tahun ke 22 Tenbun (1553)
keluarga itu tak pernah memperdulikan apapun selain pertumbuhan putra semata wayang mereka yang tumbuh begitu sehat ditengah ketidak tentuan gizi yang terasupi olehnya. Kotaro sudah menginjak usia 3 tahun.
meskipun masih batita (bayi usia 3 tahun), pertumbuhan fisiknya berkembang begitu cepat seakan ia seorang anak berusia 7 tahun. terkadang pertumbuhan tubuh putranya membuat kedua orang tuanya diliputi rasa senang bercampur kecemasan.
Akane memperhatikan Kotaro yang sementara asyik bermain-main sendiri di kebun mereka. Churro muncul membawa keranjang yang akan digunakan untuk menyimpan hasil panen kebun mereka yang tidak seberapa banyak. lelaki itu meletakkan cangkul dan menatapi putra tunggalnya yang mirip raksasa cilik.
Churro mengamati wajah putra yang memang dibilang tidak tampan, namun tatapannya membuat lelaki itu terkaget-kaget sendiri. Churro yakin, putranya akan menjalani takdir yang tidak seperti dirinya yang hanya seorang petani kecil. lelaki itu selalu berdoa kepada dewa, berharap putranya kelak akan membanggakan kedua orang tuanya. sekali lagi Churro mengembangkan senyum, memamerkan gurat-gurat keriput ditepian kelopak mata dan sisi-sisi bibirnya.
" Kotaro, ambil 1 kobis dan bawalah kemari." pinta Churro dengan suara keras.
Kotaro berpaling memperhatikan ayahnya kemudian melayangkan pandangannya ke tanaman kobis di hadapannya. dengan enteng dicabutnya tanaman itu dan bayi raksasa itu mendekati ayahnya dan menyerahkan tanaman yang dicabutnya tadi.
" Anak pintar..." puji Churro seraya menerima kobis tersebut lalu membelai kepala anak itu yang sudah ditumbuhi rambut lebat berwarna merah kecoklatan. " Nah, main lagi sana..."
Kotaro berlari meninggalkan Churro. disamping kebun, ia menemukan sebatang ranting panjang lalu melanjutkan larinya menuju jalan desa.
" Jangan jauh-jauh." teriak Akane mengingatkan.
kelihatannya Kotaro tak mendengarnya. anak raksasa itu berlari pelan menyusuri jalanan desa. sedang asyik-asyiknya ia bergembira, langkahnya kemudian terhenti. dihadapannya berdiri 3 anak berusia 6 atau 7 tahun. salah satunya adalah putra Gonsuke. ketiganya melempar senyum sinis kepada anak raksasa tersebut.
" Hei raksasa! mau kemana kau?" bentak Gintaro, putra Gonsuke.
Kotaro memandangnya sejenak, kemudian kedua teman anak itu, lalu ia menggeleng.
" Kau tak mau jawab?!" bentak Gintaro. anak itu menatapi kalung dari serat pohon bermata batu giok yang melingkar dileher Kotaro.
" Eh, apa yang melingkar dilehermu itu? sini, berikan!" pinta Gintaro dengan kasar.
Kotaro meraba batu giok di lehernya. " Ini milikku. hadiah dari ayahku."
" Ah, mana mungkin anak petani miskin sepertimu punya batu berharga seperti itu? kemarikan benda itu!" pinta Gintaro lagi. kali ini lebih memaksa.
Kotaro menggeleng. " Ini milikku."
sambil menggeram, Gintaro maju diikuti 2 orang temannya. tangannya terulur kearah kalung itu. namun Gintaro terkejut ketika Kotaro menepis tangannya dengan kasar.
" Setan alas! kau berani menantangku?!" maki Gintaro sambil melayangkan tinju ke arah Kotaro. anak usia 3 tahun itu dengan refleks menghindar kebelakang dan mundur selangkah.
" Kau berani menghinaku?!" kembali Gintaro melayangkan tinju.
kali ini Kotaro maju mengayunkan kaki kanannya menyarangkan tendangan itu ke arah perut Gintaro dengan telak. anak rentenir itu jatuh terjerembab. meskipun berusia 3 tahun, namun kekuatan yahg dimiliki Kotaro setara anak berusia 8 atau 9 tahun. Gintaro memandangi 2 temannya.
" Kenapa kalian bengong?! pukuli anak itu!" teriak Gintaro dengan histeris.
serentak 2 anak itu maju mengeroyok Kotaro. namun anak itu rupanya jauh lebih kuat dari para pengerubungnya. hanya sekali dua kali melayangkan tinju, kedua agresor itu mental kebelakang.
" Anak setan! ibumu mungkin melacurkan dirinya kepada siluman! kau hasilnya!" ejek Gintaro sambil berdiri.
perkataan putra si rentenir menerbitkan marah dihati anak itu. " Kau menghina ibuku! kau harus minta maaf!" teriak Kotaro sambil maju selangkah membuat Gintaro dan 2 pengawalnya beringsut mundur.
" Siluman! kau siluman!" teriak Gintaro berbalik lari diikuti kedua anak itu. Kotaro tidak menerima penghinaan tersebut. sebelum ia mengejar, kalung hadiah ayahnya disimpannya dibalik sabuk, kemudian bayi usia 3 tahun itu berlari menyusul ketiga pengacau tersebut. selang berapa lama, ia tiba di kediaman Gonsuke. anak itu berdiri didepan gerbang dan mengamati sekitaran.
" Gintaro! keluar kau!" teriak anak itu.
tak lama kemudian, muncul Gonsuke dan beberapa centengnya. dibelakang Gonsuke, berdiri Gintaro dengan pongahnya memamerkan senyum mengejek, semakin menyakiti perasaan anak itu.
" Hei kamu. berani kamu muncul disini?!" bentak Gonsuke.
rombongan rentenir itu berdiri didepan gerbang menghadapi anak usia 3 tahun yang berdiri memancang kedua kakinya dengan teguh.
" Gintaro sudah menghina ibuku! dia harus minta maaf!" seru Kotaro seraya menunjuk Gintaro.
Gonsuke tiba-tiba melayangkan tongkat pendek, memukul lengan anak itu hingga Kotaro menarik tangannya dan meringis sambil memegangi lengannya yang kena pukulan.
" Siapa yang menghina ibumu? memang kau itu anak aneh. mana ada bayi usia 3 tahun yang tumbuh sebesar ini?" kata Gonsuke sambil terkekeh disambut sekehan tawa para tukang pukulnya. " Jangan-jangan ayahmu yang miskin itu, karena tak sanggup bayar hutang, menyerahkan ibumu untuk dilacuri oleh raja siluman dengan harapan mendapatkan harta kekayaan? kau pasti anaknya!"
" Tarik semua kata-kata anda barusan! tak pantas kau menyebut kedua orang tuaku seperti itu!" bentak Kotaro yang tak lagi menaruh hormat kepada rentenir itu. " Kami memang miskin. ayahku memang punya hutang, namun anda tidak boleh merendahkan kami seperti ini!"
Gonsuke merasa dipermalukan dengan jawaban Kotaro membuatnya melayangkan tamparan. ternyata Kotaro mampu berkelit dengan mudahnya membuat rentenir itu merasa dipecundangi.
" Kau menantangku? terima akibatnya!"
Gonsuke menyuruh para yojimbo itu mengeroyok Kotaro. kelima orang itu maju menyerang Kotaro dengan teknik tingkat tinggi. sangat jelas anak itu tak mampu mengimbangi serangan mereka, terpaksa merelakan tubuhnya dipecundangi begitu rupa. anak itu berupaya menahan rasa sakit yang mendera ditengah tubuhnya yang terhempas kesana kemari mengikuti hantaman para yojimbo tersebut. setelah puas memukuli dan memastikan anak usia 3 tahun itu tergeletak setengah sadar, membuat Gonsuke menghentikan pengeroyokan yang memalukan itu. rentenir itu menyuruh 2 orang yojimbo mengantarkan Kotaro ke rumah orang tuanya.
Kotaro diseret 2 orang yojimbo menyusuri jalanan desa hingga tiba di rumah Churro. saat itu Akane yang baru keluar dari kebun, melihat Kotaro yang diseret membuatnya histeris dan berlari mendapati putranya. teriakan istrinya mengundang Churro keluar dan mendapati putra mereka dihempaskan 2 yojimbo itu ke tanah.
" Ada apa ini? mengapa anakku dibeginikan?" jerit Akane ditengah tangisnya yang memilukan hati. salah satu yojimbo meludahi Kotaro.
" Itu akibatnya karena menghina tuan Gonsuke. untung saja dia masih hidup." jawab yojimbo pertama.
" Lain kali, ajari anakmu tata krama!" potong yojimbo kedua yang langsung mengajak temannya meninggalkan tempat itu.
Churro berlari mendapati putranya dan memondongnya masuk kedalam rumah. diikuti Akane, anak itu dibaringkan diruang utama.
" Oh, apa salah kami, wahai para dewa." keluh Akane disela sedu-sedannya, " Mengapa harus anakku yang ditimpa musibah ini? mengapa bukan aku? mengapa bukan kami?"
Churro menabahkan hatinya, menyentuh bahu Akane.
" Rawat ia baik-baik. setelah ia agak mendingan, kita akan mengetahui dari mulutnya tentang kebenaran yang terjadi." kata Churro, menghapus deraian air mata yang membasahi pipinya.
Akane membersihkan tubuh Kotaro yang dihiasi lebam-lebam biru akibat efek traumatis pada fisiknya dikarenakan hantaman dan tendangan para centeng itu. Kotaro memang terlihat seperti anak berusia 7 tahun, namun sesungguhnya ia masih berusia 3 tahun. penampilan anak itu memang terkadang mengecoh siapapun yang belum mengenalnya.
Akane menyeka air matanya yang terus membanjir. Churro sendiri berupaya tidak menampakkan kesedihannya, meskipun terasa begitu menyakitkan. menjelang malam Kotaro siuman dan membuka matanya. begitu melihat Akane, anak itu langsung menangis keras membuat wanita itu terkejut dan menghambur memeluk putranya.
" Jangan menangis anakku. ibumu ada disini. apa yang terjadi denganmu?" tanya Akane dengan lembut, membelai rambut anak itu. Churro ikut mendekat dan duduk bersila disisi Akane.
Kotaro perlahan menyusut air matanya. " Ibu, benarkah aku bukan anak kalian?" tanya anak itu dengan polos. kedua laki-istri itu terkejut mendengar pertanyaan tersebut.
" Kau itu anak kami berdua. ibu melahirkanmu." tandas Akane dengan marah. " Siapa yang bilang kau bukan anak kami?" tanya wanita itu.
" Siapa yang membuat kamu seperti ini, nak?" tanya Churro dengan lembut.
" Jika aku memang anak kalian, mengapa perawakanku lain dengan anak-anak sedesa?" sedu Kotaro.
Churro menggigit bibir menahan rasa perih dihatinya. lelaki itu kemudian berupaya tersenyum meski terlihat hambar. ia membelai kepala putranya.
" Ayah tidak tahu, bintang mana yang menaungi kehidupanmu. tapi, ayah yakin. para dewa di kahyangan tidak akan membiarkanmu seperti ini selamanya. tidak mungkin jika para dewa melakukan sesuatu tanpa punya alasan sendiri." jawab Churro.
" Tidak semua anak diberikan anugerah yang sama. para dewa pasti memiliki alasan tertentu ketika ia membuatmu lahir dari diriku, nak." sahut Akane, menguatkan hati putranya. " Yang terpenting disini, jadilah kau orang yang selalu mementingkan kebaikan."
Kotaro terkesima dengan penjelasan ibu dan bapaknya. namun rasa sangsi itu masih ada membuatnya melontarkan sebuah pertanyaan lagi.
" Ibu..." panggil Kotaro membuat Akane mengangkat alisnya menatapi putra semata wayangnya.
" Benarkah yang dikatakan tuan Gonsuke?" tanya Kotaro.
" Tentang apa?" pancing ibunya.
" Ayah menyerahkan ibu kepada raja siluman untuk memperoleh kekayaan?" tanya Kotaro lagi.
sejenak laki-istri itu tertegun. tubuh Churro gemetar memendam kemarahan. ingin rasanya ia bangkit dan memaksa Gonsuke untuk menarik penghinaannya. apa daya petani miskin sepertinya?
" Anakku, apakah kau benar-benar meyakini ayahmu sebejat itu?" keluh Churro dengan pilu.
" Aku tidak pernah percaya dengan segala perkataan mereka. tapi aku sakit hati, tidak mampu membalas penghinaan mereka kepada keluargaku." jawab Kotaro dengan polos.
Churro tersenyum layu, " Bersabarlah anakku. jika kau selalu melakukan kebaikan, para dewa akan memberikan ganjaran yang terbaik." kata lelaki itu.
Kotaro menatapi ibunya. " Aku akan mempelajari seni beladiri, ibu. aku akan memaksa mereka untuk berlutut pada kalian dan meminta maaf."
anak itu menyuarakan tekadnya. Churro hanya bisa menganggukkan kepalanya beberapa kali kemudian meminta Kotaro untuk beristirahat sejenak.
...***...
sejak insiden itu, Kotaro lebih banyak diam dan menarik diri dari pergaulan anak-anak desa. anak itu kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun, atau memancing ikan disungai. Churro dan istrinya hanya bisa mengawasi putra mereka.
Kali ini, Kotaro menyambangi sungai dan mengarahkan ranting yang dipasangi benang dan kail ke dalam sungai. ia sedang memancing sambil menikmati rebusan ketela rambat yang dikukus ibunya. riak air sungai yang deras menyatu dengan suara arus membuat anak itu tenang.
sedang asyiknya ia menyaksikan beberapa ekor ikan mengerubuti pancingnya, terdengar seruan memanggilnya. anak itu menoleh dan mengerutkan keningnya.
dihadapannya berdiri seorang pria mengenakan pakaian yamabushi (pendeta gunung) dan menggenggam tongkat yang terbuat dari kayu tua tapi kokoh. dikepalanya yang berambut lebat itu terpasang peci kecil. meski wajahnya ditumbuhi brewok tebal, namun kesan yang ditampilkannya ramah. Kotaro melonggarkan kewaspadaannya.
" Nak, mengapa kau memancing sendirian? tidak takutkah kamu, jika kappa mendapatimu sendirian disini, dia akan menculikmu?" tegur pendeta gunung itu.
kappa adalah siluman air, mengenakan tempurung kura-kura di punggungnya dan batok kepalanya berlubang. kappa mendiami sungai-sungai dan menggemari ketimun. tapi, siluman itu tidak menolak daging manusia.
Kotaro tertawa. " Tuan pendeta, jika memang kappa itu ada disini, sejak tadi saya tidak ada disini."
" Jawaban yang cerdik." puji pendeta itu dalam benaknya. padri itu kemudian duduk disamping Kotaro, mencomot sebuah ketela rebus tanpa seijin anak itu. Kotaro juga tak menghiraukannya. pendeta itu sejenak menikmati penganan tersebut lalu mengamati air sungai yang bening.
" Sudah berapa ekor yang kau dapat anak muda?" tanya pendeta tersebut sambil meletakkan tas punggungnya ke sampingnya.
" Baru seekor saja." jawab Kotaro memperlihatkan ikan yang menggelepar dalam keranjang kecil. pendeta gunung itu tersenyum.
" Kalau kau berkenan, maukah kau melepasnya? kasihan ikan itu. mungkin ia merindukan keluarganya." rayu pendeta tersebut.
Kotaro tertegun sejenak lalu diambilnya keranjang kecil itu dan menumpahkan seekor ikan kembali ke sungai.
" Anak yang baik." sekali lagi pendeta itu memuji anak tersebut di hatinya. Kotaro membuang alat pancingnya lalu membereskan barang-barangnya.
" Mau kemana kau nak?" tanya pendeta itu.
" Pulang. tak ada lagi yang harus kulakukan disini." jawab Kotaro sekenanya.
" Memangnya, apa yang hendak kau perbuat?" pancing pendeta itu.
" Tuan pendeta, anda sudah melarang saya memancing disini. apalagi yang harus ku perbuat? tentu aku akan pulang ke rumah, membantu kedua orang tuaku." jawab Kotaro.
" Apakah aku melarangmu memancing?" tanya pendeta itu.
" Apalagi yang akan saya pancing disungai ini selain ikan? disini tidak ada kepiting Heike." jawab Kotaro.
pendeta gunung itu tertawa. " Sebenarnya aku hanya mengujimu. ternyata kau benar-benar melepaskan ikan itu." kata pendeta gunung itu.
" Bukankah tuan pendeta menyuruhku melepaskan ikan itu agar ia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya? semoga saja peri Amikiri tak akan memarahiku." sahut Kotaro lagi.
" Kau yakin peri Amikiri tidak akan mengusikmu?" goda pendeta itu. Kotaro mengangguk.
" Kata ibuku, peri Amikiri tidak akan mengganggu orang yang tidak merusak.hutan." jawab anak itu.
pendeta gunung itu tersenyum. " Boleh kutahu namamu, nak?"
" Kotaro..."
" Aku Zenbo...." kata pendeta itu kemudian memandangi hamparan bening air tersebut. " Ketahuilah nak. ikan tidak memiliki ayah dan ibu. kelahiran mereka diperantarai oleh air. jika kau menganggap ikan itu merindukan keluarganya, aku bisa mengatakan, ikan itu merindukan air."
" Berarti tuan pendeta menjebakku?!" seru Kotaro dengan marah dan melayangkan tinjunya. dengan cekatan, pendeta gunung itu menangkap kepalan anak itu. semula keningnya berkerut lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
" Kau memiliki struktur tulang yang baik. kenapa kau tidak mempelajari seni beladiri?" pancing pendeta itu. " Usia 7 tahun sepertimu, tentu usia yang sangat baik untuk menguasainya."
" Tuan pendeta salah paham tentang diriku. aku belum setua itu." kata Kotaro sambil tertawa.
" Memang usiamu berapa tahun?"
" Aku baru berusia 3 tahun, tuan." jawab Kotaro.
pendeta itu menatapi Kotaro dengan sangsi. apakah dia titisan siluman?
" Dan tuan juga menyangka anak siluman. " tebak Kotaro.
Zenbo lebih terkejut lagi. apakah anak ini mampu membaca pikirannya? Kotaro tertawa.
" Anak-anak desa mengataiku raksasa. " kata Kotaro dengan polos.
sebuah gagasan terbit dikepala pendeta gunung itu. " Nak, maukah kau mengikuti diriku?" tanya pendeta itu.
sejenak Kotaro menatapi air sungai, kemudian memandangi padri tersebut. " Mengapa aku harus mengikutimu?"
" Apakah kau ingin mempelajari seni beladiri?" pancing Zenbo untuk menarik minat anak tersebut.
mendengar kata 'beladiri' tentu saja Kotaro langsung tertarik. " Tentu aku ingin mempelajarinya. itu impian saya, agar saya bisa melindungi diri saya dan membela keluarga saya." jawab anak tersebut.
" Kalau begitu, dimana orang tuamu? aku akan meminta ijin mereka." kata Zenbo.
