“Maaf bila saya lancang, tapi memecat karyawan tak semudah membalikkan telapak tangan, Bu! Apalagi bila ia sama sekali tidak melakukan kesalahan. Harus ada alasan jelas disertai bukti nyata, mengapa sampai harus diberhentikan secara paksa. Tanpa saya perjelas lebih lanjut lagi, Ibu pasti paham apa maksud ucapan ini.” Nirma berucap seraya menatap tegas, intonasi nadanya tetap terjaga.
Melihat sang atasan yang masih bungkam, Nirma kembali menyerang. “Kalau Ibu masih merasa kurang puas, silahkan bertanya kepada pak David selaku pemilik rumah sakit ini yang mana suami ibu sendiri! Beliau bahkan pernah memberikan saya sebuah penghargaan dikarenakan kinerja saya yang luar biasa bagusnya, tak sedikit pula para pasien mengelu-elukan diri ini, mereka puas akan pelayanan saya dalam merawat, memberikan dukungan baik dalam bentuk kata-kata maupun tindakan. Maaf, bukan maksud hati ingin memuji diri sendiri, tetapi memang itulah faktanya."
Malu berbalut emosi, sampai ia tak sanggup menanggapi apalagi membela diri, berakhir Nidia terdiam dengan mimik wajah begitu masam, menatap geram pada manik tak gentar bawahannya. Apa yang dikatakan oleh Nirma, semua benar adanya.
“Bila tak ada kepentingan lainnya, saya pamit undur diri, Bu!” Nirma menunduk sopan, lalu melangkah pasti keluar dari dalam ruangan.
Begitu sampai di luar, ia melambatkan langkah kaki, dalam hati sedikit menyesali tindakan beraninya, tapi logikanya langsung menepis, menyakinkan diri bahwa apa yang barusan terjadi sudah benar, sesekali orang seperti bu Nidia memang harus dikasih paham, agar kemudian hari tak lagi sesuka hati dalam berucap maupun bersikap.
.
.
“Ternyata hukum karma itu benar adanya ya, bila ingin melihat contohnya. Tengoklah anaknya suster Nirma yang terlahir sumbing. Itu balasan dari Tuhan karena dia merebut calon suami kakak kandungnya sendiri,” ucap Dela, ia sama sekali tidak tahu kalau orang yang dibicarakan olehnya, mendengar jelas percakapan itu.
“Ngeri betul ya, sampai sekarang aku masih sulit percaya bila suster Nirma sekejam itu, padahal ia terlihat seperti wanita baik-baik, lugu. Eh … tak tahunya wajah malaikat hati iblis. Seandainya saja suster Linda tak ada memberi tahu, pasti saat ini kita masih menganggap wanita kejam itu layaknya ibu Peri, padahal aslinya jahat sekali.” Tina bergidik seraya menggeleng kepala.
“Kalau macam tu ceritanya, aku tak jadi kasihan. Dia memang pantas melahirkan anak cacat, biar seumur hidup menjadi pengingat atas perbuatan bejatnya,” sahut Dela, tak berhati.
Dua sosok itu sama sekali tidak menyadari langkah senyap Nirma, sampai dimana ibu satu anak itu melakukan aksi heroik, menendang bangku kayu yang diduduki para manusia munafik sampai terjungkal.
Bugh!
Bugh!
Argh!
Dela dan Tina kompak berteriak, meringis menahan sakit kala bokong mereka menghantam lantai keras, bersamaan mereka menoleh, melihat siapa sang tersangka.
“Suster_Nirma,” Dela tergagap, netranya membulat sempurna.
Tak jauh berbeda dengan Tina, manik hitamnya bergetar, ia sampai takut bersuara.
“Mengapa diam? Kemana perginya suara lantang tadi? Padahal saya masih sangat penasaran ingin mendengar kelanjutannya loo,” Nirma bersedekap tangan, memandang remeh dua orang terduduk di lantai.
“Apa karena tak ada Suster Linda, sehingga nyali kalian pun menguap entah kemana, hanya berani menghujat di belakang ku saja. Dasar pengecut!” Nirma berdecak, menatap muak, ia masih berdiri dengan ekspresi datar.
“Kami bukannya menghujat, tapi berbicara fakta,” Dela yang lebih berani dari si Tina, mencoba berkilah, tapi perkataannya tak selaras dengan getar tubuh yang terlihat ketakutan.
Nirma membungkuk, telapak tangan kanannya mencengkram rahang Dela. “Tak nya kau malu membawa nama karma disaat dirimu sendiri pun berlumur dosa. Apa kabar dengan statusmu sebagai istri pertama yang dipoligami? Dulu aku begitu kasihan mendengar kisah pilu itu, tapi kini malah tertawa senang. Kau pantas diduakan, sebab mulutmu bak comberan selaras dengan hatimu yang busuk!”
Dela berusaha melepaskan cengkeraman erat itu, tapi ia kalah tenaga.
“Kau tu cuma kebesaran omong, nyalimu pun hanya sebatas menggonggong dibalik tubuh sang tuan, persis macam Anjing. Ku peringatkan! Sekali lagi ku dengar mulut sampah mu menghina anak ku, maka jarum jahit lah yang akan berbicara!” Nirma mendorong kuat wajah Dela, sampai si empunya tersungkur.
Kemudian, ia menjambak rambut Tina sampai wanita berpakaian perawat itu mendongak, netranya dipenuhi cairan bening. “Tempo hari kau cakap, takut kali bila suami mu tu ku goda, iya kan? Lakik modal harta orang tua apa yang mau dibanggakan, tampang pun biasa saja. Pekerjaannya hanyalah seorang rentenir darat. Percaya diri betul dirimu, bila aku sampai tertarik dengannya! Bila ku mau, diri ini bisa mendapatkan pria seratus kali lipat hartanya dibandingkan milikmu yang tak seberapa itu. Cuih!”
Auh.
Tina meringis sakit, ia meraba kulit kepalanya yang terasa pedih, tidak berani menatap Nirma.
Nirma kembali berdiri tegak, tatapan matanya begitu tajam dengan ekspresi datar. Wanita yang sebelumnya terlihat tidak berbahaya dan lebih banyak mengalah, kini berubah layaknya induk Singa.
“Kalian salah mencari lawan, aku takkan lagi tinggal diam kala putra ku kalian jadikan bahan hujatan. Hari ini hanya tendangan, jambakan, dan cengkeraman, tapi lain waktu bisa jadi nama kalian akan tertulis di atas batu nisan. Bila masih sayang nyawa, berhati-hatilah dalam berucap.” Nirma mengibaskan tangannya, berlalu begitu saja.
Hari beranjak sore, ibu dari Kamal itu terlihat berjalan kaki hendak pulang ke rumah, seharusnya ia sudah sampai sedari tadi, tapi terhalang oleh sang atasan dan juga dua orang perusuh.
.
.
Sepuluh menit kemudian, sosoknya telah sampai di depan rumah kontrakannya. Belum juga mengucap salam, ia sudah dikejutkan suara rendah nan dalam.
“Saya kecewa padamu, Nirma! Demi mencari rupiah yang tak seberapa, kau tega menelantarkan anak kita!” Byakta menyambut kepulangan ibu dari anak yang ada dalam gendongannya.
“Mas ….” ia tak mampu berkata-kata, netranya jelas menyiratkan rasa bersalah.
Juragan Byakta menimang pelan Kamal yang tertidur dalam gendongan kain panjang, tangannya menepuk bokong, sedangkan kakinya berayun pelan.
“Saya masih bisa memaklumi bila kau ingin mandiri, tapi tidak dapat mentoleransi kala putra ku sakit, dirimu lebih memilih tetap bekerja,” ucapnya tegas dengan rahang mengetat.
Nirma semakin menunduk dalam, tangannya memegang erat tas bekalnya. Ia tidak berani menatap sosok yang memang sangat menyayangi dan begitu protektif terhadap buah hatinya.
Melihat tubuh Nirma yang berdiri kaku dengan kepala tertunduk, ia tersenyum samar. 'Kau masih tak berubah, begitu mudah diperdaya, tapi baguslah. Agar aku tak kesulitan menarik simpati mu Nirma.'
"Masuklah, bersihkan badan mu. Saya akan lama di sini, ingin menjaga dan memastikan sendiri kondisi Kamal," katanya tak terbantahkan.
Nirma tak memiliki daya hanya untuk sekedar bersuara apalagi protes. Ia menurut, masuk ke dalam rumah menuju dapur, dimana Wak Sarmi sedang memetik sayur kangkung.
"Wak ...." bibirnya bergetar, netranya berkaca-kaca menatap ibu keduanya.
"Kamal tadi muntah-muntah, Uwak terpaksa meminta tolong ibu pemilik kontrakan, meminjam ponselnya dan menghubungi Juragan Byakta. Tak lama kemudian Beliau datang. Kau mau tahu satu hal tak, Nirma?"
"Ya ...?"
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Cublik
Menyala Mamak nya Kamal 🔥
Jangan kasih cela bagi orang yang berniat menghakimi putramu, apalagi hendak mencaci maki.
Bila perlu getok aja kepala mereka pakek pali🔨 ... biar gak eror lagi cara berpikirnya ✌️🤣
2025-04-11
24
Amy
Seorang ibu akan menjadi garda terdepan apabila anaknya d sakiti, Walaupun itu suaminya sendiri,
Sus Tina, macam tak ada dosalah, mo bully org....
2025-04-11
4
jumirah slavina
dasarrrr juragan memamabahByak....
baik'y cuman setengah hati...
jahat 'y jg setengah hati...
tabok pala memamabahByak...
tabokkkkkk......
2025-04-11
3