane perlahan membuka dan memandang kesana-kemari hingga akhirnya mendapati Kotaro yang kini duduk di dekatnya.
"Kotaro... kau kah itu?" tanya Akane dengan serak, " Aku hampir tak mengenalmu... oh dewa... aku bersyukur... kau masih memberikan kesempatan padaku untuk menemui putraku..."
beberapa warga yang melihat adegan itu sempat meneteskan air mata. Kotaro menyangga kepala Akane di pangkuannya.
"Ayahmu... ayahmu... telah tiada... " desah Akane.
Kotaro mengangguk dan membelai rambut ibunya. "Aku tahu, ibu.... ayah menemuiku... ia memberitahu semuanya..."
kerabat Akane kembali menceritakan perihal wafatnya Churro. lelaki itu tewas dikeroyok para yojimbo milik Gonsuke. rentenir itu menghina Churro karena mampu membayar hutang sawahnya. kelihatannya Gonsuke tidak rela menyadari salah satu korbannya lepas hingga ia mencari-cari dalih dan puncaknya menuduh Churro mencuri dan memaksa petani itu mengakui sesuatu yang tak pernah dilakukannya. dengan harga diri yang terluka, Churro berbekal cangkul mempertahankan haknya hingga tewas dalam pengeroyokan.
selesai kerabat itu berkisah, Akane membelai pipi Kotaro, "Jangan sedih, putraku.... aku sudah terlalu letih dengan hidup ini... maukah kau merelakanku menyusul ayahmu?"
pertanyaan itu membuat tangisan kerabat Akane bertambah keras. Kotaro membiarkan matanya basah, namun tak sedikitpun ia terisak. pemuda itu hanya mengangguk pelan dan tersenyum trenyuh.
"Terima kasih nak... kau sudah datang menemuiku... terobati sudah kerinduanku... nah, ijinkan aku menemani ayahmu... kasihan... dia.... sendirian. "
selesai berkata, kepala Akane terkulai jatuh beriringan dengan tangisan para kerabat keluarga yang semakin jelas terdengar. perlahan Kotaro membaringkan tubuh Akane dikasurnya. anak itu bangkit dan melangkah mantap meninggalkan ruangan.
tak ada yang menyusulnya. namun warga desa tahu kemana pemuda berambut merah itu melangkah. Kotaro menyusuri jalanan desa hingga akhirnya ia tiba didwoan gerbang kediaman Gonsuke.
lama dia memperhatikan kediaman itu. akhirnya dengan segenap tenaga yang terkumpul, ia mengerahkan energi dan menyalurkannya pada suaranya yang keluar lewat gelombang. pemuda itu berteriak keras.
"GONSUKEEEEE.......!!!!"
...***...
para pendeta dalam kuil berteriak panik. lantai dan dinding kuil bergetar keras bagai hendak runtuh. Gojiro bergegas menuju kuil begitu mendengar laporan para penjaga kuil. sesampainya disana, segera padri tua itu memasuki kuil dan berlari menuju kamiza. disana langkahnya terhenti dan mulutnya ternganga.
sepasang sarung tangan itu bergetar keras kemudian melayang mengeluarkan suara dengungan yang memekakkan pendengaran. belum habis keterkejutan Gojiro, benda pusaka itu langsung melesat ke luar kuil.
Gojiro mengejarnya dan akhirnya menghentikan langkah menatapi benda pusaka itu terbang melesat menuju arah barat daya dan menghilang di kegelapan malam. Gojiro ditengah rasa terkejut, bisa menebak kemana sarung tangan itu pergi.
"Kotaro...." gumamnya dengan takjub.
...***...
"Hei! Apa yang kau lakukan disini?! teriak-teriak macam orang gila! mau ******?!" bentak pengawal gerbang.
pemuda itu tak perduli, "Panggil Gonsuke kemari!!" seru Kotaro.
"*******! datang-datang langsung main perintah! belum tahu rasanya dipukul?!" bentak pengawal satunya sambil melangkah maju.
pengawal itu menghunus pedang dan mengayunkannya. sontak Kotaro menghunus pula pedangnya dan menangkis serangan pengawal itu.
"Berisi juga rupanya kau." desis yojimbo itu.
"Panggil rentenir itu, atau aku yang akan kesana, dan kujamin kalian semua akan menyesal." ancam Kotaro sambil mengibaskan pedangnya membuang pedang lawan. penyerang itu terjejer beberapa langkah ke belakang.
yojimbo lainnya meludah dan menghunus pedang, "Puih! rupanya kau memang ingin ******!"
Kotaro mendengus dan menancapkan ninjato ke tanah. ia mengembangkan tangannya. tak berapa lama muncul larik sinar hitam melesat dari angkasa dan menyelimuti sepasang tangan yang terpentang. beberapa saat kemudian larik sinar itu memudar membentuk sepasang sarung tangan beruas dan bercakar. sesungging seringai menghiasi bibir pemuda berusia 8 tahun itu.
beberapa yojimbo sempat gentar, namun lainnya menguatkan tekad dan menyerbu Kotaro.
"Mampuslah!!!"
para yojimbo itu maju mengeroyok Kotaro mengandalkan beberapa teknik iaijutsu yang mereka kuasai. namun kecepatan Kotaro melampui mereka dan ia menyerang dengan buas.
TRANGG!!!...JLEB!!...!!
UUAAAGHHHH....!!!
dua orang yojimbo tumbang dengan tubuh terbelah dan satunya terkoyak. pedang mereka patah. namun para yojimbo lainnya tetap maju mengeroyok Kotaro. lama-kelamaan keroyokan para pengecut itu tak berarti lagi bagi Kotaro. banyak yojimbo yang berjatuhan meregang nyawa, lainnya memilih mundur namun tetap mengarahkan ujung tombak maupun pedang ke arah Kotaro.
"Panggil Gonsuke kesini!" seru Kotaro memamerkan gigi taring yang mencuat dari sudut bibirnya.
"Jangan harap!" seru salah satu yojimbo.
keributan memaksa pemilik kediaman itu muncul. Gonsuke dan putranya, Gintaro muncul dan memandang keheranan menyaksikan para yojimbo banyak yang tumbang ditangan pemuda raksasa berambut merah.
"Jangan biarkan pemuda itu lolos! bunuh saja!" seru Gintaro dengan meradang.
mendengar seruan majikan mereka, para yojimbo itu menggila. namun serangan mereka makin lama makin tak berarti, lenyap dibawah serangan Kotaro yang bersenjatakan sarung tangan pusaka. taman dan tanah berhiaskan hamparan darah yang tertumpah. Gonsuke terperanjat begitu rupa menyaksikan beberapa tubuh yoiimbo yang tergolek kaku memenuhi halaman depan rumahnya. tatapan Kotaro kepadanya semakin mencorong.
"Gintaro... lama tidak berjumpa... " sapa Kotaro dengan suara rendah.
Gintaro sebenarnya gentar memandang Kotaro. tubuhnya gemetar. namun masih juga ia mengumpulkan keberanian dan membentak, "Siapa kau? berani macam-macam disini?!" ujar pemuda itu seraya menghunus pedang
rupanya gerakan menghunus pedang itu adalah isyarat rahasia, sebab beberapa saat kemudian bermunculan para yojimbo menyeruak dari segala penjuru kediaman itu. mereka bersenjata lengkap.
"Kau tak mengenalku, Gintaro?!" bentak Kotaro.
pandangan shinobi berambut merah itu meremangkan bulu kuduk Gintaro. tatapan Kotaro kemudian tertuju pada kalung giok milik Churro yang melingkar dileher Gintaro. pemuda berambut merah itu memamerkan seringai buasnya.
"Dasar kau... pencuri..." gumam Kotaro dengan gemas.
"Berani kau mengataiku pencuri?! bunuh dia!!" teriak Gintaro dengan kalap.
para yojimbo maju menyerbu, bersamaan dengan itu pula, menyeruak 10 orang shinobi bertopeng kitsune (rubah) dan menyandang bisento (golok besar) lalu mengamuk menerjang para yojimbo. para yojimbo itu kalang kabut. sisanya melarikan diri karena gentar. shinobi-shinobi bertopeng rubah tak membiarkan mangsanya lari. mereka melemparkan beberapa keping shuriken swastika yang sebagian besar menancap ditengkuk para pengawal itu. para desertir itu langsung roboh dan menggelepar ditanah.
semula Kotaro terkejut dengan serangan kilat itu. namun kemudian pemuda itu paham bahwa Gojiro memerintahkan beberapa shinobi Rappa termasuk Takiyasha untuk membuntuti dan membayangi pemuda tersebut. makin takjub dan gembira mereka ketika mengamati Kotaro sanggup menggunakan sarung tangan pusaka dan mempecundangi para samurai pengangguran itu. karena tidak tahan melihat rekan mereka dikeroyok, Takiyasha langsung memerintahkan para shinobi keluar dari persembunyian dan membantu Kotaro menghabisi para pengawal.
dari kegelapan muncul Takiyasha yang melangkah seraya menentang pedang lenturnya yang terhunus. Kotaro hanya menoleh sejenak tanpa membalikkan tubuhnya, kemudian menatapi kembali ayah-anak yang berdiri gemetaran disana.
"Wah Kotaro... sadis juga kau ya?" goda Takiyasha.
mendengar nama itu, seketika merinding bulu kuduk Gonsuke dan Gintaro. mereka sudah memprediksi apa yang akan dilakukan pemuda itu.
"Kotaro... kau...Kotaro??" ujar Gintaro dengan suara tercekik.
"Gintaro... kau sudah tahu maksud kedatanganku... " kata Kotaro.
rentenir muda itu gemetaran dan melepaskan pedangnya ketika sekelompok shinobi Rappa mengepungnya. ia berteriak ketakutan.
"Jangan! jangan sakiti aku!!!" lolong rentenir muda itu dan mulai berjongkok sambil mengangkat tangan ke atas, si ikuti Gonsuke.
"Akan kami berikan apa yang kau inginkan... jangan bunuh kami, Kotaro..." timpal Gonsuke.
Kotaro hanya terkekeh datar lalu mendatangi Gonsuke dengan langkah pelan. "Benar, kau mau mengabulkannya?"
Gonsuke mengangguk cepat. Kotaro kemudian jongkok xan mencengkeram rahang rentenir gaek itu. pandangannya makin mencorong. "Kembalikan ayahku... kau harus mengabulkannya.." desis Kotaro.
mata Gonsuke melebar, "Itu... itu... tak bisa... aku tak mampu mewujudkannya..." jawab rentenir tua itu memelas.
Kotaro menggeram membuat Gonsuke mengerang. rentenir itu merasakan tatapan sang shinobi terasa bagai kait neraka yang ditancapkan ke ujung jiwanya dan Gonsuke merasa nyawa tersedot. ia makin ketakutan dan seketika histeris.
"Jangaaaaaan.....aaaaaakkhhh...."
tubuh rentenir itu jatuh ketanah bersamaan dengan nyawanya yang loncat dari tubuhnya. wajah rentenir itu menyiratkan ketakutan yang luar biasa menyatu dengan rasa sakit tak terkira ketika melepaskan nyawa. mata mayat itu mendelik dan lidahnya terjulur. Kotaro mendengus.
"Dasar manusia lemah..." cela pemuda itu kemudiam mengarahkan tatapannya kepada Gintaro yang makin ketakutan. tanpa sadar, rentenir itu kehilangan kontrol atas tubuhnya dan terkencing-kencing dicelana. perlahan tangan kiri Kotaro terjulur kearah leher Gintaro.
rentenir muda itu sudah pasrah. ia memejamkan mata menanti ajal. namun ternyata Kotaro tidak melakukan apapun terhadap diri Gintaro melainkan hanya menarik putus kalung giok milik Churro dan menyimpannya. Kotaro kemudian bangkit meninggalkan tempat itu.
Takiyasha memandang punggung Kotaro yang menjauh. gadis itu kembali memandang Gintaro yang membuka matanya dan mendesah lega. aroma pesing dari air kencing milik Gintaro yang ngompol mengganggu dria penciuman gadis itu. Takiyasha menyibak kerumunan para shinobi Rappa yang mengepung Gintaro.
Takiyasha jongkok dan menatapi Gintaro yang napasnya sudah tak beraturan. gadis itu membelai pipi rentenir muda itu kemudian mencorongkan tatapannya menyedot pandangan Gintaro.
"Mulai hari ini... kau akan memakan rumput seumur hidupmu... karena kau.... adalah seekor lembu." kata Takiyasha dengan nada datar.
gadis itu berdiri dan berbalik meninggalkan Gintaro diikuti oleh para shinobi Rappa yang kemudian mengaburkan diri mereka dalam kegelapan malam.
sejak saat itu, seluruh warga desa melihat Gintaro berjalan menyusuri desa dengan empat kaki dan memakan rumput, seperti lembu. warga desa yang melihat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala namun tak satupun yang berniat menolongnya. mereka menganggap apa yang terjadi pada keluarga rentenir itu adalah balasan setimpal atas perbuatan mereka sebelumnya, menyengsarakan warga desa dengan riba yang mencekik leher.
...ooOOoo...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments