“Putramu tu langsung berhenti menangis, tak mau diturunkan dari gendongan ayahnya, nampak betul bila ia sangat menyayangi bapak angkatnya,” Wak Sarmi menatap sendu wajah lelah Nirma.
“Ya Allah.” Tubuhnya luruh, ia menangis pilu, lelah fisik dan mentalnya belum seberapa bila dibandingkan dengan tekanan batin serta dirongrong rasa bersalah.
Hiks hiks.
Nirma tergugu, berulangkali memukul dadanya sendiri, rasanya ia sudah tak lagi memiliki daya, bingung harus bagaimana.
“Wak … aku capek,” adunya pilu, tidak peduli bila suaranya akan didengar oleh juragan Byakta yang berada di teras rumah.
Wak Sarmi meletakkan baskom berisi sayur, ia mengelap tangan pada kain jarik, lalu berlutut dan membawa Nirma kedalam pelukannya. “Bila kau tak ingin menikah dengan juragan Byakta, sebaiknya pulang saja ke kampung halaman. Setidaknya ada Mamak dan Mbak mu yang bisa dijadikan tumpuan, dimintai saran.”
Wak Sarmi membingkai wajah bersimbah air mata, menatap penuh kasih sayang. “Nirma, turunkan sedikit ego mu! Kau tu tak sanggup berjuang seorang diri, apalagi dengan tekanan di lingkup pekerjaan, belum lagi tuntutan biaya hidup. Mari kita pulang saja ya?”
“Aku malu, Wak. Masih belum memiliki wajah bila kembali ke kampung halaman. Belum lagi tempat tinggal Mamak begitu dekat dengan rumah orang tuanya Yasir. Pasti bi Atun akan merusuh lagi, mencoba merebut Kamal dari ku.” Nirma memiliki ketakutan tersendiri, ia cemas kalau mantan mertuanya yang bernama bi Atun, berambisi mengambil anaknya.
“Tak mungkin! Suami Mbak mu tu orang berpengaruh, disegani, ia pasti akan melindungi mu dan jua Kamal!” Wak Sarmi mencoba menyakinkan Nirma.
Namun, percakapan mereka harus terhenti kala juragan Byakta memanggil Nirma.
“Sepertinya Kamal haus, ia terbangun dan sulit tidur lagi.”
Nirma langsung menghapus air matanya, berusaha berdiri, lalu ke kamar mandi guna mencuci tangan serta wajah.
“Berhentilah memberikan saran! Jangan pengaruhi Nirma untuk kembali ke kampung halaman!” nadanya rendah, tatapannya begitu tajam, sampai Wak Sarmi langsung memutuskan pandangan.
“Maaf, Juragan.”
‘Ya Rabb, hamba mohon! Tolong lindungi Nirma,’ batinnya melantunkan doa, sampai sekarang ia masih belum paham bagaimana karakter juragan Byakta, terkadang terlihat hangat, tapi sewaktu ketika tatapannya sangat berbahaya.
Satu hal yang Wak Sarmi yakini, bila sosok matang itu tulus terhadap Kamal, karenanya ia membiarkan saja bahkan terkesan mendukung juragan Byakta mendekati Nirma.
.
.
Suasana canggung begitu terasa, tiga sosok dewasa sedang menikmati menu makan malam sederhana, ada tumis sayur kangkung, telur dadar goreng, dan tidak ketinggalan sambal terasi.
Kamal duduk dipangkuan sang ayah yang sedang makan, ia masih rewel, hendak menggigit apa saja yang sedang dipegang olehnya, air liurnya pun selalu menetes dikarenakan giginya mau tumbuh.
“Mau nambah, Yah?” Nirma menawarkan, mencoba memecahkan kecanggungan, tetapi tidak direspon berlebihan oleh juragan Byakta, hanya gelangan pelan sebagai jawaban.
“Nak, main sama Ibuk dulu ya?” Ia mengulurkan tangan, yang langsung dibalas tangisan Kamal.
“Cup cup, bila enggan, tak mengapa Nak. Masih mau main dengan Ayah, ya?” Juragan Byakta mencium pucuk kepala Kamal, kemudian ia mencuci tangan pada air didalam mangkuk plastik.
Nirma hanya bisa menghela napas panjang, sedangkan Wak Sarmi memandang sungkan pada juragan Byakta.
Bayi yang hari ini begitu manja itu kembali di gendong menggunakan kain jarik motif batik berwarna merah muda. Sang juragan sama sekali tidak terlihat canggung apalagi malu, ia malah bangga dapat menenangkan putranya.
Nirma dan Wak Sarmi bergegas membereskan peralatan makan, mereka sama sekali tidak ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
***
Hari sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, Nirma baru saja selesai menunaikan sholat isya, ia keluar dari dalam kamar. Mencari keberadaan juragan Byakta yang tadi mencoba menidurkan Kamal.
Ternyata duda hartawan itu tengah duduk di lantai pojok ruang tamu, tangannya bergerak mengayun Kamal yang tidur di dalam kain sarung ber per.
‘Masya Allah. Ya Rabb, hamba bingung hendak bersyukur atau bersedih. Beliau sama sekali tak berubah, dari awal sampai sekarang, perlakuannya tetap sama kepada Kamal. Penuh kasih, perhatian, serta selalu mengupayakan yang terbaik untuk putra hamba,’ batinnya berkecamuk, ia mendekat dan ikut duduk di lantai, berjarak.
“Saya sudah mengatakan kepada David, bila dirimu akan libur selama tiga hari,” beritahu nya pelan tanpa melihat sang lawan bicara.
“Terima kasih, Mas,” alih-alih protes, Nirma menerima begitu saja. Ia paham betul bila juragan sudah bertitah, maka hal itu adalah mutlak.
Lagipula siapa yang dapat menentang keinginan tuan pemaksa ini, ia punya uang, maka kuasa dalam genggamannya. Meminta izin tanpa alasan jelas bukan perkara sulit baginya, tak perlu menyertai alasan, David si pemilik rumah sakit pasti langsung mengiyakan, dikarenakan mereka bersahabat.
Dulu, juragan Byakta lah yang merekomendasikan Nirma bekerja di RS pelosok kabupaten. Berkat koneksinya, Nirma yang kala itu tengah hamil besar diterima begitu saja tanpa harus menjalani serangkaian interview berlanjut. Hanya menyerahkan berkas data diri, riwayat pengalaman kerja yang masih minim, keesokan harinya ia langsung masuk kerja.
.
.
“Hati-hati, Mas!” Nirma berucap lirih, lagi dan lagi hanya ditanggapi oleh anggukan singkat.
Juragan Byakta melangkah pasti, masuk ke dalam mobil yang mana sudah ada sopir sekaligus tangan kanannya menunggu sedari tadi.
Nirma masih berdiri di teras berukuran sempit, memandang cahaya lampu mobil yang semakin lama mengecil lalu hilang dari pandangan.
“Maafkan aku Mas. Bukan maksud hati lalai, tapi keadaan lah yang memaksa diri ini harus tetap di sana demi mempertahankan pekerjaan,” monolognya seorang diri, masih menyesali tentang hal yang diperdebatkan tadi.
***
Sementara di dalam mobil.
“Ron ….” panggilnya singkat nan tegas.
“Ya, Juragan?” sahutnya, melirik sekilas melalui kaca tengah mobil.
“Tugaskan salah satu orang kita, suruh dia pergi ke kampung Sarmi!” setelahnya ia memberikan titah sesuai keinginannya.
“Baik, Juragan!”
.
.
Keesokan harinya.
“Suster Nirma tak masuk kerja lagi?” Linda bertanya pada kedua antek-anteknya.
“Sudah dari kemarin dia bolos. Enak betul hidupnya tu,” ucap Dela sinis, penuh dengan rasa iri hati.
Linda tertawa sumbang. “Tak mengapa, jangan iri! Biarkan dia bersenang-senang dulu, sebelum kita hantam dengan fakta yang menggemparkan!”
“Maksudnya …?”
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
💛⃟🤎🏠⃟ᴛᴇᴀᴍ ɢͩᴇͥɴͩᴀᷲᴘͪ🥑⃟𝐐⃟❦
lah lah lah ......rencana apa lagi yg akan si Linda buat menghancurkan Nirma.....
ish ish ish apa katanya, jangan irii biarkan dia bersenang-senang....bukan kah itu di tujukan untuk kalian..... wooiiiiyy jgn harap Nirma lemah ya....dia itu wanita kuat , hebat jangan samakan dgn Nirma yg dulu....kalian boleh berbangga hati punya rencana besar untuk mempermalukan Nirma .....tp tunggu karma yg akan kalian terima semoga lebih dr apa yg akan Nirma terima dr kejahatan kalian.....arghh si Linda bikin gedeg....belum tau rasanya di Gibeng pake cobek kang pecel kali ya....😡😡😡
2025-04-12
6
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
juragan byakta punya misi misteri yg belum terpecahkan,,, gak ada clue sama sekali di dhien... di amala pun gantung.... 😭😭😭😭😭 aku bingung nebak alurnya gimana....
2025-04-12
4
imau
fakta apalagi yg akan di bongkar Linda?
banyak banget cobaannya Nirma 😌
sdh lah anak lagi sakit, kekurangan dlm ekonomi, tekanan di tempat kerja, malah ketambahan si juragan juga ikut ikutan nambahin mslh yg dibuat buat 😞.
orang seperti juragan ini bisa jadi imam keluarga yg baik g sih?
terlalu berambisi sampai jln yg slh pun di tempuh, awas juragan nanti hidupnya g berkah loh 😒
2025-04-12
2