Kotaro mengangguk lalu mengajak pendeta gunung itu meninggalkan aliran sungai dan menyusuri jalanan setapak menuju kampung. ketika mendekati sebuah rumah, Zenbo melihat dua laki-istri yang memperhatikannya. keduanya berdiri melihat Kotaro datang menggandeng seorang pendeta gunung.
Zenbo memandang Kotaro. anak itu mengangguk. pendeta gunung itu kemudian membungkuk dihadapan Churro dan Akane yang kelihatan bingung dan cemas.
" Apakah anak kami membuat masalah?" tanya Akane.
Zenbo tertawa dan menggeleng. " Sama sekali tidak. kami bersua ditepi sungai. saya dalam perjalanan memohon derma. bolehkah saya melepas lelah disini?
tentu saja Churro mengijinkan. suami-istri itu memang tak pernah sekalipun menolak tamu, apalagi seorang ulama. itu merupakan berkah menurut pemikiran mereka. Akane memasakkan makanan untuk menghormati tamu mereka sedang Churro mempersilahkan Zenbo duduk diruang utama. Zenbo melepaskan tas punggungnya dan meletakkannya diteras. padri itu masuk setelah melepaskan sandal jeraminya.
diruang utama, di meja telah tergeletak beberapa penganan ringan dan teko serta cangkir kecil. Churro menuangkan teh ke cangkir dan Zenbo meminumnya untuk mengapresiasi keramahan tuan rumah.
" Maaf, hanya ini yang dapat kami hidangkan untuk anda." kata Churro dengan canggung.
Zenbo kembali tertawa. " Hidangan ini sudah sangat mewah menurut saya. maafkan atas ketidaknyamanannya." kata Zenbo seraya merangkapkan kedua telapak tangannya ke dada.
" Tidak masalah bagi kami, tuan pendeta. menyantuni anda, berarti kami melaksanakan ajaran shugendo dengan baik." jawab Churro sambil terkekeh.
Zenbo membungkuk lalu memulai percakapan sebelum Churro memulainya. " Saya tertarik dengan anak bapak. ia cerdas dan tangkas." puji pendeta gunung itu.
" Terima kasih." jawab Churro sambil membungkuk, namun kemudian wajahnya nampak sendu. lelaki itu memandang Kotaro yang duduk diteras. " Sayangnya, anak kami tidak seperti lazimnya anak-anak."
" Benarkah anak ini masih berusia 3 tahun?" selidik Zenbo.
Churro menatapi Zenbo dengan seksama. mungkin Kotaro telah memberitahukan usianya pada padri itu. seperti biasanya, banyak orang yang terkecoh dengan penampilan anak itu. Churro mendehem kemudian mengangguk.
" Memang benar." jawab Churro mengaku. " Itulah yang membedakannya dari anak-anak sebayanya." lelaki itu menatapi langit-langit rumahnya. " Saya nggak tahu apa alasan para dewa menganugerahkannya kepada kami. bagaimanapun, sebagai orang tuanya, kami selalu mengharapkan yang terbaik baginya." Churro menyelesaikan kalimatnya dengan senyum getir.
Zenbo mengangguk-angguk lalu meminum lagi teh ketika Churro menuangkan isi teko ke cangkirnya. lama padri itu diam hingga akhirnya ia membuat sebuah keputusan.
" Jika anda berkenan, saya hendak mengambilnya sebagai murid." kata Zenbo, membuat Churro menatapi sang padri meminta alasannya. padri itu tersenyum. " Saya benar-benar tertarik dengan anak itu."
Akane yang baru tiba diruang utama memandangi suaminya. Churro menatapi Akane sejenak lalu kembali memandangi Zenbo. lama mereka diam.
" Apakah anda tidak terlalu dini mengambil anak saya sebagai murid? saya khawatir anak saya akan menimbulkan masalah bagi anda. " kata Churro dengan perasaan berat.
Zenbo mengangguk. " Saya paham dengan perasaan anda. namun, kurasa ini sebuah takdir. seakan saya mendapat waham untuk mendidik anak ini. jujur saja, saya tidak sembarangan mengambil seorang murid. namun entah mengapa, ketika menemukannya, saya begitu sangat tertarik. seakan kami berdua saling berkait." kata Zenbo menuturkan alasannya. " Saya melihat bintang yang menaungi takdir anak ini sangat unik. saya akan merasa bangga bisa menjadi bagian dari takdirnya." kata Zenbo dengan mantap.
mendengar kata-kata lugas dan mantap yang keluar dari mulut padri itu membuat Churro tiba-tiba diliputi sebuah keyakinan baru. lelaki itu langsung mengangguk.
" Jika memang seperti itu, saya serahkan Kotaro kepada anda. " seru Churro dengan mantap. " Bimbinglah ia, karena saya berharap kelak ia akan membanggakan saya dan tidak menyesali kelahirannya didunia ini."
" Suamiku...." kata Akane seraya menggenggam tepian dinding. pandangannya terlihat cemas.
Churro menatapi Akane kemudian terkekeh. " Memang dia anak kita, Akane. tetapi takdirnya bukan lagi bersama kita." nampak sebening air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. " Sebagai ayahnya, tentu aku juga berat melepasnya. namun..." Churro menatapi Zenbo, kemudian menatapi lagi istrinya, " Pernyataan tuan pendeta menyadarkanku, bukan hak kita mengekang takdir putra kita. Kotaro memiliki jalan takdirnya sendiri." lelaki itu kemudian menatapi lagi Zenbo dan mengangguk. " Saya berharap, yang dikatakan tuan pendeta benar adanya..."
Zenbo terharu dengan keyakinan lelaki ini. ia mengangguk mantap. " Saya akan berupaya sebaik mungkin mendidiknya. mutiara dalam lumpur itu tak boleh selamanya tertimbun. ia harus memancarkan kemilaunya. semoga para bosatsu (bodhisatwa) meneguhkan hati saya." kata Zenbo.
setelah sepakat, Zenbo bangkit dan mohon pamit. Churro mengantar pendeta itu hingga ke teras. disana ternyata Kotaro telah menanti mereka. Churro menepuk pundak anaknya.
" Anakku, sudah saatnya kau berpisah dengan kami. pendeta ini akan menjadi gurumu. belajarlah dengan tekun. jangan biarkan rasa minder menguasaimu. yakinlah pada jalan yang kau tempuh." Churro memberikan petuah terakhirnya dengan suara yang tabahkan. Kotaro hanya diam dan memperhatikan ayah dan ibunya silih berganti. Akane sendiri tak mampu berkata melainkan membuang-buang air matanya saja.
" Anakku. ingatlah...tubuhmu adalah milikmu... namun hati dan pikiranmu adalah milik orang-orang disekitarmu." kata Churro mengakhiri petuahnya.
agar suasana itu tidak berubah semakin canggung, Zenbo langsung meraih lengan Kotaro dan menariknya pelan agar anak itu mengikutinya melangkahkan kaki dengan mantap meninggalkan rumah. Akane dan Churro hanya memandangi kepergian putra mereka hingga akhirnya sosok kedua orang itu hilang di rimbunan pepohonan. lelaki itu memeluk istrinya yang sejak tadi menangis.
" Jangan lemahkan hatimu, Akane. anak kita sedang menempuh takdir yang lebih besar dari kita." kata Churro menghibur istrinya dan membimbingnya masuk kedalam rumah.
...ooOoo...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Golgotha Calvatorch
memang kotaro berbadan besar. Ia yang paling tinggi ukuran tubuhnya dari orang-orang jepang pada umumnya yang hanya setinggi 160 senti makanya di bully sebagai anak siluman.
2022-01-24
0
Lili Alfian
sesuai gambarain koei Kotaro berbadan besar
2022-01-23
0
sasip
membaca kisah Kataro, jadi keinget Keanu dlm film 49 Ronin.. 🤭
2021-02-21
1