Setibanya di dalam rumah, Jasmine menemukan sang papa sedang menonton televisi di ruang tamu. Televisi itu terpasang di meja, menghiasi sudut ruangan.
Jasmine mendekat, tubuh mungilnya merapat ke samping papanya. Sang papa menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Tadi katanya mau jalan-jalan sama Arjuna? kok bentar aja udah pulang?" tanya sang papa, heran melihat Jasmine pulang cepat. Sebentar tadi mereka baru saja keluar. "Kenapa, sayang?"
Jasmine tak menjawab, matanya tertuju pada layar televisi, tapi pikirannya melayang entah ke mana. "Nggak papa Pa, lagi nggak mood aja aku. Ehm, aku ke kamar dulu ya, mau ganti baju sama istirahat," jawabnya singkat. Ia lalu bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
Papanya menatap punggung Jasmine yang perlahan menjauh, hingga akhirnya tidak terlihat lagi. Setelahnya papanya pun kembali mengalihkan pandangannya ke layar televisi.
*********
Arjuna menarik gas motornya, melaju pelan meninggalkan tempat rentenir itu. Jalanan yang biasanya terasa hidup, kini terasa sunyi dan hampa.
Matanya menerawang kosong, tak mampu menangkap keindahan dunia di sekelilingnya. Bayangan wajah rentenir itu, dengan senyum sinis yang seakan mengejek, terus menghantuinya.
Di dalam tasnya, tergeletak sebuah amplop berisi sepuluh juta rupiah, uang yang berhasil dia dapatkan untuk melunasi hutang sang ayah. Uang yang seharusnya menjadi obat penawar duka, malah menjadi beban baru yang mencekik lehernya.
Hutang baru, dengan bunga yang menyeramkan seperti ular piton, menjerat lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Angka-angka yang tertera di kertas pinjaman itu terlalu besar, membuatnya terengah-engah, tak mampu menelan ludahnya sendiri.
Arjuna masih bisa mendengarnya. Kata-kata kasar dan ancaman para rentenir itu, yang terlontar dengan nada dingin dan menusuk, masih bergema di telinganya. Seakan-akan mereka masih berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan tajam, siap menerkam jika dia sedikit saja terlambat membayar.
"Denger baik-baik, bocah! Kalo lo sampe telat bayar, jangan harap lo bisa hidup tenang. Lo pikir cuma harta benda lo yang ilang? Hahaha! Gue bakal bikin lo jadi 4njing gue, ngikutin gue kemana-mana, ngelakuin apa yang gue suruh.
Bahkan kalo gue suruh lo bvnuh orang, lo harus nurut! Kalo lo berani ngelawan, gue bakal bikin hidup lo lebih sengs4ra dari ner4ka! Lo siap kan ngerasain ner4ka di dunia?"
Anc4man itu bukan gertakan kosong. Arjuna tahu, rentenir itu tak segan-segan menghancvrkan hidupnya jika dia tak mampu melunasi hutang. Harta benda, keluarga, bahkan ny4wanya pun bisa menjadi taruhan.
Dia teringat cerita dari orang-orang tentang bagaimana rentenir itu pernah dengan mudahnya mencabut ny4wa seorang pemuda yang tak mampu membayar hutang.
Sepuluh juta rupiah, jumlah yang tak seberapa bagi rentenir yang rakus itu, namun baginya bagaikan gunung yang menjulang tinggi. Gaji sebagai ob yang tak seberapa, tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dan membayar hutang.
Sekolah adiknya, kebutuhan di rumah, semuanya terancam. Bagaimana dia bisa mencicil hutang dengan bunga yang mencekik itu? Bagaimana dia bisa bertahan hidup jika harus terus-menerus dikejar rentenir?
Arjuna sampai di depan rumahnya, sebuah rumah sederhana yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Dia memarkirkan motornya, turun, melepas helm, dan melangkah lesu menuju pintu. Tangannya gemetar saat menarik handle pintu, seakan beban yang dia pikul terlalu berat untuk ditanggung. Dia memasuki rumahnya.
"Assalamualaikum," ucap Arjuna mengucap salam, suaranya sedikit serak. Matanya menyapu ruangan, mencari keberadaan ibu dan adiknya. Rumah mungil mereka, hanya beberapa petak saja, tak sulit untuk dijangkau pandangannya.
Bahkan dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat dapur yang terletak di ujung ruangan.
Arjuna berjalan ke dapur, siapa tahu ibunya sedang memasak di sana. Namun, begitu tiba di dapur, dia mendapati tempat itu kosong. Ibunya dan adiknya tak ada di sana. Kemanakah mereka pergi? Rasa khawatir mulai menggerogoti hatinya.
