Perutku kok tidak mau lihat kondisi dan situasi, sih, kalau mau lapar? Padahal, masih enak-enaknya aku tidur. Mimpi jalan-jalan di Paris jadi tertunda, deh. Malas menyalakan lampu kamar, kuambil ponselku dan kunyalakan fitur senter.
Aku obrak-abrik lagi isi tas yang sudah kususun rapi tadi. Peduli amat isinya berantakan, yang terpenting sekarang aku harus menemukan makanan. Nahasnya, aku hanya menemukan dua bungkus roti sisa tadi di bus.
Memang, sih, aku hanya membawa sedikit makanan, sebab kupikir nanti bisa membeli banyak di tempat KKN. Alasan yang paling utama sebetulnya karena aku tidak mau tasku bertambah berat. Tapi perkiraan awalku salah karena ternyata perutku sudah lapar sekarang, dan sepertinya tidak bisa ditahan sampai besok. Dengan sangat memprihatinkan, kulahap roti-roti itu. Yang penting bisa mengganjal perut, pikirku.
Puk! Ada yang memukul bahuku dari belakang dan sukses membuatku tersedak karena kaget. Buru-buru kucari botol air minumku.
“Apaan, sih?” kutatap tajam wajah Iren sang pelaku, meski seharusnya dialah yang kesal karena aku sudah menganggu tidurnya. Tapi biar saja, toh dia juga sudah membuatku tersedak makananku sendiri.
“Kamu itu berisik! Kupikir ada kucing yang menyelinap masuk kamar, ternyata kamu. Ngapain, sih?” omel Iren.
“Lagi makan lah, Ren. Masa iya lagi jaga lilin?” Ekspresi kesal di wajahku tiba-tiba sirna karena terlintas sebuah gagasan di benakku bahwa orang yang memiliki badan terlewat subur seperti Iren pasti membawa banyak stok makanan. Coba pasang muka memelas, ah!
“Tiba-tiba lapar, Ren. Tapi waktu nyari makanan di tas, ternyata cuma ada dua potong roti.” Lalu kutengok Iren yang sedang mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Nih, makan!” ucapnya seraya menyerahkan sebuah kantong keresek hitam berisi makanan. Tepat dugaanku, Iren memang punya banyak cadangan makanan. Buktinya, kantong pemberiannya itu berisi keripik, biskuit, wafer, dan beberapa lembar roti tawar berlapis selai yang siap makan. Iren memang baik hati!
“Totalnya empat puluh ribu!”
Melihat mukaku yang kaget bercampur kesal, dia langsung tertawa puas walau berusaha meredam suaranya. “Bercanda kali, Na! Udah sana, lanjutin makannya. Tapi jangan berisik ya, aku mau lanjut tidur lagi.”
Sedetik kemudian dia sudah kembali terlelap. Tak lama kemudian dengkur halusnya terdengar.
“Uhuk, uhuk!” Ternyata makan banyak biskuit membuatku tersedak untuk yang kesekian kalinya, dan sialnya minumanku sudah habis. Terpaksa aku berjalan gontai ke dapur untuk mencari minum.
Sayup-sayup aku mendengar suara seperti orang yang sedang muntah-muntah. Kuhampiri saja kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan dapur kebetulan pintunya tidak tertutup dan lampunya menyala. Di sana kulihat Astri sedang membungkuk di atas wastafel.
“Ya ampun, Astri! Kenapa muntah-muntah?” Meski awalnya sungkan dan merasa agak jijik, kupijat-pijat tengkuknya agar muntahannya keluar semua dan berharap dapat membuatnya merasa lebih nyaman.
“Masih mabuk perjalanan mungkin,” jawab Astri setelah menuntaskan segala isi yang ada di perutnya.
“Kasihan banget kamu, As! Sampai mukamu pucat begitu,” komentarku.
“Duh … kotak P3K tadi kutaruh di mana, ya?” gumamku pada diri sendiri sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, mencoba mengingat letak barang itu. Memang sudah menjadi kebiasaan burukku untuk mudah lupa akan beberapa hal. Paling kesal kalau sampai melupakan sesuatu yang penting, lalu akhirnya diceramahi oleh teman atau keluarga. Masih muda tapi pelupa. Dasar aku!!!
“Tadi, kan, kamu taruh di lemari dekat ruang tamu, Na,” ucap Astri. Ah, benar! Kutepuk dahiku pelan, yah, kalau terlalu keras nanti sakit, kan?
“Oke, aku ambilkan minyak kayu putih ya,” tawarku.
“Nggak perlu. Biar aku ambil sendiri, kamu lanjut tidur aja.”
“Ng … oke, deh, As, kalau kamu yakin nggak apa-apa. Semoga cepat sembuh, ya,” ucapku.
Astri menjawab dengan anggukan kepala ditambah seulas senyum. Seulas senyum. Ini sungguh sebuah kemajuan bagi Astri, si cewek minim ekspresi yang baru saja transmigrasi dari Kutub Selatan ke Jawa Timur.
***
Cahaya mentari pada hari Minggu yang cerah menemani kami yang sedang sibuk di dapur. Sibuk ngobrol, sih, lebih tepatnya karena kami masih membagi-bagi tugas.
Berhubung masih pagi, penampilan kami pun sangat santai. Salma hanya mengenakan gamis rumahan, ada juga yang masih memakai piama, lalu Gea dan Sita memakai hot pants yang memamerkan paha mulus mereka. Sedangkan aku seperti biasa, celana training dan atasan kaus berwarna merah muda dengan tulisan Korea yang nggak kumengerti. Yang penting, asalkan berbau Korea pasti aku suka.
Berhubung Salma yang menjadi ketua Sie Konsumsi, kami turuti saja segala perkataannya. Pada hari pertama ini, tugas kami memang mengisi persediaan dapur, jadi kami akan belanja di pasar karena lebih murah. Kalau untuk besok dan seterusnya, bisa belanja ke tukang sayur keliling.
“Yang ke pasar dua orang aja, Gea sama Nala. Ajak dua anak cowok juga untuk bantu angkut belanjaan yang berat-berat,” atur Salma.
Aku, sih, menurut saja mau disuruh ke mana pun, tapi yakin, nih, mau memasangkan aku dengan Gea? Lihat mukaku saja, dia sudah seperti ingin melahap orang begitu. Jutek banget. Tapi, ya sudahlah.
“Re, mana duitnya?” kataku, sambil mengambil dua tas belanja dan memberikan yang satunya kepada Gea. Rere kemudian mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.
Aku dan Gea bergegas ke luar rumah dan menjumpai beberapa cowok yang tengah membersihkan halaman. Ada juga yang tengah bersantai, atau lari pagi keliling rumah.
“Rendi! Ikut kita ke pasar, yuk!” ajakku. Rendi yang memang cuma duduk-duduk santai menuruti kataku. “Ajak satu anak cowok lagi ya,” tambahku.
“Woi, ada yang mau ikut ke pasar nggak, nih?” teriak Rendi.
“Aku aja! Aku!” Indra teriak-teriak dari dalam rumah seraya berlari ke arah kami.
“Oke. Ayo, berangkat!” kataku semangat.
“Eh, bentar! Tungguin bentar, jangan ditinggal dulu!” Lagi-lagi Indra berteriak. Kenapa, sih, dia malah balik lagi masuk ke dalam rumah?
Setelah dua menit kami menunggu, dia keluar sambil membawa kamera lengkap dengan tripod. Dasar Indra! Setiap saat, setiap waktu, pasti tidak bisa lepas dari vlog. Mau isi konten di YouTube katanya. Nanti videonya dikasih judul Cowok Ganteng Gak Malu Pergi ke Pasar. Dasar narsis!
Kami mampir sebentar di rumah Pak Karto untuk meminjam sepeda motor yang akan dikendarai oleh Indra dan Rendi guna mengangkut beras dan belanjaan lainnya yang berat. Dan sialnya, aku dan Gea malah ditinggal dua anak itu naik sepeda motor. Benar-benar tidak setia kawan, padahal jarak antara rumah dan pasar sekitar enam kilometer, dan kami harus berjalan dari rumah ke jalan besar untuk naik kendaraan umum sekitar satu kilometer. Kebayang, kan, capeknya?
Sesampainya di pasar, mereka dengan tampang tak berdosa hanya cengar-cengir nongkrong di parkiran pasar. Tidak lama kemudian, Indra sudah sibuk dengan kameranya.
“Hi, Guys! Sekarang aku mau belanja ke pasar, nih, nemenin emak-emak tercinta!” Lalu kameranya mengarah kepada aku dan Gea. “Say hi, dong!”
Gea pun mulai beraksi melancarkan pose-posenya; dari yang sok manis, sok keren, sampai sok imut. Aku yang menyaksikannya mulai merasa eneg.
Kameranya kini beralih ke wajahku. Segera kuangkat tas belanjaan yang kupegang untuk menutupi wajah.
“Udah, ah! Sekarang langsung belanja, keburu siang. Panas!” ucapku sambil membuka notes berisi daftar belanjaan dari Salma di ponselku dan memperlihatkannya kepada teman-teman.
“Ini daftar belanjaan kita. Khusus Rendi dan Indra belanja yang berat-berat, nanti aku dan Gea belanja bumbu-bumbu dan sayur,” ucapku. Aku lalu membagikan uang belanja kepada para anak cowok sambil mewanti-wanti jangan sampai uang itu dipakai untuk jajan. Awas saja kalau sampai disalahgunakan!
Selama berbelanja, aku dan Gea berbincang seperlunya; bertanya arah kios yang akan dituju dan berdebat nama bumbu antara jahe dan lengkuas—yang ternyata jawabannya adalah kencur, mempermalukan diri kami sendiri pada akhirnya.
“Ge, aku mau ke toilet, nih! Titip belanjaannya, ya!” kataku seraya menyerahkan tas berisi belanjaan dan langsung lari mencari toilet umum. Selesai dengan urusan panggilan alam, aku pun kembali ke tempat semula.
Degg. Kok Gea nggak ada di tempat tadi? Masa iya aku ditinggal begitu saja? Kejam banget.
Tak putus asa, aku mencari ke bagian lain pasar. Alih-alih menemukan Gea, aku malah tambah tersesat. Mau kembali ke tempat awal tidak bisa karena sudah lupa jalannya. Kurogoh saku celanaku. Sial, ponselku tertinggal di tas belanjaan yang dibawa Gea! Terus bagaimana ini???
Lima belas menit berlalu, kakiku sudah terlalu pegal untuk diajak berdiri. Aku memilih menepi di samping kios makanan tradisonal. Aku berjongkok di sana, mengusap air mata yang perlahan turun. Traumaku kembali lagi. Bukannya sekali atau dua kali aku pernah tersesat di tempat umum seperti ini. Sudah berulang kali. Membuat rasa takutku semakin menjadi.
Bapak pemilik kios mungkin kasihan melihatku, dia datang menghampiri sambil menawarkan kue lapis dan kue cucur. Lalu dia bertanya, “Mbaknya kenapa? Kok nangis?”
Sumpah! Aku malu sekali ketahuan menangis di depan umum seperti ini, tapi apa boleh buat. Mustahil aku tenang-tenang saja, padahal kondisiku tidak baik-baik saja.
“Terima kasih, Pak. Saya cuma tersesat dan terpisah dari teman saya. Jadi nangis, deh … habisnya, takut nggak bisa pulang,” ucapku sambil tersenyum, lalu mentertawakan diri sendiri.
Setelah berbincang sebentar dan bertanya arah jalan keluar pasar kepada pemilik kios tadi, aku memilih untuk kembali menyusuri pasar. Aku hanya bisa bernapas lega sebentar setelah berhasil keluar dari pasar, sebab kini aku harus berpikir lebih keras lagi untuk mengingat-ingat jalan pulang. Daripada berputar-putar mencari jalan pulang dengan angkutan umum yang jelas akan menguras dompet, aku memilih untuk berjalan kaki.
Lelah berjalan, aku menghampiri mas-mas penjual es doger dan beli satu mangkuk lalu melahapnya di depan ruko yang sedang tutup. Lalu aku melihat sepasang kaki berhenti di hadapanku. Aku mendongak ke atas. Dan terpampanglah wajah seorang Radit.
“Dari mana aja, sih, Na? Semua orang panik nyariin kamu. Ditelepon nggak diangkat-angkat, kita pikir kamu hilang!!”
Tes. Titik-titik air mataku kembali bergulir. Ini orang kok jahat banget, sih? Bukannya menenangkan aku, malah sibuk membentak-bentak. Dia pikir aku tersesat atas kemauan sendiri? Padahal, jelas-jelas aku yang ditinggal pergi. Kalau tidak mau repot mencari aku, ya tidak usah ikut. Namun kekesalanku hanya dapat kulampiaskan di dalam hati. Aku tidak sanggup berkata-kata karena masih nangis sesenggukan.
“Hei, Na! Kok nangis? Maaf kalau kamu jadi kaget gara-gara aku,” bujuk Radit. Tapi kutepis dengan kasar tangannya yang hendak menggenggam jemariku.
“Beneran, Na … aku nggak niat membentak kamu. Aku cuma khawatir.”
Kulihat gurat kejujuran di matanya, tapi aku tetap saja kesal. Kuhapus jejak air mataku sebentar, lalu memalingkan muka dan beralih ke es dogerku yang masih tersisa setengah gelas. Mubazir kalau disia-siakan. Di tengah-tengah asiknya makan es doger, aku merasakan tangan Radit mengacak-acak rambutku. Lho, sejak kapan dia duduk di sampingku? Kupelototi wajahnya yang membuatnya menghentikan aksi tangannya.
“Pulang,” kataku setelah mengembalikan mangkuk dan membayar pesananku tadi.
“Bentar, aku telepon yang lain dulu.” Radit merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel berlogo apel tergigit ulat.
Tak berselang lama setelah dia menelepon, tampak Rendi dan Alif yang menaiki sepeda motor mengahampiri kami. Sulit dipercaya sang ketua pemikat hati ikut turun tangan juga. Tapi sedikit kecewa juga, sih. Kenapa yang menemui aku justru Radit, bukannya Alif?
“Nala, aku minta maaf, ya. Beneran, deh, aku nggak tahu kalau kamu masih di dalam pasar. Tadi Gea suruh aku dan Indra untuk pulang duluan. Setelah itu nggak tahu, deh, kenapa yang balik cuma dia sendiri.”
Hmm ... kok, terkesan sudah direncanakan begitu, ya?
“Ya udah, nggak apa-apa … yang penting sekarang aku mau pulang.” Aku segera beranjak pergi bertepatan dengan terlihatnya angkutan umum yang mendekat.
“Bareng sama aku aja, Na!” seru Radit dan Alif serempak. Hei, aku tidak salah dengar, kan?
“Makasih. Aku sama Rendi aja.” Tanpa minta persetujuan dari si pemilik nama, kutarik tangan Rendi agar kami segera naik angkutan umum yang baru saja datang, meninggalkan Radit dan Alif yang masih terperangah menyaksikan kami.
***
Ternyata kasus tersesatnya aku tadi pagi masih dibahas sampai sore harinya. Alif mengusutnya hingga tuntas. Saat ini, aku dan Gea didudukkan bersama di ruang tamu. Rasanya sudah seperti menghadap guru BK saja.
“Gea, bisa jelaskan kenapa kamu tadi dengan sengaja meninggalkan Nala?” tanya Alif. Gayanya sudah seperti seorang detektif saja.
“Nala tuh lama banget ke toiletnya, padahal anak-anak di grup WA udah nyuruh kami untuk cepet-cepet pulang. Jadi, ya aku suruh aja si Indra dan Rendi untuk pulang duluan. Terus, aku pulang sendirian naik angkot. Kupikir Nala pasti hafal jalan pulang, eh tahu-tahunya nyasar.”
WHAT!? Jadi, sepuluh menit itu lama? Alibi Gea benar-benar lemah. Tapi, daripada memperpanjang masalah yang nantinya hanya semakin memperkeruh suasana, aku memilih untuk menyudahi masalah ini. Lagi pula, aku sudah pulang dalam keadaan selamat.
“Sudahlah, Lif … toh, aku juga udah pulang. Nggak usah kita bahas lagi, ya. Aku mau balik ke kamar, capek.” Setelah berkata demikian, aku beranjak menuju kamarku. Di sana, aku berbaring sebentar dengan earphone menyumpal kedua telinga. Hari ini sungguh melelahkan….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Intan Mariyam
kok di ulang lagi sih
2021-10-11
1