Pesta ulang tahun telah berakhir, meninggalkan jejak tawa dan hingar bingar di Gardenia Apartemen. Cahaya dan Arjuna beranjak meninggalkan tempat itu, menuju kantor untuk mengambil kembali motor Arjuna.
Di dalam mobil, hening menyelimuti mereka berdua. Cahaya, dengan tenang, memasang pembatas pintu dan peredam suara, lalu mengarahkan tatapannya kepada Arjuna. Sejak tadi, Arjuna hanya diam, wajahnya tampak gugup.
"Jun, jadi gimana? Kamu menerima perasaan saya atau tidak? Dari tadi kamu diem aja," ujar Cahaya dengan senyum tipis, namun sorot matanya tetap tajam. Dia sangat penasaran dengan jawaban Arjuna.
Arjuna, yang sedari tadi menatap lurus ke depan, menoleh ke Cahaya. Wajahnya masih tampak gugup, tapi matanya terlihat sangat percaya diri. "Saya belum tau, Bu. Saya sendiri belum yakin apa yang saya rasakan ini. Saya belum bisa memberikan jawaban," jawab Arjuna, raut wajahnya terlihat bingung.
Cahaya menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk pelan pah4nya. Dia sudah menduga jawaban Arjuna akan seperti itu.
Mungkinkah dia harus mengubah sikapnya agar Arjuna mau menerimanya? Entahlah, mungkin ini semacam pubertas kedua, pikirnya sambil tersenyum getir.
"Perasaan kamu ke saya gimana? Semua itu cuma kamu yang bisa menjawabnya," ujar Cahaya, matanya kini tertuju ke luar jendela. Nada suaranya datar, namun ada setitik kekecewaan yang tersirat di dalamnya.
Arjuna menghela napas panjang, "Saya akan mempertimbangkannya Bu, beri saya waktu," jawabnya.
Keduanya terdiam sesaat, hanya diiringi deru mesin mobil yang melaju. Saat mobil kembali menepi di depan kantor, Arjuna turun dengan langkah pelan. Cahaya pun langsung melajukan mobilnya, meninggalkan Arjuna dengan pikiran yang berputar-putar.
Arjuna membuka gerbang, menuju ke parkiran untuk mengambil motornya. Setibanya di sana, saat sudah naik di atas motornya, Arjuna menyambar ponsel di saku celananya.
Sebuah deretan notifikasi pesan dari Jasmine tertera di layar. Kening Arjuna mengerut sedikit, ia pun membuka pesan tersebut dan membacanya perlahan.
(Jun, Lo dimana?)
Ada beberapa menit sampai pesan kedua terkirim. Jasmine memberi jeda pada pesannya itu.
(Lo sibuk ya? Gue butuh bantuan Lo)
(Jun)
(Bokap gue kece-lak-aan tunggal dan sekarang meninggal dunia. Lo tau, gue cuma sama bibi gue sekarang. Lo kemana?)
Itu pesan terakhir yang Jasmine kirimkan dan itu dari beberapa jam yang lalu. Arjuna membulatkan matanya, terkejut membaca isi pesan itu. Tanpa menunggu lama, Arjuna segera membalasnya.
(Jas, sorry gue ada kepentingan tadi. Besok gue ke rumah Lo ya, gue bantu-bantu. Sekalian gue bilang ke nyokap gue biar bantuin Lo)
(Gue turut berduka cita ya. Maaf gue baru tahu sekarang)
Arjuna mengerutkan kening, menatap layar ponselnya. Pesan yang baru saja dikirimnya kepada Jasmine hanya berisi dua tanda abu-abu. Jam sudah menunjukkan waktu larut malam.
Mungkin Jasmine sudah tertidur. Dengan berat hati, Arjuna menyimpan ponselnya kembali ke saku. Helm terpasang di kepala, mesin motor dihidupkan, dan Arjuna melaju meninggalkan kantor, pulang ke rumah.
********
Keesokan harinya, rumah sederhana Jasmine dipenuhi oleh para tetangga yang datang melayat. Berita kepergian sang ayah telah menyebar cepat, dan warga sekitar berbondong-bondong datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Di antara mereka, Ibu Arjuna juga terlihat hadir. Tatapannya tertuju pada Jasmine yang duduk termenung di dekat peti jena-zah sang ayah, tanpa ikut membantu persiapan pemakaman yang dilakukan oleh para tetangga.
"Dia ngabarin soal papanya meninggal cuma buat nyuruh kita bantuin dia ngurus segalanya? Dasar anak papa! Untung lagi berduka, kalo enggak, ogah banget aku datang ke sini!" Batin ibu Arjuna, wajahnya mengerut tak suka.
