Episode 4 - Kedatangan Dua Bayangan, Pertanda Perang Besar

Cahaya fajar mulai menyelinap di antara celah-celah awan kelabu. Melukis langit dengan semburat orange dan merah. Namun keindahan itu terasa mencekam bagi Klan Strein. Seolah langit sendiri tahu bahwa hari ini akan diwarnai oleh darah dan pertempuran.

Di puncak menara pengawas Benteng Strein, Dai Hideo, pemimpin Klan Strein berdiri tegap dengan tangan bertumpu pada gagang pedangnya. Angin dingin meniup jubah merahnya yang berkibar ringan, memperlihatkan zirah putih dengan lambang harimau di dada. Matanya yang tajam menatap jauh ke arah lembah, tempat di mana ribuan pasukan musuh akan muncul dan melewatinya.

Hideo menarik nafas panjang sebelum menoleh ke jenderal perangnya yang selalu bersikap tenang.

"Bagaimana evakuasi?" Tanyanya.

"Hampir selesai, tetapi beberapa orang tua menolak meninggalkan rumahnya." Jawab Obura sambil melipat tangannya, "Mereka lebih memilih mati di rumah mereka daripada menyelamatkan diri seperti seorang pengecut. Itu yang ku dengar."

Hideo mengepalkan tinjunya, tetapi ia memahami perasaan mereka. Hal itu bukan semata hanya ingin mempertahankan rumah mereka, tetapi juga kehormatan yang mereka miliki sebagai Klan Strein. Namun sebagai pemimpin, ia tidak bisa membiarkan lebih banyak nyawa melayang sia-sia.

"Paksa mereka pergi jika perlu. Nyawa mereka lebih berharga daripada kebanggaan mereka!"

Obura mengangguk dan segera memerintahkan pengawal pribadinya untuk menyampaikan pesan tersebut kepada petugas yang mengawal evakuasi.

Dengan tatapan yang tajam, Dai Hideo berdiri tegap menatap cakrawala. Menyaksikan matahari menyingkirkan kabut tipis yang mengambang secara perlahan dan menyingkap lembut hamparan padang rumput di depannya.

Sementara itu, di belakangnya—di bawah benteng, para prajurit tengah berkumpul dan berbaris, mulai mengatur formasi mereka dengan wajah-wajah yang penuh tekad. Beberapa sedang memeriksa panah dan busur, sementara yang lain melatih jurus pedang mereka dengan penuh keseriusan.

Di sisi barat benteng, di barisan pemanah, Toukai, seorang pemuda berusia delapan belas tahun tengah tertunduk menggenggam busurnya dengan tangan gemetar. Ketakutan menghantui pikirannya—bagaimana jika ia mati sebelum bisa membuktikan dirinya?

Seorang prajurit berusia lebih tua, Calder, yang berdiri di sampingnya menepuk pundaknya dengan lembut, "Ketakutan itu wajar, anak muda. Tapi jangan biarkan ia menguasai mu. Kau bukan hanya bertarung untuk dirimu sendiri, tapi untuk klan, untuk saudara-saudaramu." Ujarnya menenangkan.

Toukai menatap mata Calder dan menemukan ketegasan di sana. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.

Di sisi lain, di tempat Dai Hideo berada, Hitoshi beserta empat komandan terbaiknya—Obura, Masao, Saboru, dan Hanami, berkumpul dalam formasi setengah lingkaran—menunggu perintah.

Dari atas, mereka dapat melihat para prajurit yang tengah bersiap, pandai besi menempa senjata terakhir, dan para warga yang sudah hampir selesai dievakuasi.

"Berapa lama hingga mereka tiba?" Hideo bertanya dengan suara dalam dan tegas.

Obura, komandan terkuat dan paling berpengalaman, menjawab tanpa ragu. "Jika mereka terus bergerak tanpa berhenti, mungkin sebelum matahari mencapai puncaknya mereka akan tiba di Lembah Urgoth."

Hideo mengangguk, lalu beralih pada Saboru, penasehat militer dan ahli strategi mereka. "Apa rencanamu?"

Saboru membuka gulungan peta di atas meja kayu kasar yang ada di tengah mereka. Jarinya menunjuk pada titik-titik strategis di sekitar benteng. "Mereka akan menyerang dari depan, itu jalur tercepat dan paling terbuka. Kita perkuat gerbang utama dengan barikade tambahan dan jebakan bawah tanah." Terangnya.

Ia lalu menoleh pada Dai Hitoshi, "Hitoshi-sama, bisakah anda mempersiapkan pasukan berkuda anda di sisi timur. Begitu musuh hampir mendekati gerbang, aku ingin pasukan berkuda anda menyerangnya dari samping."

Hitoshi mengangguk mantap. "Kami akan siap. Tapi kita butuh sinyal yang tepat."

"Izinkan aku memberikannya," sela Obura, "Aku akan berada di atas benteng dan memimpin pasukan pemanah yang ditempatkan di sana. Begitu mereka terlalu dekat dengan gerbang, kita berikan hujan panah. Saat itulah pasukan kavaleri menyerang dari sisi timur."

Hanami mendengar semua pernyataan mereka dengan penuh perhatian. Namun, satu hal masih mengganggu pikirannya. "Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita belum mengetahui kekuatan Anzai, tetapi kita semua tahu Kisaki Gin, kita tidak bisa membiarkan dia mendekati benteng begitu saja, atau itu akan menjadi sebuah petaka."

"Serahkan dia padaku!" Obura merespon dengan nada yang tegas dan penuh keyakinan, "Jika itu benar-benar dia, aku akan menghentikannya dan menjauhkannya dari gerbang. Jika hanya Kisaki Gin, itu bukan masalah besar."

Hideo tersenyum tipis. "Seperti yang aku harapkan darimu, Obura."

Di sela-sela percakapan, dua sosok hendak memasuki ruangan dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Mereka tidak perlu mengumumkan kehadiran mereka, semua yang berada di sana sudah merasakan keberadaan mereka jauh sebelum pintu terbuka. Dengan telinga yang terpasang secara seksama, mereka mulai menebak-nebak siapa yang datang.

Pintu ruangan terbuka—seseorang membuka nya dari luar.

Sosok pertama melangkah memasuki ruangan dengan elegan, jubah hitamnya bergelayut seperti bayangan yang mengikuti setiap gerakannya. Mata emasnya memancarkan ketenangan yang mengintimidasi, memeriksa ruangan seakan membaca setiap niat yang tersembunyi di dalamnya.

Wajahnya bagaikan pahatan batu, tanpa ekspresi, tanpa celah bagi emosi untuk muncul. Tangan kanannya menggenggam hulu sabit yang terselip di pinggangnya, bukan karena kewaspadaan—tetapi karena itulah bagian dari dirinya, seperti organ yang melekat pada tubuh.

Setelahnya, sosok kedua muncul memasuki ruangan. Suara-suara terasa seakan lenyap. Keheningan menggantung berat, seperti kabut pekat yang menyelimuti ruangan.

Seorang wanita.

Rambut perak panjang mengalir di punggungnya, seakan ditenun dari cahaya bulan itu sendiri. Setiap helai berkilauan terkena cahaya pagi, bergerak ringan seiring langkahnya yang tanpa suara.

Sepasang mata keemasan menyapu ruangan—tidak dengan rasa ingin tahu, tetapi dengan sorot seorang hakim yang menilai kelayakan hidup para makhluk di hadapannya. Tatapan itu cukup untuk membuat beberapa orang menahan napas tanpa sadar, seolah takut bahwa gerakan sekecil apa pun akan menarik perhatiannya.

Zirah merah gelap membungkus tubuhnya dengan sempurna, tidak berat, tidak menghalangi gerak, tetapi jelas bukan sekadar perhiasan. Ukiran halus di atasnya tampak seperti urat nadi yang berdenyut pelan, hampir seolah-olah zirah itu memiliki nyawa sendiri.

Di pinggangnya, tersarung sebilah pedang panjang—pegangan hitam dengan pahatan naga emas yang tampak begitu nyata, seakan bisa bangkit dan mengaum kapan saja.

Dia terus melangkah, dan tekanan yang menyertai kehadirannya semakin menyesakkan ruangan.

Saboru dan Hanami berpura-pura tetap tenang, mempertahankan ekspresi dingin mereka. Namun, keringat halus di pelipis dan telapak tangan yang mengepal terlalu erat mengkhianati perasaan mereka.

Masao menarik napas panjang—bukan karena takut, tentu saja, tetapi karena mengingat kembali sensasi ini. Sensasi berdiri di hadapan sesuatu yang jauh melampaui dirinya.

Tak ada yang berbicara. Tak ada yang ingin menjadi orang pertama yang menarik perhatian sosok itu.

Senyum tipis muncul di bibir sang wanita. Itu bukan ekspresi keramahan. Bukan pula ekspresi ketertarikan. Itu adalah ekspresi seekor harimau yang baru saja melangkah ke dalam sarang kelinci. Lalu, akhirnya, suara itu terdengar.

Dia tidak perlu mengangkat suaranya, tidak perlu berbicara dengan nada tinggi. tetapi setiap kata yang meluncur dari bibirnya membawa beban yang tidak dapat diabaikan.

“Kami datang memenuhi permintaan anda, Hideo-sama.” Katanya, dengan kepala yang ditundukkan—memberi hormat.

Di sisi lain, suaranya lembut, hampir tidak cocok dengan tekanan yang ia bawa. Namun, justru karena itulah setiap kata yang diucapkannya terasa lebih berat. Lebih menakutkan.

Sang ketua klan, Dai Hideo, pria yang telah bertahan melewati puluhan tahun intrik dan perang, menghela napas perlahan. Ia bukan orang lemah—seseorang yang telah memimpin klan ini dalam bayang-bayang pertempuran, seseorang yang telah membunuh dengan tangannya sendiri lebih banyak dari yang bisa ia hitung—namun bahkan ia tidak bisa menyangkal tekanan yang kini menyelimuti ruangan.

Sejenak, ia membiarkan keheningan menggantung.

Keheningan itu bukan sekadar kosong. Itu adalah pernyataan, sebuah pengakuan diam-diam bahwa dua pendekar ini bukan sekadar bawahan yang dipanggil ke dalam pertemuan. Mereka adalah kekuatan yang sejajar, entitas yang kehadirannya cukup untuk mengubah keseimbangan kekuasaan dalam sekejap.

Akhirnya, dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, Hideo berbicara.

“Kalian datang.”

Dua kata sederhana.

Namun, di baliknya, ada seribu makna.

Adalah kehormatan bahwa mereka hadir.

Adalah bahaya bahwa mereka hadir.

Dan yang terpenting—hadirnya mereka adalah tanda bahwa apa yang sedang Klan Strein hadapi bukanlah sesuatu yang biasa... melainkan sebuah kedaruratan.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Big Man

Big Man

seru kok kak.. namnya aja yg jepang kak.. tp story line nya sma kek pendekar2 timur lain.. hnya saja.. gda kultivator .. tp istilahnya berbeda

2025-04-02

1

Desti Sania

Desti Sania

belum terbiasa dengan scien jepang

2025-04-02

2

lihat semua
Episodes
1 Prologue
2 Episode 1 - Kisah yang Terukir, Takdir yang Terjalin
3 Episode 2 - Sidang Strein: Menyerah atau Bertarung
4 Episode 3 - Rapat Para Petinggi, Titah Sang Pemimpin
5 Episode 4 - Kedatangan Dua Bayangan, Pertanda Perang Besar
6 Episode 5 - Saat Takdir Mengetuk: Strein Melawan Kegelapan
7 Episode 6 - Jeritan di Gerbang Strein
8 Episode 7 - Harapan dalam Kepungan: Strein Melawan Arus Kematian
9 Episode 8 - Kehendak Kaisar vs Tekad Klan Strein: Pedang Tirani vs Sang Penjaga
10 Episode 9 - Ketika Petir dan Api Beradu, Takdir Dunia Ditentukan
11 Episode 10 - Kejatuhan Klan Strein: Tragedi dan Era Baru
12 Episode 11 - Runtuhnya Klan Strein, Deklarasi Sang Kaisar
13 Episode 12 - Pewaris Kekuatan: Takdir yang Terbangun
14 Episode 13 - Janji Seorang Ayah, Tekad Seorang Anak
15 Episode 14 - Ketenangan yang Retak
16 Episode 15 - Riak Air dan Cinta yang Tumbuh
17 Episode 16 - Pelajaran di Balik Keterlambatan
18 Episode 17 - Putri dari Dunia Lain
19 Episode 18 - Dua Hati di Bawah Langit yang Membeku
20 Episode 19 - Ketika Harimau Berbicara dengan Ayam
21 Episode 20 - Hari ke Tujuh: Jawaban
22 Episode 21 - Pedang dan Rahasia yang Terjaga
23 Episode 22 - Latihan yang Sesungguhnya: Bagian 1: Ayunan
24 Episode 23 - Latihan yang Sesungguhnya: Bagian 2: Tebasan Pertama
25 Episode 24 - Langkah Menuju Dunia yang Lebih Besar: Bagian 3: Kekuatan Warisan
26 Episode 25 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 1
27 Episode 26 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 2
28 Episode 27 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 3
29 Episode 28 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 4
30 Episode 29 - Kegaduhan di Desa: Bagian 1
31 Episode 30 - Kegaduhan di Desa: Bagian 2
32 Episode 31 - Kegaduhan di Desa: Bagian 3
33 Episode 32 - Abirama vs Kelompok Bayaran: Fakta Pahit yang Terkuak
34 Episode 33 - Pertarungan Abirama, Identitas yang Terkuak
35 Episode 34 - Abirama: Kisah Masa Lalu Sang Iblis Hitam
36 Episode 35 - Raito: Kesempatan Kedua
37 Episode 36 - Generasi Terkahir Klan Yureiji: Mata yang Menembus Warna
38 Author's Note
39 Episode 37 - Veyrhalm Ardein: Sang Bayangan Keempat dari Tahkta
40 Episode 38 - Perintah 88-Ardein: Operasi Penyisiran Eravion
41 Episode 39 - Operasi Penyisiran Aethorian: Lima Kapten Tertinggi Diturunkan
42 Episode 40 - Anjing Kekaisaran: Penghianatan Sang Murid
43 Episode 41 - Operasi Hantu: Malam yang Membatu
44 Episode 42 - Aaron: Anak yang Mengubah Arah Ramalan
45 Author's Note
46 Episode 43 - Di Balik Senyap Desa, Dosa yang Dibiarkan Hidup
47 Episode 44 - Anak Lelaki dan Dua Cahaya
48 Episode 45 - Saat Dunia Tak Lagi Hitam dan Putih: Pelajaran Rasa
49 Episode 46 - Dunia yang Meredup, Cinta yang Tetap Menyala
50 Episode 47 - Rahasia yang Menetes di Ujung Pagi
51 Episode 48 - Shugoran: Roh Gelap yang Terbangun
52 Episode 49 - Gema Archenos: Ketika yang Terlupakan Bangkit
53 Episode 50 - Resonansi Pertama: Lingkaran yang Belum Sempurna
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Prologue
2
Episode 1 - Kisah yang Terukir, Takdir yang Terjalin
3
Episode 2 - Sidang Strein: Menyerah atau Bertarung
4
Episode 3 - Rapat Para Petinggi, Titah Sang Pemimpin
5
Episode 4 - Kedatangan Dua Bayangan, Pertanda Perang Besar
6
Episode 5 - Saat Takdir Mengetuk: Strein Melawan Kegelapan
7
Episode 6 - Jeritan di Gerbang Strein
8
Episode 7 - Harapan dalam Kepungan: Strein Melawan Arus Kematian
9
Episode 8 - Kehendak Kaisar vs Tekad Klan Strein: Pedang Tirani vs Sang Penjaga
10
Episode 9 - Ketika Petir dan Api Beradu, Takdir Dunia Ditentukan
11
Episode 10 - Kejatuhan Klan Strein: Tragedi dan Era Baru
12
Episode 11 - Runtuhnya Klan Strein, Deklarasi Sang Kaisar
13
Episode 12 - Pewaris Kekuatan: Takdir yang Terbangun
14
Episode 13 - Janji Seorang Ayah, Tekad Seorang Anak
15
Episode 14 - Ketenangan yang Retak
16
Episode 15 - Riak Air dan Cinta yang Tumbuh
17
Episode 16 - Pelajaran di Balik Keterlambatan
18
Episode 17 - Putri dari Dunia Lain
19
Episode 18 - Dua Hati di Bawah Langit yang Membeku
20
Episode 19 - Ketika Harimau Berbicara dengan Ayam
21
Episode 20 - Hari ke Tujuh: Jawaban
22
Episode 21 - Pedang dan Rahasia yang Terjaga
23
Episode 22 - Latihan yang Sesungguhnya: Bagian 1: Ayunan
24
Episode 23 - Latihan yang Sesungguhnya: Bagian 2: Tebasan Pertama
25
Episode 24 - Langkah Menuju Dunia yang Lebih Besar: Bagian 3: Kekuatan Warisan
26
Episode 25 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 1
27
Episode 26 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 2
28
Episode 27 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 3
29
Episode 28 - Kegaduhan di Kedai: Bagian 4
30
Episode 29 - Kegaduhan di Desa: Bagian 1
31
Episode 30 - Kegaduhan di Desa: Bagian 2
32
Episode 31 - Kegaduhan di Desa: Bagian 3
33
Episode 32 - Abirama vs Kelompok Bayaran: Fakta Pahit yang Terkuak
34
Episode 33 - Pertarungan Abirama, Identitas yang Terkuak
35
Episode 34 - Abirama: Kisah Masa Lalu Sang Iblis Hitam
36
Episode 35 - Raito: Kesempatan Kedua
37
Episode 36 - Generasi Terkahir Klan Yureiji: Mata yang Menembus Warna
38
Author's Note
39
Episode 37 - Veyrhalm Ardein: Sang Bayangan Keempat dari Tahkta
40
Episode 38 - Perintah 88-Ardein: Operasi Penyisiran Eravion
41
Episode 39 - Operasi Penyisiran Aethorian: Lima Kapten Tertinggi Diturunkan
42
Episode 40 - Anjing Kekaisaran: Penghianatan Sang Murid
43
Episode 41 - Operasi Hantu: Malam yang Membatu
44
Episode 42 - Aaron: Anak yang Mengubah Arah Ramalan
45
Author's Note
46
Episode 43 - Di Balik Senyap Desa, Dosa yang Dibiarkan Hidup
47
Episode 44 - Anak Lelaki dan Dua Cahaya
48
Episode 45 - Saat Dunia Tak Lagi Hitam dan Putih: Pelajaran Rasa
49
Episode 46 - Dunia yang Meredup, Cinta yang Tetap Menyala
50
Episode 47 - Rahasia yang Menetes di Ujung Pagi
51
Episode 48 - Shugoran: Roh Gelap yang Terbangun
52
Episode 49 - Gema Archenos: Ketika yang Terlupakan Bangkit
53
Episode 50 - Resonansi Pertama: Lingkaran yang Belum Sempurna

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!