Ia berbalik, melangkah menuju kamarnya. Namun, sebelum tangannya meraih kenop pintu, suara gaduh mengagetkannya. Pintu depan rumahnya di dobrak dengan kasar, dan beberapa orang berwajah garang, bertubuh kekar, dan berkumis tebal berhamburan masuk.
Mereka melangkah cepat, matanya melotot tajam, dan wajah mereka dipenuhi amarah.
Arjuna terpaku, tubuhnya menegang. Rasa takut merayap di sekujur tubuhnya, membuat bulu kuduknya berdiri tegak.
Setibanya para pria itu di depan Arjuna, salah satu dari mereka dengan kas4r menarik kerah baju Arjuna "Ini udah kelewat tanggal bocah! Kapan Lo mau bayar hutang bokap Lo?!" bentak pria itu sambil melepas kerah baju Arjuna yang ia tarik.
Pria lainnya, dengan tatapan tajam, menambahkan, "Lo masih inget kan apa yang kita bilang dulu? Kalo lo sampe nggak bayar, rumah kecil lo ini bakal kita sita. Sekarang mana duitnya? Kita nggak mau denger alasan lagi!" Tangannya terulur ke arah Arjuna, menagih hutang yang sudah jatuh tempo.
Arjuna dengan wajah takut merogoh tas selempangnya, mengambil bungkusan coklat lalu menyodorkannya kepada para lelaki dewasa yang berdiri di hadapannya. Yang dirasa sebagai ketua mereka menerima amplop itu dengan tangan kas4r, lalu membukanya.
Seketika, mata lelaki itu berbinar-binar. Senyum lebar terkembang di wajahnya saat melihat tumpukan uang di dalam amplop. Dia menoleh ke arah Arjuna, menyimpan amplop beserta uangnya di dalam sakunya
"Oke, hutang bokap lo udah lunas. Kita cabut, tugas kita udah selesai." Pria itu menoleh ke arah anak buahnya, mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar, seakan-akan baru saja menyelesaikan transaksi jual beli sayur di pasar.
Para rentenir itu berbalik dan meninggalkan rumah Arjuna, meninggalkan Arjuna sendiri di tengah keheningan.
Arjuna terduduk lemas di lantai, rasa lega bercampur dengan sesak di dadanya. Hutang ayahnya memang sudah lunas, tapi beban baru sudah menanti. Bayangan hutang yang baru saja dia pinjam masih menghantuinya.
Arjuna mengusap wajahnya kas4r. Dia menghela napas kas4r dan meringkuk, menyembunyikan wajahnya di balik lutut yang tertekuk.
Tiba-tiba pintu depan terbuka, beberapa langkah kaki berjalan masuk. Arjuna mendongak, mendapati ibu dan adiknya berjalan beriringan menuju ke tempatnya. Arjuna berdiri, menatap ke arah ibu dan adiknya yang kini ada di hadapannya.
"Bu," Arjuna men-ci-um punggung tangan ibunya, lalu adiknya meraih tangan Arjuna dan men-ci-um punggung tangannya.
"Ibu sama Luna habis dari mana?" tanya Arjuna, matanya bertemu dengan tatapan ibunya.
Ibunya hendak menjawab, namun Luna, adiknya, dengan cepat menyela, "Kita habis dari rumah tetangga, Kak. Anaknya lamaran, jadi kita datang buat memeriahkan. Nih, kita dapet jajanan, buat Kakak juga ada."
Luna menyodorkan sebuah tas kardus berwarna emas kepada Arjuna. Arjuna menerimanya dan membuka sedikit, menyingkap isi tas melalui celah lubang di atasnya.
"Jadi kalian udah makan?" tanya Arjuna, menoleh ke arah ibu dan adiknya bergantian. Ibunya mengangguk, disusul oleh Luna.
"Udah Jun. Tadi di sana kita di kasih makanan. Kamu udah makan belum? tadi ibu udah masak, kamu makan gih kalo belum," kata ibunya hangat.
Arjuna tersenyum, senyum yang manis dan hangat, persis seperti mendiang ayahnya. Senyum itu selalu membuat ibunya teringat suaminya, rindu yang terkadang membuatnya meneteskan air mata.
"Kebetulan belum, Bu," jawab Arjuna, suaranya lembut. "Yaudah, Arjuna ganti baju dulu ya, habis itu langsung makan."
Dia tersenyum lagi, kali ini kearah adiknya yang sedang asyik memainkan ponselnya, kemudian berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Setibanya di sana, dia meletakkan tasnya di atas ranjang, berganti pakaian, lalu keluar kembali menuju ruang makan.
*******
Cahaya melangkah cepat, hampir berlari, memasuki kantornya. Pagi ini, dia terlambat. Meeting di luar kantor, jaraknya lumayan jauh, ditambah lagi dia bangun kesiangan. Udara pagi yang sejuk tak mampu meredakan amarahnya.
Saat memasuki kantor, Cahaya langsung meledak. Suaranya yang lantang bergema di ruangan, menggetarkan dinding dan membuat semua karyawan terdiam. "Kalian semua ngapain?! Meeting sebentar lagi, berkasnya mana?!"
Wajahnya memerah, matanya menyala seperti api, bibirnya yang merah merona itu mengerucut, membentuk garis tegas yang menandakan amarahnya.
Semua karyawan menunduk, tak berani menatap mata bos mereka. Mereka tahu, Cahaya tak main-main. Jika ada yang berani melawan, siap-siap kehilangan pekerjaan.
"Cepat! Siapkan semua berkas! Jangan sampai ada yang kurang!" Cahaya berteriak lagi, tangannya mengepal kuat, menunjuk-nunjuk meja dengan jari telunjuknya yang lentik.
Suasana kantor menegang. Semua karyawan bergerak cepat, tangan mereka gemetar, keringat dingin menetes di kening. Mereka takut, sangat takut pada amarah Cahaya.
Setelah semua berkas siap, salah seorang karyawan wanita mengantar berkas itu ke ruangan Cahaya. Langkahnya perlahan, wajahnya menegang. Dia mengetuk pintu dengan hati-hati, takut terkena semprotan Cahaya.
"Masuk!" kata Cahaya terdengar dingin, tegas seperti biasanya.
Wanita itu melangkah masuk dengan perlahan, matanya menunduk, tak berani menatap Cahaya. Dia berjalan ke meja bosnya dan meletakkan berkas di atas meja, tepat di samping tangan Cahaya yang sedang mengetik di laptop.
Cahaya tak menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik dengan penuh konsentrasi. Wajahnya serius, tak ada secercah senyum.
"Bu, semua berkasnya sudah siap," ucap wanita itu dengan suara bergetar.
Cahaya hanya menjawab singkat, "Iya, terima kasih," tanpa menoleh.
Hening. Hanya suara keyboard yang berdetak pelan yang memecah kesunyian. Wanita itu menatap lurus ke arah bosnya, manik-maniknya berkedip gugup. "Ehm, Bu, saya izin keluar dulu ya, permisi," ucapnya, suaranya masih bergetar.
Cahaya tak menoleh, tak menjawab. Dia masih fokus pada pekerjaannya. Wanita itu pun berbalik dan keluar dari ruangan.
Suasana kantor menjadi sunyi senyap setelah Cahaya marah-marah. Semua karyawan terpaku di tempat, tak berani bergerak. Di ambang pintu, Arjuna menyaksikan pemandangan itu dengan jantung yang berdebar-debar.
Dia baru saja beralih shift, kelas paginya libur, jadi dia bekerja hingga sore. Cahaya yang sedang mengamuk itu membuatnya merinding.
"Hadeuh, serem banget sih Bu Cahaya kalo lagi ngamuk. Kayak singa lagi ngejar zebra. Tapi, cantik juga sih. Wajahnya gemesin, bibirnya merah kayak tomat.
Jadi pengen... eh, ngapain gue ngomongin ini? Udahlah, mending gue ke belakang aja." Arjuna menggumam dalam hati, sambil menggeleng-geleng kepala. Dia melangkah masuk ke belakang, berganti pakaian kerjanya. Hari ini dia harus bekerja hingga sore, setelah itu dia harus kuliah hingga malam.
********
Di kampus, Jasmine duduk termenung di kantin. Suasana siang yang ramai tak mampu mengusir rasa bosannya. Kelasnya sudah selesai dari beberapa menit yang lalu, tapi dia tak ingin langsung pulang. Rumah sepi, Arjuna pun sedang sibuk bekerja, jadi kantin menjadi tempat pelariannya sejenak.
Beberapa temannya sempat menemaninya, tapi mereka sudah pergi. Kini, Jasmine duduk sendirian, menyeruput es teh manis dan memainkan ponselnya.
Seorang pria muda, tampan dan ramah, menghampirinya dan duduk di kursi di hadapannya. "Sendirian aja sih?" tanyanya, mencoba akrab.
Jasmine menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada minumannya. "Kalau iya, emang kenapa?!" tanyanya, nada suaranya terdengar sedikit ketus.
Pria itu terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan respon Jasmine.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments