Sore ini kita sedang antri untuk mandi. Aturannya sederhana, siapa cepat dia dapat. Kalau mau mandi lebih dulu ya harus antri lebih awal. Karena aku sedang mager tingkat akut, aku lebih memilih rebahan di kamar dan menonton beberapa drama Korea di laptopku. Sambil ngemil cokelat kesukaanku yang dibelikan oleh Randy siang tadi. Memang sahabatku itu paling the best lah!
Aku mendengar krasak krusuk disampingku.
Ooh. Ternyata Salma.
Dia lagi mencari sesuatu di lemari bagian bajunya sambil mengangkat telpon entah dari siapa.
Jadi tiap kamar di sini ada satu lemari untuk tempat baju kita berempat. Lumayan besar lah. Sama kaya lemari kayu jaman dulu gitu.
"Iya tante.... ini lagi dicari.... ya maaf tan, namanya juga lupa" samar-samar aku mendengar percakapannya.
"Ini udah ketemu, habis ini langsung Salma kasih ke Mas Alif"
Deg!
Kenapa nama Alif dia bawa-bawa?
Dan tunggu-tunggu!
Tadi Salma manggil si penelpon dengan tante, terus dia nyebut nama Alif. Jadi yang dia telpon itu ibunya Alif?
Kok dadaku memdadak sesak begini. Baru nyadar, kalau selama ini Salma manggil Alif dengan embel-embel "Mas". Aku kira itu memang cara dia manggil cowok. Dan selama ini pula aku enggak sadar kalau diantara cowok-cowok itu hanya Alif yang dia panggil "Mas!"
Apa hubungan Salma dengan Alif?
"Nyari apaan sih Sal?" Jiwa kepoku kini mulai menggelora.
"Ini loh aku tadi nyari vitaminnya Mas Alif" ucapnya sambil menunjukkan satu botol kecil berwarna putih yang mungkin di dalamnya ada vitamin.
"Tadi yang nelpon kamu?"
"Ohh.. itu Tante Maryam, ibunya Mas Alif. Kemarin waktu Mas Alif udah berangkat ternyata lupa membawa vitaminnya, jadi deh Tante Maryam menitipkan itu ke aku "
Tuh kan!!!
Masa iya Salma mau jadi sainganku? Bagaikan langit dengan dasar bumi ini mah. Enggak usah ditanya pasti sudah tahu apa jawaban Alif kalau disuruh bakal milih siapa di antara aku dan Salma.
Huhuhu! Aku mah apa atuh? Cuma remah-remah rengginang yang enggak bakal dilirik sama sekali.
"Ooh.. gitu ya"
"He'em. Aku keluar ya Na, cepetan mandi habis itu siap-siap buat sholat Maghrib di mushola"
Ya. Rencananya kami akan sholat berjamaan di mushola untuk seterusnya. Sekalian bersosialisasi dengan warga sini tentunya. Selain itu juga, ada niatan untuk ikut mengajar ngaji anak-anak di sini. Bukan proker sih, hitung-hitung buat mengisi waktu luang agar berfaedah. Dapat pahala pula.
"Iya-iya bu nyai" pinter banget sih kamu Nala, sempat-sempatnya senyum padahal hati udah keiris tipis-tipis. Enggak sanggup bayangin si Salma yang mau ketemuan sama Alif.
Padahal cuma ngasih vitamin. Namanya juga cemburu, sesepele apa pun itu ya tetap cemburu.
Aku lirik sekilas jam di sudut layar laptopku. Rupanya sudah jam empat lebih. Segera mematikan laptop, membereskan sampah camilanku, lalu beranjak dan mengambil handuk untuk bersiap-siap mandi.
Ketika maghrib tiba. Kita semua sudah stand by di mushola, kecuali yang berhalangan karena "M". Entah memang sedang "M" merah, atau "M" malas.
Adzan berkumandang, suaranya menggema lantang melalui speaker di menara mushola. Kali ini rasanya berbeda. Hatiku menjadi sejuk. Senyum menghias wajahku. Jangan tanya bagaimana jantungku. Dia bekerja dua kali lebih keras dari biasanya. Bertalu-talu seperti ingin mengalahkan bedug mushola.
Karena dia, Alif Muhammad yang menjadi muazinnya.
Ternyata bukan aku saja yang mengagumi suaranya. Kudengar di sebelah kanan, kiri, bahkan depan dan belakang banyak yang memuji dia. Dari yang mbak-mbak sampai emak-emak.
Sholat berjamaah kita laksanakan sepuluh menit kemudian. Tidak kondusif memang, karena banyak anak kecil yang berlarian dengan teman sebayanya bahkan suara bayi yang tiba-tiba menangis memecah kesunyian. Membuat usaha kita menjadi berkali lipat untuk bisa khusyu'.
Malah ada satu anak kecil yang tiba-tiba nemplok ke badanku persis seperti koala ke emaknya.
Sabar na, sabar!
Batinku.
Itu anak orang, bukan anak setan. Enggak boleh dibanting sembarangan.
Setelah dua kali salam anak perempuan itu langsung berlari menuju emaknya. Bikin geleng-geleng kepala saja. Niat hati mau marahin, tapi lihat muka imutnya itu rasanya keinginan untuk memarahinya menguap seketika.
Enggak apa-apa lah ya, lagian masih kecil juga. Dulu aku malah lebih parah. Kata ibu sih waktu ibu sholat aku suka sekali naik ke punggungnya pas posisi sujud. Jadi kuda-kudaan. Jadi malu sendiri kalau begini.
Kegiatan belajar mengajar alqur'an dilaksanakan setelah wirid. Sambil menunggu waktu isya'. Aku sempat takjub dengan beberapa anak cowok yang sabar banget mengajar anak-anak kecil ngaji. Enggak nyangka aja gitu.
Kalau Alif mah sudah kelihatan gimana alimnya dia. Ucup yang aku kira cuma bisa nge-game doang ternyata juga pintar ngaji. Kalau Rendi sih memang sudah jago ngaji dari kecil juga. Iya lah tau, orang berangkat ke TPQ aja selalu bareng-bareng sama aku.
Kalau Fahmi pintar ngaji juga aku enggak terlalu terkejut juga, secara dia kan anaknya pintar dalam segala bidang. Pengetahuan umumnya jago, berbahasa asingnya fasih banget, segala macam organisasi dia makan-makan aja, di tambah dengan kefasihannya melantunkan kalam Al-qur'an.
Calon CEO yang mantap jiwa!
Bangga deh sama Fahmi, meskipun sudah jelas-jelas jabatan penting itu akan jatuh di tangannya tapi dia tetap berusaha keras. Menunjukkan bahwa dia memang layak berada di posisi itu, bukan hanya sekedar menjadi pengganti ayahnya.
"Assalamu'alaikum kakak cantik!" Sapa seorang gadis kecil dan langsung menyalami punggung telapak tanganku.
"Wa'alaikumsalam Tiara!" Aku yang tidak tahan dengan kedua pipi gembulnya langsung mencubit dan menciumnya gemas.
"Wahh, Tiara mau belajar ngaji ya?" Kuamati penampilannya. Mengenakan gamis berwarna merah muda dengan kerudung bermotif bunga-bunga yang bermekaran.
Hmm.. kebetulan sekali pakaian kita mirip. Aku juga mengenakan gamis dengan warna yang sama dengannya, bedanya aku memakai kerudung berwarna merah maroon.
"Iya, Tiara setiap hari belajar mengaji di sini" jawabnya antusias. "Eh, kakak cantik juga kok masih di sini belum pulang?"
"Emmm... tebak kenapa hayoo?" Sekali lagi aku mencubit pipi tembemnya.
Tak butuh waktu lama aku melihat matanya berbinar-binar bahagia.
"Kakak cantik juga ngajar mengaji?!"
Perkatannya barusan antara pertanyaan atau pernyataan susah kujelaskan karena nadanya yang terdengar sangat senang. Dan aku pun membalasnya dengan menganggukkan kepalaku. Tanpa kusangka, dia menghamburkan diri memelukku.
Aku terharu melihat ini, seperti keberadaanku begitu dinanti oleh orang lain. Di tengah-tengah keharuanku, rupanya Tiara telah mengurai pelukannya. Dan menarik-narik ujung lengan gamis yang kupakai. Seperti memberi isyarat agar aku mensejajarkan diri dengannya.
"Ada apa?"
Dia hanya tersenyum dan...
Cup!
Dia mencium pipi kiriku lalu berlari setelah membisikkan sesuatu di telingaku.
"Kakak cantik tambah cantik kalau pakai kerudung seperti ini"
Entah aku harus kesal atau berterima kasih kepada Salma yang memaksaku memakai gamis dan kerudungnya ini. Pasalnya, Tiara adalah orang kesekian kali yang memujiku. Antara senang dan malu itu bercampur menjadi satu.
"Woy Na!"
"Eh iya?" Aku menoleh ke sumber suara. "Ada apa sih Ren?" Ternyata Iren yang masih mengenakan mukenanya.
"Kamu mau terus berdiri di sini apa mau ngajarin anak-anak ngaji?"
"Eh! Iya. Hehehe" aku nyengir kuda menjawab pertanyaannya.
"Bu ustadzah matanya enggak boleh jelalatan ya!. Pakai acara ngintip segala!"
Wah ketahuan! Malunya....
Memang iya sih, sekarang aku tengah berdiri di samping kain pembatas yang memisahkan bagian laki-laki dan perempuan. Pasti kelihatan banget ya kalau aku lagi mengintip.
"Ih..! Apaan sih Ren! Siapa juga yang ngintip! Orang aku mau cari udara segar kok" elakku kemudian berlalu menuju tempat dimana teman-temanku berkumpul.
Kelihatan banget ya aku enggak pandai ngeles? Kalau dipikir-pikir alasanku enggak logis banget. Bukannya cari udara segar diluar tapi malah di dalam ruangan.
Kan kelihatan banget bohongnya!
Tuh kan! Aku sedikit mendengar suara tawa dan langsung saja ekor mataku menangkap Iren yang tengah terkikik geli di belakangku.
Ahh!!! Malu!
Tidak terasa setengah jam telah berlalu. Anak-anak mulai membereskan peralatannya dan bersiap-siap untuk menunaikan sholat isya'. Seperti tadi, yang menjadi muazinnya adalah Alif Muhammad. Sepertinya mulai saat ini aku harus membiasakan jantungku yang berdetak kencang kala mendengar lantunan adzannya.
Baru saja hatiku berbunga-bunga, eh! Salma langsung lewat di depanku. Mengisi shaf pertama. Bayangan keakraban mereka membuat hatiku perih. Lagi.
Dari semua cewek yang aku kenal, kenapa harus Salma? Kenapa sih?
Kenapa enggak Tika? Atau Puput?
Atau Gea sekalian?
Kan setidaknya aku masih bisa bersaing dengan mereka.
Lah dengan Salma? Selain dia baik banget, dia juga sahabatku. Masa iya persahabatan hancur gara-gara seorang cowok?
Dih! Amit-amit!! Nge-drama banget.
"Nala!"
"Eh?" Aku dikejutkan lagi. Ralat! Mungkin aku yang melamun sampai-sampai terkejut ketika bahuku ditepuk pelan.
"Ada apa Sal?"
"Ayo shaf depan diisi dulu!" aku ber 'oh' ria lalu mengambil sajadahku dan berpindah di barisan paling depan.
Waktu pulang aku sempat melihat Tiara tengah berdiri di samping pagar, seperti menunggu seseorang. Kuhampiri dia untuk menanyakannya.
"Tiara nunggu siapa?"
"Eh, kakak cantik. Tiara lagi nunggu kakak Tiara nih. Lama banget!"
Oh ya, jadi ingat cerita Tiara tadi pagi waktu di sekolah. Dia bilang punya kakak laki-laki yang pintar banget, bisa bahasa Inggris kaya aku, dan katanya dia juga ganteng.
"Emang kakaknya Tiara enggak ke mushola juga?"
"Kakak selalu sibuk. Jadi sholatnya di rumah" aku menganggukkan kepalaku tanda paham.
Sesibuk itukah?
Aku merasakan jemariku ditarik-tarik. Ternyata Tiara menunjukkan padaku bahwa jemputannya datang. Terbukti dari sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan kami. Berarti keluarga pak KaDes ini memang benar-benar kaya. Sampai punya mobil begitu, padahal sejauh pengamatanku sih orang-orang sini punyanya sepeda motor. Itu pun tidak semua.
Aku melihat seorang pria mengenakan celana bahan berwarna hitam serta sabuk dengan logo 'H' yang begitu menonjol dengan kemeja maroon yang dilipat lengannya sampai siku. Seperti bos-bos di perkantoran yang habis pulang kerja.
"Kakak!" Eh. Lagi-lagi aku melamun dan tersadar ketika Tiara meneriakkan kakaknya dan berhambur memeluk kakinya.
Ya, Tiara kan masih kecil jadi masih sebatas pahanya. Mengingat pria di depanku ini juga cukup tinggi.
"Kakak cantik! Kenalkan ini kakaknya Tiara" anak kecil ini menarik lenganku dan lengan kakaknya untuk berkenalan.
Aku melihat ke arahnya. Tatapan kami saling bertemu sebentar. Ternyata dia sangat manis. Apalagi ketika tersenyum terdapat dua cekungan di pipinya. Meski tidak setampan Alif, tapi orang juga tidak akan bosan memandangnya.
Eh? Kenapa harus dibanding-bandingkan sama Alif sih? Kaya enggak ada cowok lain saja. Sebel!
"Pandu" dia menjabat tanganku ketika menyebutkan namanya.
"Nala Ayu Kinanti. Panggil saja Nala" kemudian tautan tangan kami terlepas.
"Nama kamu cantik" dan aku tersipu malu. Wajarlah kalau cewek dipuji pasti tersipu malu.
"Makasih" ucapku masih malu-malu.
Duh! Jadi malu-malu kambing gini kan.
"Yaudah Tiara pamit pulang dulu ya! Assalamu'alaikum kakak cantik!" Dia menyalamiku lalu berlari masuk ke mobil.
"Wa'alaikumsalam" gumamku.
Pandu rupanya sudah menyusul Tiara.
Ketika mesin mobil sudah dinyalakan, kaca di bagian pengemudi perlahan turun. Menampilkan wajah Pandu yang tengah tersenyum.
"Aku harap kita bertemu lagi Nala!" Katanya lalu menancapkan gas membelah jalanan, dengan senyumnya yang masih membekas.
"Wuihh! Siapa tuh Na? Hebat banget baru tinggal di sini sebentar udah dapat gebetan" rupanya teman-teman sudah keluar dari mushola.
"Apaan sih Tik? Orang baru kenal juga, Gebetan dari Hongkong!"
"Jadi gebetanmu tadi dari Hongkong? Tapi kok wajahnya pribumi gitu?" Ini lagi si Iren. Kemakan omongannya Tika.
"Enggak! Udah yuk pulang!" Daripada nggak kelar-kelar nih urusan, mending pulang. Dengan sigap aku menggandeng tangan Salma.
"Na!" Seseorang memanggilku dari belakang. Tapi aku tidak menggubrisnya.
"Hmmm"
"Nala!"
"Hmmm" malas banget mau noleh ke belakang. Tepatnya menoleh ke si orang yang memanggilku.
"Nala Ayu Kinanti!"
"Apa sih Dit?" Karena kesal aku menoleh ke belakang. Supaya mulutnya Radit ini bisa diam.
"Ini" dia menyerahkan sepucuk bunga berwarna merah yang cantik kepadaku.
Jangan berpikir itu mawar, nyatanya yang kuterima ini bunga sepatu.
Ingin aku tolak bunga itu supaya dia tidak berharap lebih kepadaku. Karna Radit di mataku tetaplah buaya.
Tapi mau nolak gimana?
Masa bilang gini "Sorry Dit! Aku enggak suka dikasih bunga sepatu. Sukanya dikasih sepatu beneran"
Enggaklah! Nanti dikira cewek matre.
Terus kalau mau bilang "Ini kan bunga sepatu. Sesuai namanya, bunga ini juga tempatnya di sepatu" terus aku injak bunga itu sambil ketawa setan.
Enggak juga deh, kejam banget aku kalau kaya gitu.
"Makasih" akhirnya hanya itu yang terucap.
Dan ketika aku menerima bunga itu, ekor mataku menangkap keberadaan Alif.
Ternyata dia melihatku! Dan berlalu begitu saja memilih berjalan mendahului kami.
Jadi dia tadi melihat Radit memberi bunga kepadaku?!
Ekspresinya tadi itu lho! Kaya habis mergokin pacarnya lagi selingkuh!! Dan aku jadi si antagonis.
Eh, kenapa juga aku pikirin.
Lagian dia juga udah sama Salma. Berharap banget kalau Alif cemburu, padahal aku juga bukan siapa-siapanya. Aku terus berjalan mengabaikan Radit berkicau di sampingku.
Lebih baik aku cepat sampai di rumah terus bisa rebahan di kamar. Capek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
MeliMelo💦
Cieeee si nala jdi rebutan para lelaki sampe anak nya pak kades jg kesemsem sama nala
2020-09-30
2