Jantungku seakan berhenti berdetak kala melihat tubuhnya terbujur lemas. Selang infus menancap di lengan kirinya. Tubuhnya sudah tidak semerah tadi, meski masih ada sisa ruam di sana. Dan dia masih bisa-bisanya tersenyum disaat kondisinya seperti itu.
Bagaimana rasa bersalahku bisa menguap kalau seperti ini?
Aku malah menangis tersedu-sedu. Bahkan sebelum sampai di ranjangnya, masih berdiri di ambang pintu. Tubuhku pasrah saja ketika Salma mendekapku erat. Lalu menuntunku mendekati Alif.
"Maaf.." hanya satu kata itu yang dapat terucap di sela-sela isak tangisku.
Aku mendengar kursi berderit, ternyata Salma menyiapkan sebuah kursi untuk kududuki.
"Sudah. Jangan menangis!"
"Maaf!"
"Iya. Dimaafkan. Lagian kamu juga tidak sengaja kan" ucapan darinya membuat tangisku mulai reda. Beban yang menghimpit hatiku perlahan mulai hilang.
"Aku senang lho Na" ha? Ini otaknya Alif enggak sakit kan?
"Kok bisa?"
"Senang, ternyata yang masak perkedel jagung itu kamu. Setidaknya aku tahu kalau masakan kamu itu enak!"
Blush!
Pipiku langsung merona. Masih sempat-sempatnya dia memuji makanan hasil karyaku. Padahal makanan itu adalah alasan kenapa di terbaring di sini.
"Makasih" ucapku malu-malu.
"Ekhm! Berasa jadi obat nyamuk" kaya suaranya Nopal.
Eh. Bentar!
Tadi kan aku masuk enggak sendirian ya? Berarti di belakangku...
Cepat-cepat aku menoleh ke belakang. Dan benar saja, Ucup, Nopal, juga Salma berdiri di belakangku. Duh. Malunyaa!
"Kan salah kalian sendiri berdiri di belakang situ" belaku.
"Ya kan enggak lucu kalo kita berdiri di situ juga, entar merusak suasana dramanya" lah, dikata drama lagi.
Tapi mirip juga sih sama adegan drama-drama melow yang sering ibuku tonton.
Mereka bertiga berjalan ke arah kami, sambil berbasa-basi untuk menanyakan keadaan Alif tentunya.
"Udah mendingan Mas?"
"Iya Sal, mungkin besok sore udah boleh pulang" syukurlah.
"Wuihh enak nih!" Tangan Ucup mengambil alih buah yang kubawa. Sontak saja kutepis kasar tangannya.
"Heh! Enak aja, ini buat Alif tau!" ketusku.
"Dikit aja Na, lagian Alif juga enggak keberatan tuh! Ya enggak Lif?" Si Ucup mencari pembelaan dari Alif.
"Keberatan lah" dan jawaban dari Alif ini membuat kita semua tertawa. Menertawai Ucup lebih tepatnya.
"Na, tolong kupasin! Kayaknya seger apelnya" ini enggak salah? Alif yang minta aku buat kupasin buahnya!
Eh, Salma cemburu enggak ya?
"Salma aja lah" tolakku dengan berat hati.
"Merem ya kamu Na? Orang Salma udah keluar dari tadi"
"Lah? Kapan Cup? Kok aku enggak tau"
"Bucin mah emang enggak sadar sekitar" timpal Nopal.
"Eh enggak ya!" Elakku. Bisa gawat urusannya kalau Alif tahu aku suka sama dia.
"Udah, kupasin aja buahnya. Buat Abang Alif tersayang!" Nopal latah ikut-ikutan.
Merasa terpojok, aku mengalah. Mengupas buah apel untuk Alif. Lagi pun Salma masih keluar, jadi dia tidak akan sakit hati bukan?
Setelah mengupas dan memotongnya kecil-kecil, kuserahkan itu ke Alif. Dan diluar dugaanku, si Alif santai-santai saja makan apel sama tangannya sendiri. Padahal aku kan berharapnya dia minta disuapin juga.
"Enggak sekalian disuapin gitu Na" maunya sih gitu Cup. Tapi yaudahlah, orang dianya enggak minta tolong. Kalau aku maksa nyuapin malah dikira kecentilan entar.
"Enggak perlu. Masih bisa makan sendiri juga" jawabku.
Bersamaan dengan itu Salma kembali lagi ke ruangan.
"Habis darimana Sal?"
"Ke toilet" ooohh.
Ekhm, ngomong-ngomong ini kok haus ya? Dari tadi nangis terus bisa buat tenggorokan kering juga.
"Oh ya aku keluar bentar ya, mau ke kantin. Ada yang nitip enggak?" Tawarku.
"Aku nitip es teh aja Na"
"Ucup sama Nopal enggak nitip juga?" Tawarku sekali lagi.
"Enggak deh, habis ini mau pulang" kata Nopal sambil mengupas apel bawaanku tadi.
"Oke deh kalau gitu" aku pun beranjak dari tempat.
Di kantin aku bisa melihat keberadaan dua mahluk bernama Rendi dan Fahmi. Yang satu fokus sama ponselnya dan yang satu lagi fokus sama laptopnya. Aku berniat akan mengerjai Rendi yang kelihatannya sedang main game. Sebisa mungkin aku berjalan pelan-pelan seperti langkah maling agar tidak ketahuan.
"Enggak usah sok mau ngagetin!"
"Yaahhh! Kok tahu duluan sih Ren! Enggak seru ih" aku menghentak-hentakkan kaki lalu duduk di sampingnya.
"Udah ketahuan dari bau ketekmu yang nyemperin aku dulu" eh ngajak berantem nih orang.
"Enak aja! Ketekku wangi ya" belaku sambil mencubit lengannya.
"Iya-iya, percaya deh" akhirnya dia mengalah.
"Orang waras mah selalu ngalah"
Wahh! ngajak perang dunia ketiga nih anak!
"Jadi selama ini aku gila gitu?"
"Situ ya yang ngomong" belum pernah nyoba nyium sandal nih kayanya.
"Aw! Sakit Na! Woy! Woy!" Sakit geregetan sama Rendi aku pukul habis-habisan nih bocah. Biarin lah kesakitan, UGD dekat kok dari kantin.
"Kalian bisa diam enggak sih?" Oh ya lupa, masih ada Fahmi di sini.
Aku pun menghentikan aksi brutalku. Sepertinya Fahmi sedang serius mengerjakan sesuatu.
"Hehehe. Maaf ya Fahmi!" Dia diam enggak menjawab. Yah dikacangin!
"Lagi ngerjain apa sih Mi?"
"Coba belajar ngurus rumah sakitnya papa, harus belajar dari sekarang katanya"
"Wuihhh! Fahmi hebat banget ya! Beda banget sama yang tahunya ngajak debat terus" sindirku.
Dan yang aku sindir orangnya masih anteng-anteng aja! Malah kelihatannya enak banget menyantap nasi goreng sama es tehnya. Dikacangin dua kali coy! Ngenes.
Berhubung tenggorokan udah kering, aku langsung memesan minuman kesukaanku. Es jeruk tentunya. Sama mie ayam untuk menu makan siang. Cukup sepuluh menit, pesanan sudah datang. Segera kusantap supaya cepat kembali ke ruangannya Alif.
"Rendi, Fahmi. Kalian enggak ke ruangannya Alif?" Tanyaku setelah menghabiskan semangkok mi ayam lezat itu.
"Memang yang lain udah keluar?"
"Dari tadi Rendi! Kamu sih keenakan jadi penghuni kantin"
"Namanya juga enggak tahu Na" belanya lagi.
"Yaudah sekarang ayo ke sana!" Aku membereskan bajuku dan mengambil es teh pesanan Salma tadi.
Hanya aku dan Rendi yang beranjak, sedangkan Fahmi masih setia di kantin. Menyelesaikan tugasnya dulu katanya. Salut deh sama Fahmi! Di umur segini sudah dikasih kepercayaan sama papanya buat ngurus rumah sakit.
Sampai di ruangan ternyata ada pemandangan yang menyesakkan dada. Salma dan Alif yang tampak tengah berbincang dengan seseorang wanita paruh baya di layar ponsel milik Salma. Kutebak itu ibunya Alif.
Kalau begini mereka pantes banget! Kaya mertua yang lagi kangen-kangenan sama anak dan menantunya.
Mungkin mereka menyadari keberadaanku dan Rendi. Tampak Salma agak canggung dan menjauh dari Alif yang sebelumnya di dekatnya.
"Ini temannya Salma tante, namanya Nala" tiba-tiba Salma mengarahkan layar ponselnya ke arahku sambil memperkenalkanku ke ibunya Alif.
"Assalamu'alaikum tante" sapaku.
"Wa'alaikumsalam. Wahh ternyata ini yang namanya Nala. Cantik ya!"
"Makasih tante" ucapku kikuk. Masih belum siap kalau tiba-tiba harus berbincang dengan ibunya Alif.
Asli. Jantungku udah bertabuh kaya genderang perang gitu. Takut kalau salah ucap, mikir gimana kasih kesan yang baik, dan lain lagi yang buat tambah gugup. Beruntung ponsel itu kini sudah beralih lagi ke yang punya.
"Alif memang suka malas kalau minum vitamin Sal, jewer aja kalau tetap ngeyel enggak mau minum vitaminnya" petuah Tante Maryam ke Salma sebelum akhirnya mengucap salam lalu mengakhiri panggilan video itu.
Duh hati. Yang sabar ya!.
Mana Alif mukanya malu-malu begitu lagi.
Tidak terasa waktu sudah beranjak sore, matahari sudah akan kembali dari peraduannya. Kita berpamitan ke Alif sebelum pulang. Malam ini Fahmi yang akan menemani Alif di sini dengan Bayu yang nanti akan menyusul setelah maghrib.
"Na, aku mau bicara sebentar" kata Rendi setelah kita sampai di teras rumah. Kelihatannya serius.
"Salma, kamu masuk duluan aja" pamitku pada Salma.
"Mau ngomong apa?" Tanyaku to the point.
"Ya enggak di sini juga kali" jangan bilang mau ngajak keluar!
"Terus mau di mana?"
"Di luar, nyari tempat yang enak"
"Kalau mau di luar kenapa enggak dari tadi? Sebelum sampai di rumah gitu. Kan enggak bolak-balik jadinya. Capek tau nggak jalan kaki terus" wuiihh. Ceramahku mulai keluar nih.
"Yaudah, di situ aja" tunjuknya pada pohon mangga yang di dahannya terdapat sebuah ayunan.
"Mau ngomong apa sih Ren? Kok kaya serius gitu" tanyaku setelah mendudukkan diri di ayunan dan Rendi yang selonjoran di rerumputan.
"Masalah hati"
Wahh! Aku mencium aroma-aroma curhat nih. Bentar lagi pasti aku jadi Mamah Dedeh. Tapi kalau dipikir-pikir, sudah jarang sekali aku dan Rendi menghabiskan waktu bersama untuk sekedar curhat bareng. Apalagi membahas masalah hati.
"Emm.. gini Na, sebenarnya aku udah suka sama cewek dari dulu. Cuma enggak berani aja mau bilang"
"Lah, tumben kamu cemen" ejekku.
"Bukannya cemen Na. Ya aku kaya sadar diri gitu. Apa pantes aku buat dia? Sedangkan banyak cowok yang lebih baik dariku mengejar cintanya"
"Bentar-bentar! Ini bener aku ngomong sama Rendi kan?"
"Udah deh. Jangan bercanda Nala!" Lah. Malah dikira bercanda. Padahal beneran aku mau memastikan ini Rendi apa bukan.
"Aku serius tahu! Siapa juga yang bercanda. Coba aku tes. Siapa nama lengkap ayah kamu?"
"Mahendra Atmaja" pertanyaan gampang pasti dia bisa jawab.
"Lanjut. Siapa nama kucing kesayangan aku?"
"Jimmi" lah. Dia tahu juga. Coba aku kasih pertanyaan terakhir yang paling sulit. Sekiranya cuma aku sama Rendi yang tahu.
Aha! Aku tahu!
"Apa aib yang cuma aku dan kamu yang tahu kalau pas jalan-jalan di pasar malam?" Puas banget menanyakan ini.
Karena aibnya Rendi yang satu ini bakal buat siapa aja yang tahu jadi ketawa ngakak. Aku aja kalau ingat suka ketawa sendiri.
"Suka ngompol kalau naik biang lala"
"Ya! Seratus persen untuk anda. Hahahhaha" aku tertawa puas melihat wajahnya yang pias. Malu pasti kalau ingat kenangan itu.
"Udah deh Na! Serius ini. Malah ngungkit masa lalu lagi" cieee yang cemberut. Hehehe.
"Haduh! Sakit perutku. Bentar-bentar!" Aku masih mengatur diri untuk berhenti tertawa.
"Aku serius tahu Ren. Meyakinkan diri aku apa benar cowok di depanku ini Rendi? Setahuku Rendi itu pemberani. Bukannya menyerah sebelum berperang"
"Itu beda cerita lagi" Rendi mengacak rambutnya sendiri.
"Emang siapa sih cewek itu? Bisa buat sahabatku ini uring-uringan sendiri. Anak fakultas mana?"
"FKIP"
"Lah, satu fakultas dong sama aku. Siapa namanya? Barangkali aku kenal" kataku antusias.
"Dia cantik dan juga baik. Sekarang dia juga ada di dekatku, dan dia adalah...." Rendi buat jantung anak orang jadi tegang. Mana ngomongnya kaya MC yang baca nominator pemenang lagi.
"Sebenarnya aku udah lama suka sama...."
Eh! Bentar-bentar.
Cewek yang udah lama ditaksir Rendi. Berarti udah kenal lama dong.
Cewek itu adalah anak FKIP, cantik, baik, dan dia sekarang ada di dekat Rendi.
Jangan-jangan...
"Kamu suka sama aku ya Ren?! Enggak nyangka ya selama ini kamu kaya gitu. Aku pikir kamu itu tulus sahabatan sama aku. Jadi kamu lupa sama janji kita dulu? Persahabatan tanpa melibatkan hati?!" Ucapku menggebu-gebu.
Pletak!
"Aww! Kok disentil sih jidatku? Tembah jenong nih nanti!" Kesalku.
Pasalnya, tanpa aba-aba dia langsung nyentil dahiku. Kan dia laki-laki, jarinya gede-gede gitu. Keras lagi nyentilnya.
"Habisnya omongan kamu itu ngelantur! Orang belum selesai ngomong juga udah dipotong. Lagian nih ya, aku juga mikir ratusan kali kalau mau suka sama cewek model ginian!" Katanya sambil menunjuk-menunjuk dahiku.
"Ya habisnya sih ciri-cirinya mirip sama aku. Udah kenal lama, ceweknya cantik, anak FKIP, sekarang ada di dekat kamu. Siapa lagi kalau bukan-"
"Salma"
"What!!!" Aku kaget mendengar nama yang dia sebut untuk memotong ucapanku.
Gila! Rendi suka sama Salma! Sejak kapan seleranya jadi tinggi begini? Memilih ukhti-ukhti ketimbang gadis-gadis seksi yang mengumbar paha sana-sini.
"Kalau Salma ceweknya jelas berat dapetin hatinya. Apalagi saingannya seperti..." aku diam. Tidak mau melanjutkan kata-kataku.
"Alif" ha? Rendi juga mengira kalau Alif dan Salma untuk dekat?
"Kita itu sama Na. Sama-sama mendapat cinta sebelah tangan" katanya melas.
"Tunggu-tunggu! Sama gimana nih maksudnya?" Perjelasku. Masa iya Rendi juga tahu kalau aku suka sama Alif.
"Enggak usah sok gak tahu gitu! Kita sahabatan udah berapa lama sih? Dari TK sampai segede ini, gampang banget buat tahu siapa cowok yang kamu suka"
"Iya deh iya. Aku suka sama Alif" akhirnya aku mengaku.
"Miris banget ya kita Ren?" Rendi mengangguk setuju.
"Apa boleh buat"
"Tapi kamu enggak punya niatan gitu buat kasih tahu Salma?"
"Buat apa coba?"
"Ya seenggaknya kamu enggak memendam sendirian"
"Bener juga sih. Tapi nanti dulu deh. Ngumpulin mental dulu" aku enggak bisa memaksa Rendi. Kalau hatinya belum siap menerima penolakan.
Kini aku dan Rendi sama-sama diam. Setidaknya dengan saling bercerita kita bisa merasa sedikit lega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Na Han
sudah terbongkar satu siapa aja yg suka nala trnyata rendi tidak termasuk 😁
2022-03-13
0
Rindayu
kirain rendi suka sm nala, ternyata...
2021-09-16
1