Seperti yang dikatakan Rangga tadi malam, kini aku berangkat dengan Mbak Ida. Sepanjang perjalanan isinya adalah godaan yang Mbak Ida lontarkan padaku. Rasanya membuatku jengah. Beruntung tak lama kemudian kita sudah sampai. Dan aku langsung kabur untuk menemui Salma, Rangga, dan Abdul.
"Nala!" Melihat kehadiranku, dia langsung memelukku erat. Aku juga membalasnya tak kalah erat.
"Maaf ya Na, malam tadi aku enggak ada disamping kamu"
"Enggak apa-apa kok Sal. Lagian aku juga udah baik-baik aja"
Entah ingin memberikan waktu berdua untukku dan Salma atau mereka jengah melihat adegan melow-melow begin aku tidak tahu. Yang jelas Rangga dan Abdul pergi mendahului kita ke kantor.
"Oh ya Sal, tadi malam Alif marah enggak?" Tanyaku sedikit takut-takut setelah pelukan kita terlepas.
"Marah? Enggak lah Na. Mas Alif itu orangnya enggak suka marah-marah kalau ada masalah"
"Terus kenapa mukanya merah gitu?"
"Itu, Mas Alif memang tidak suka marah-marah. Tapi suka menahannya. Jadi kalau mukanya udah merah gitu berarti dia sedang menahan amarahnya" pengendalian diri Alif bagus juga ternyata.
"Supaya tidak terlampiaskan ke orang lain?" Terkaku.
"Iya" Salma menggenggam tanganku untuk menuju kantor bersama-sama.
"Emm... tadi malam Gea diapain sama Alif?" Hal ini sih yang membuatku masih penasaran setengah hidup dari tadi malam. Tanya Rangga malah dia balik nanya.
"Oooh Gea, dia tadi malam dikasih siraman rohani sama Mas Alif. Dan ternyata Na, dia juga ngaku kalau kejadian waktu kamu tersesat di pasar itu karena memang dia yang sengaja pergi ninggalin kamu" hmmm... sudah kuduga.
"Kok bisa gitu ya Sal? Ada orang sebegitu bencinya sama aku" aku menghela napas lelah. Lalu mendudukkan diriku di kursi.
"Setiap orang itu pasti ada yang suka juga ada yang benci. Kamu tidak bisa memaksa semua orang untuk suka sama kamu, pasti ada saja orang yang merasa tidak suka. Begitupun sebaliknya"
"Yaudah, nanti pulang aja ke rumah. Maaf-maafan sana biar selesai urusannya" saran Abdul.
"Iya-iya, aku memang rencananya nanti mau pulang. Aku tahu kok, sehari tanpa aku pasti kalian rindu" bercandaku dengan percaya dirinya.
Enggak tahunya, setelah aku ngomong gitu si Rangga langsung berdiri.
"Ijin"
"Ijin mau ke mana Ga?" Tanya Salma.
"Ke toilet. Mau muntah" wahh parah nih anak! Mana Abdul ikut-ikutan juga.
Dasar Rangga! Es batu menyebalkan!
Sepanjang jalan tadi aku hanya bisa menenangkan diri dengan menghirup dan menghembuskan napasku secara teratur. Entah kenapa juga aku grogi waktu mau pulang ke rumah gini. Padahal tinggal menemui Gea terus bilang maaf habis itu selesai deh. Mungkin aku takut ambyar lagi kalau lihat mukanya. Bawaannya ingat kata-kata menyesakkan dari mulutnya tadi malam.
"Udah, nggak apa-apa kok" seolah tahu apa yang kurasakan, dia menguatkanku dengan genggaman tangan.
"Makasih Sal"
"Assalamu'alaikum!" Ucapku dan Salma kompak.
Setelah pintu dibuka, badanku langsung terhuyung ke belakang karena Puput dan Sita yang tanpa aba-aba langsung memelukku.
"Maaf ya Na, tadi malam kita cuma diam enggak bela kamu sama sekali" oh, jadi karena mereka merasa bersalah.
"Iya-iya aku maafin, udah-udah! Ngapain nangis sih? Kaya anak kecil aja" kataku untuk menenangkan mereka.
Tapi mereka tidak menghiraukanku, dan masih tetap menangis sambil memelukku. Malah yang lain juga ikut-ikutan saling memeluk. Jadi teletubbies kayanya.
Hmm.. ngomong-ngomong Gea di mana ya? Dari tadi belum kelihatan batang hidungnya.
"Wahh ada acara peluk-pelukan kok enggak ngomong sih? Abang kan juga pengen" belum sempet Wahyu mendekat, dia sudah mendapat pukulan dari belakang. Yang terrnyata pelakunya adalah Radit.
"Bisa aja cari kesempatan dalam kesempitan!" Dan yang dipukul cuma bisa nyengir enggak jelas.
"Ingat jalan pulang rupanya, kupikir udah digondol sama genderuwo" kutatap sinis mukanya Rendi. Sahabatnya baru sedih gini bukannya dihibur malah diejek.
"Adek kalau ada masalah jangan sungkan cerita ke abang. Jangan kabur-kaburan kaya semalem. Abang kan khawatir"
"Hueekkk!" Semua pura-pura muntah denger recehnya Wahyu.
Nih anak tetap bandel ya! Udah dikasih tahu enggak usah pake abang adek tetep aja gitu.
"Sejak kapan situ sama Nala abang adek an?" Radit juga, bercandanya Wahyu dianggap serius.
"Santai kali Dit! Bercanda nih!" Hahahhaha. Wahyu cuma ditatap intimidasi dari Radit udah langsung ciut kaya gitu.
"Lagian jijik Yu! Ngaca noh! Muka kaya gitu enggak ada pantes-pantesnya dipanggil abang!"
"Pantesnya dipanggil apa dong Tik?" Kata Rere.
"Dipanggil om!" Waahh gila! Kita semua sampai ketawa ngakak dengar jawabannya Tika.
Emang sih diantara kita semua si Wahyu yang paling sepuh. Soalnya dia sempat gap year selama tiga tahun dulu.
Haduhh! Sakit perutku.
Teman-temanku ini emang ajaib. Pandai banget buat merubah suasana, yang tadinya melow jadi rame begini. Ya meskipun receh, tapi bisa buat kita tertawa pecah.
"Oh ya, kalian tahu aku kabur di rumahnya Mbak Ida darimana?" Penasaranku.
Dengan bangganya mereka menunjuk seorang cowok yang tak lain dan tak bukan adalah Fahmi. Dia dengan kecerdasannya menerangkan bagaimana dia bisa tahu keberadaanku.
"Pertama, kita masih baru seminggu di desa ini. Otomatis kita masih sedikit memiliki kenalan. Yang kedua, yaitu dengan meneliti kemungkinan-kemungkinan dari orang yang dikenal oleh kamu Na. Ada Pak Karto sebagai kandidat utama, tapi rasanya tidak mungkin karena Nala tidak terlalu dekat dengan Pak Karto. Pasti dia sungkan kalau mau menginap di sana" wahh! Hebat banget pemikirannya si Fahmi ini.
"Kemudian ada keluarganya Pak KaDes yang kata teman-teman, anaknya itu dekat dengan kamu. Tapi setelah aku tahu kalau anaknya Pak Kades ada yang laki-laki dewasa, itu semakin memperkecil kemungkinan untuk kamu menginap di sana"
Iya lah. Sudah pasti itu.
"Dan kandidat yang terakhir aku dapatkan dari Salma. Dia bilang kalau kamu kenal dekat dengan salah satu guru yang mengajar di SD. Dia perempuan juga masih muda. Otomatis pilihan kamu pasti jatuh ke dia" otaknya Fahmi isinya apaan deh? Kok bisa pintar gini. Mana semua penjelasannya masuk akal lagi.
"Terus kenapa kamu bisa menebak kalau aku menginap di rumah seseorang? Gimana kalau aku asal tidur di suatu tempat?" Tanyaku lagi.
"Itu gampang! Kata Puput dan Sita, kamu keluar cuma memakai pakaian santai tanpa jaket. Dan keadaan di luar ketika malam pasti sangat dingin. Kamu juga tidak membawa HP. Untuk orang yang berpendidikan tinggi kaya kamu pasti akan berpikir ribuan kali untuk asal tidur di luar dengan resiko kedinginan ditambah dengan bahaya-bahaya lain yang kemungkinan datang"
Prok! Prok! Prok!
Kita semua langsung menghadiahi tepukan yang gemuruh juga dua jempol untuk Fahmi. Sepertinya selain jadi dokter, dia juga berbakat menjadi detektif.
Hebat!
Enggak nyangka aku punya teman dengan otak sekeren ini.
Kemudian dari tempat dudukku yang menghadap ke jendela, aku bisa melihat Gea berjalan dengan Iren. Sepertinya mereka dari warung, karena tangan mereka membawa kantong belanjaan. Mungkin dia kaget melihat semua berkumpul di satu ruang, ditambah lagi ada aku di sini. Aku melihat tangannya agak gemetaran. Mungkin takut kalau aku lepas kendali seperti malam tadi.
"Nah ini dia yang ditunggu-tunggu datang juga"
"Hai semua" kelihatan banget kalau dia canggung.
Alif menyuruhnya duduk. Lalu dimulailah acara pendinginan kedua belah pihak. Tapi menurutku, kalau rame begini jadi enggak bisa intens bicaranya. Akhirnya aku berdiri dengan mengajak Gea. Lalu pamit ke mereka.
"Sorry ya! Kalau mediasinya rame-rame gini enggak enak menurutku. Aku sama Gea bicara diluar. Cuma berdua" mataku mengkode Alif untuk meminta persetujuan. Rupanya Alif mengangguk tanda dia setuju.
Tanpa basa-basi aku mengajak Gea keluar. Tapi langkahku berhenti saat suara Rendi menginterupsi kita.
"Jangan sampai cakar-cakaran!" Aku langsung berbalik badan.
"Kalau ada yang mau kucakar, udah dari dulu aku pengen nyakar muka kamu Ren!" Jawabku enteng yang dihadiahi tawa oleh teman-teman.
Aku lanjut keluar rumah sambil berpikir tempat yang tepat untuk berbicara face to face. Mungkin Gea tahu kalau otakku sedang mencari tempat yang pas. Dia langsung menarik tanganku menuju belakang rumah dan mengeluarkan sebuah sepeda ontel.
Sepeda ini sebenarnya sudah ada sejak pertama kita datang. Cuma jarang ada yang pakai, karena cuma ada satu. Dan kita seringnya keluar rame-rame.
"Naik ini aja Na. Sambil cari tempat di luar"
"Hmm.. oke deh. Kamu bisa naik sepeda enggak?" Dia menggeleng.
Oke fiks! Aku yang membonceng.
Beruntung Gea kecil badannya. Jadi enggak berat-berat amat.
Sepanjang perjalanan kita masih sepi. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Semua diam menikmati pemandangan juga semilir angin yang menerpa badan. Maklum, aku mengayuh sepeda ini menuju ke area persawahan. Kurasa aku menemukan tempat yang cocok. Kemudian aku mengajak Gea turun. Dan kita berjalan di atas pematang sawah untuk menuju ke sebuah gubuk yang kosong. Mungkin pemilikinya sudah pulang karena ini sudah sore.
Setelah menemukan posisi yang pas aku baru berani memulai pembicaraan.
"Maaf ya Ge! Aku kelepasan kemarin. Pasti sakit ya?"
"Mungkin sakitnya enggak seberapa sama yang udah aku lakuin ke kamu. Aku juga minta maaf karena dari awal udah bersikap enggak bersahabat sama kamu Na"
"Alasannya apa sih Ge? Aku pengen tahu" sebenarnya aku sudah tahu dari Sita. Kata dia, orang se-FK tahu kalau Gea itu ngejar-ngejar Radit. Pasti dia cemburu lihay Radit yang suka nempel sama aku.
Tapi mendengar jawaban langsung dari orangnya pasti lebih baik dari opini orang lain.
"Aku cemburu Na sama kamu. Dari awal kita dipertemukan dalam satu kelompok, aku melihat ketertarikan Radit ke kamu. Meskipun kamu cuek-cuek aja, tapi sangat menyebalkan melihat Radit selalu berusaha dapetin hati kamu. Sedangkan aku yang dari dulu berusaha menarik hatinya enggak dilirik sama sekali"
"Maaf" kataku tulus. Bukankah aku dan Gea sama dalam hal mencintai? Yaitu mengalami cinta sebelah tangan.
"Enggak perlu minta maaf Na. Aku yang salah. Terlalu dibutakan sama cinta. Hingga pada kemarin malam, ketika Radit dengan terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya kepadaku. Baru aku sadar, dia adalah ketidakmungkinan untukku" tanpa kuduga Gea menangis.
Kupeluk dia dari samping dan menepuk-nepuk pelan bahunya. Memberi kekuatan agar dia tetap bersabar.
Kalau menurut penuturannya, berarti dia sudah menaruh hati ke Radit bertahun-tahun lamanya. Pasti rasanya hancur ketika ditolak langsung secara mentah-mentah. Mematahkan segala usaha yang telah dia lakukan.
"Yang sabar ya Ge. Kalau dia memang jodoh kamu, pasti nanti akan dipersatukan. Kalau tidak, berarti memang Radit bukan yang terbaik untuk kamu" ucapku untuk menenangkannya.
Bukannya tenang, dia malah tambah menangis kencang dengan mengeratkan pelukannya. Tapi biar sudah. Biar dia menangis mengeluarkan semua sesaknya. Sesak yang mungkin selama ink dia pendam sendirian. Aku berharap, dengan keluarnya air mata akan keluar juga beban yang selama ini dia rasa. Semoga saja dia bisa ikhlas untuk melupakan seorang Radit. Dan semoga juga, dia bisa menjadi Gea yang lebih baik ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Dwi Alviana
cerita baguss gni sayang bgt klo like nya dikit semangat thorrr
2021-11-01
0