Sejujurnya dia memang tidak pernah sreg dengan Jasmine. Tapi, mau tak mau, dia terpaksa datang karena suasana duka.
Tak lama setelah itu, Bibi Kate, yang baru saja membantu memasak di dapur, menghampiri Jasmine. Dengan lembut, ia menepuk pundak Jasmine dan duduk di dekatnya. Jasmine menoleh, matanya berkaca-kaca.
"Jas, kamu kenapa? papamu harus di mandikan sekarang. Semuanya sudah siap," kata Bibi Kate, suaranya lembut dan penuh perhatian. Jasmine mengangguk pelan.
Arjuna memang sudah memberitahunya hal yang sama sebelumnya. Jenasah Papanya harus segera dimandikan, dan Jasmine tahu, tugas itu harus segera dilakukan.
"Aku tau, Bi. Tapi aku nggak kuat. Aku nggak bisa liat Papa di- mandiin sama orang-orang itu. Bayangin, Bi, Papa di tela-njangi di depan umum, di siram air dingin, di gosok-gosok pake sabun! Kayak lagi ngelakuin ritual aneh gitu, Bi! Aku nggak tega liatnya!" jawab Jasmine, suaranya bergetar, serak karena menahan tangis.
Bibi Kate menghela napas. "Jas, ini sudah menjadi kewajiban kita. Memandikan jena-zah adalah penghormatan terakhir untuk orang yang sudah meninggal. Kamu harus kuat, Jas. Papa kamu pasti ingin kamu kuat."
Jasmine terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia tahu bibinya benar. Tapi hatinya masih berat untuk menerima kenyataan bahwa papanya sudah pergi untuk selamanya.
"Biar aku yang bantu, tante. Aku akan ikut memandikan jena-zah om Bima," kata Arjuna yang tiba-tiba muncul di samping mereka. Dia membawa segelas air putih untuk Jasmine. "Minum dulu, Jas. Lo harus kuat."
Jasmine menerima air putih itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Arjuna, matanya masih berkaca-kaca. "Makasih, Jun."
Beberapa saat kemudian, para tetangga pria mulai berdatangan. Mereka bersama dengan Arjuna akan membantu memandikan jena-zah Papa Jasmine. Prosesi pemandian jena-zah dilakukan dengan khidmat.
Mereka membaca doa-doa dan memandikan jena-zah dengan air yang dicampur dengan daun sirih dan bunga mawar.
Setelah selesai dimandikan, jena-zah Papa Jasmine dikafani dengan kain putih bersih. Kemudian, jena-zah dibaringkan di peti mati yang sudah disiapkan.
"Jas, kamu kuat ya. Kita akan mengantar Papa kamu ke peristirahatan terakhirnya," kata Bibi Kate, menepuk pundak Jasmine.
Jasmine mengangguk, air matanya kembali menetes. Dia menatap peti mati yang berisi jena-zah Papanya. Rasa kehilangan dan kesedihan masih menyelimuti hatinya.
"Kita akan mengantar om Bima ke peristirahatan terakhirnya pake kereta kuda, Jas," kata Arjuna. "Lo yang sabar ya. Semoga Om Bima tenang di sana, dan kuburnya dilapangkan. Jangan sedih-sedih terus, ikhlasin."
Jasmine hanya mengangguk lemah. Dia tidak sanggup berkata apa-apa. Dia hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan pahit ini.
Prosesi pemakaman pun dimulai. Jena-zah Papa Jasmine diusung ke kereta kuda yang sudah disiapkan. Warga sekitar beriringan di belakang kereta kuda, membaca doa-doa dan melantunkan shalawat.
Di pemakaman, Papa Jasmine dimakamkan di sisi paling ujung utara, dekat pohon beringin tua yang menjulang tinggi. Prosesi pemakaman berlangsung khidmat, diiringi doa-doa dan lantunan shalawat. Semua warga bergotong royong membantu menguburkan jena-zah.
Setelah pemakaman selesai, warga berkumpul di rumah Jasmine untuk takziah. Mereka memberikan ucapan belasungkawa dan doa untuk Papa Jasmine.
"Saya turut berdukacita ya, semoga pak Bima tenang di sisinya," kata salah satu tetangga, mendekat ke Jasmine.
"Iya, Bu, terima kasih," jawab Jasmine, suaranya teredam oleh isak tangis yang masih membasahi pipinya.
Ibu Arjuna, yang sejak dari pemakaman hanya duduk di sudut ruangan, mendekati Jasmine dengan wajah datar.
"Saya turut berduka cita ya, Jas. Semoga pak Bima tenang di sana," katanya, suaranya terdengar dingin. Jasmine hanya mengangguk lemah. Dia tahu Ibu Arjuna tidak benar-benar bersimpati padanya.
"Ya, Tante, terima kasih," jawab Jasmine, suaranya hampir tak terdengar.
Ibu Arjuna berdehem, lalu berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Jasmine hanya menatap punggung Ibu Arjuna yang menjauh. Dia tahu Ibu Arjuna tidak suka padanya, tapi dia tidak peduli. Yang penting, prosesi pemakaman papanya sudah selesai.
**********
Kantor sudah ramai saat Cahaya melangkah masuk. Karyawan berlalu lalang, menundukkan kepala hormat saat berpapasan dengannya. Cahaya membalas dengan anggukan singkat, lalu berlalu menuju ruangannya.
Tapi tiba-tiba di tengah langkahnya dia teringat Arjuna. Senyum tipis mengembang di bibirnya, menghadirkan rona hangat di wajahnya. Ia ingin mengirimkan pesan, meraih ponselnya dan mencari kontak Arjuna.
Namun, sebelum jari-jarinya menyentuh layar, sebuah notifikasi muncul. Arjuna sudah lebih dulu mengirimkan pesan. Beberapa pesan tertera di layar, membuat Cahaya mengerutkan kening, penasaran dengan isi pesan Arjuna.
(Pagi Bu, maaf mengganggu waktunya pagi-pagi begini)
Di samping pesannya itu Arjuna juga menyertakan dua emoticon tangan mengatup.
(Bu, saya hari ini izin tidak masuk kerja ya, ayah teman saya meninggal, saya bantu-bantu dia)
Ada selang waktu beberapa menit saat Arjuna mengirimkan pesan-pesannya. Jeda waktu yang berbeda memisahkan setiap pesan.
Kening Cahaya mengerut saat Arjuna menyebut teman. Siapa teman Arjuna yang ayahnya meninggal? Apakah mungkin...
(Bu, papanya Jasmine meni-nggal. Beliau mengalami kece-lak-aan tunggal dan sekarang sudah berpulang. Saya sedang ada di rumahnya sekarang. Barusan selesai pemakaman sama takziah. Sekarang saya sedang sama Jasmine. Dia sangat sedih)
(Apa Bu Cahaya berkenan untuk datang kesini? Maaf ya Bu sebelumnya, tapi Jasmine sangat terpukul. Sepertinya kedatangan ibu akan sedikit mengurangi kesedihan Jasmine)
Cahaya terpaku, matanya membulat tak percaya saat mengetahui kabar duka itu. Papa Jasmine, mantan suaminya, telah meninggal.
Apakah kecel4kaan yang dialaminya separah itu hingga dia meninggal? Pikiran Cahaya berkecamuk. Dia bingung, bimbang. Apakah dia harus datang menemui mereka? Se-egois apapun dirinya, Jasmine tetaplah anaknya. Dia tak bisa mengubah kenyataan itu.
Setelah beberapa saat berpikir dan menimbang-nimbang, Cahaya mengangguk tegas. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
"Mohon perhatiannya sebentar!" Cahaya berteriak, tangannya bertepuk-tepuk, menarik perhatian semua orang.
"Saya mau keluar sebentar, ada kerabat yang meninggal. Kalian lanjut kerja dulu, nanti saya balik lagi, ngerti?" Suaranya lantang, bergema di seluruh ruangan, memastikan semua orang mendengarnya.
"Baik Bu," jawab karyawannya serempak, sopan dan kompak.
Cahaya berbalik, melangkah keluar dari kantor menuju parkiran. Ia segera masuk ke mobil, memasang sabuk pengaman, dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju ke rumah Jasmine.
Sebelumnya, Arjuna telah mengirimkan lokasi rumah Jasmine. Berbekal informasi itu, Cahaya langsung menuju alamat tersebut, meskipun ia sendiri tak tahu persis di mana letaknya.
Tak lama kemudian dia tiba di depan sebuah rumah sederhana yang di depannya tergantung sebuah bendera kuning.
Cahaya mengamati sekeliling. Rumah itu sederhana, bahkan terlihat sedikit usang. Temboknya pudar, pintunya pun tampak lapuk. Ia meraih tasnya dari mobil dan keluar. Beberapa orang yang masih berada di sekitar rumah Jasmine menoleh padanya, tatapan mereka kaget, lalu berbisik-bisik satu sama lain.
Cahaya mengabaikan mereka. Pandangannya datar, tak menyapa mereka sama sekali.
"Sombong banget! Siapa sih dia?!" bisik salah seorang yang dilewatinya, matanya tertuju pada Cahaya yang tampak mengabaikan mereka. Tak ada sapa, tak ada tatapan.
Cahaya mendengar bisikan itu dengan jelas, tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Ia menghela nafas, langkahnya terus berlanjut hingga mencapai pintu rumah yang terbuka lebar.
Di dalam, rumah masih dipenuhi orang-orang, termasuk Jasmine dan Arjuna. Ia juga melihat Kate, salah satu anggota keluarganya, dan kakaknya yang berada di tengah keramaian.
Dengan sedikit ragu, Cahaya melangkah masuk. Langkahnya terdengar jelas, bayangannya menghalangi cahaya yang masuk dari pintu. Semua mata tertuju padanya, termasuk Jasmine dan yang lainnya.
Mereka semua tercengang melihat Cahaya di sana, termasuk Jasmine. Kaget memang, namun tatapannya langsung berubah tajam ke arah Cahaya. Sejujurnya, dia tidak nyaman melihat Mamanya di sini.
"Mama ngapain sih ke sini?! Terus siapa yang udah ngasih tau soal Papa meninggal? Apa...Arjuna? Bre-ng-sek banget dia!" gerutu Jasmine dalam hati.
Tatapan matanya yang tajam masih tertuju pada mamanya, yang kini sedang berjalan melewati kerumunan menuju ke arahnya. Cahaya tidak mengucapkan permisi kepada orang-orang, sehingga mereka menatapnya dengan kesal dan saling berbisik satu sama lain.
"Jas, mama turut berdukacita ya atas meni-nggalnya papa kamu. Semoga papa kamu tenang di sana," ucap Cahaya kepada Jasmine. Tatapan matanya tetap tajam, wajahnya datar. Dagunya sedikit terangkat, menunjukkan sikapnya yang angkuh.
Beberapa orang di sekitar Jasmine yang mendengar ucapan Cahaya langsung tercengang. Mereka menoleh ke arah Jasmine dan Cahaya, matanya membulat sempurna, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Makasih," hanya itu yang Jasmine ucapkan. Ekspresinya masih tajam dan kesal, menunjukkan ketidaknyamanan dengan kedatangan Mamanya.
Kate yang melihat Cahaya di depannya langsung berseru, "Kamu udah lupa ya sama kakak?! Nggak inget kalo kamu itu masih punya keluarga, hmm?!" Sentak Kate tajam.
Matanya menyorot tajam ke arah Cahaya, yang setelah mendengar pertanyaan Kate langsung menoleh dengan pandangan santai. Seolah tanpa beban atau rasa bersalah.
Cahaya melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku sibuk. Kakak harusnya tau itu. Ini aja aku udah ninggalin kerjaanku dan datang ke sini!" ujarnya dengan nada sedikit tinggi. Dagunya tetap terangkat, membuat Cahaya terlihat menyebalkan saat itu.
Jasmine yang mendengar ucapan mamanya langsung menyahut dengan nada tinggi. Emosinya sedang naik turun saat itu.
"Mama ngapain sih ke sini?! Aku nggak minta Mama datang! Nggak butuh Mama juga! Lebih baik Mama pergi aja dari sini kalau yang Mama pentingin cuma pekerjaan.
Di sini udah ada Bibi dan Arjuna yang peduli sama aku, mau bantuin aku. Jadi kedatangan Mama sangat nggak dibutuhkan di sini!" desis Jasmine, suaranya bergetar menahan amarah.
Kata-kata Jasmine membuat semua orang yang mendengarnya tercengang. Mereka sama sekali tidak tahu soal masalah yang terjadi antara Jasmine dan ibunya.
Cahaya hanya tersenyum sinis, matanya dingin menatap Jasmine. "Oh begitu ya? Kamu nggak butuh Mama? Oke, setelah ini Mama akan pergi. Tapi inget ya Jas, yang kamu punya sekarang cuma Mama.
Kamu nggak punya siapa-siapa lagi. Jadi kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sama Mama. Rumah Mama masih luas kalau harus nampung kamu," jawab Cahaya sambil memainkan kukunya, matanya tertuju pada kuku-kukunya itu.
Cahaya mendongak, menoleh ke arah Arjuna yang sedari tadi hanya diam, memperhatikan mereka bicara. Awalnya, ekspresi Cahaya tajam, angkuh dan sombong, dagunya terangkat.
Tapi begitu tatapannya bertemu dengan Arjuna, senyum merekah di wajahnya. Ramah dan manis.
"Jun, kamu masih ingat soal yang kemarin kan? Saya menunggu jawaban dari kamu. Secepatnya!" kata Cahaya, suaranya sedikit meninggi, tapi senyumnya tetap terukir.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments