Bab 7. Tipe Ideal

Sejak semalam, Jasmine bolak-balik antara rumah, kampus, dan rumah sakit. Berbeda dengan Arjuna yang baru memulai kelas sore hingga malam—meski mereka satu jurusan—Jasmine harus berjibaku dengan kelas pagi hari ini.

Perjalanan kampus-rumah-rumah sakit menjadi rutinitas yang melelahkan. Papanya masih belum siuman, dan dokter belum memberikan kabar terbaru.

Dokter terus keluar masuk ruang ICU, namun kabar baik belum juga terdengar. Malam ini, Jasmine kembali duduk di depan ruang ICU, seperti malam sebelumnya.

Ia sendirian, ingin menghubungi Arjuna, tapi sepertinya Arjuna sedang sibuk. Sejak kemarin, Arjuna hanya mengirimkan pesan singkat, yang tak sempat dibalas Jasmine.

Detik-detik terasa berlarut, penuh harap dan cemas. Akhirnya, pintu ruang ICU terbuka, menampakkan sosok dokter dan dua suster. Jasmine, yang sedari tadi menanti dengan gelisah, langsung berlari menghampiri mereka.

"Dok, keadaan papa saya gimana? Baik-baik aja kan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Dokter terlihat menghela nafas panjang, menatap iba Jasmine. "Ibu mbak dimana?" tanya dokter itu kepada Jasmine.

Jasmine langsung kesal mendengar dokter malah bertanya hal lain bukannya menjawab pertanyaannya. 

"Ish, keadaan papa saya gimana dok?! Jawab dulu pertanyaan saya!" Kata Jasmine sedikit ketus. Wajahnya menegang. Dia benar-benar khawatir dengan papanya.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi..." Dokter menjeda ucapannya dan menghela nafas panjang. Setelah beberapa saat terdiam, dokter pun melanjutkan ucapannya. 

"Tapi karena benturan keras di kepalanya, saya mohon maaf, ny4wa bapak Bima tidak bisa kami selamatkan," 

Deg!

Tentu hal itu mengejutkan bagi Jasmine. Setelah mendengar kata-kata dokter, kakinya lemas dan tubuhnya ambruk ke lantai. Air matanya tumpah tak terbendung.

"Nggak. Dokter pasti bohong. Papa saya baik-baik aja kan?! Nggak usah aneh-aneh deh! Nggak lucu tau bercandanya!" Jasmine justru menganggap ucapan itu sebagai lelucon.

Padahal, tidak mungkin seorang dokter bercanda dengan keluarga pasiennya, terlebih dengan ekspresi wajah yang serius seperti itu.

Dokter itu mengerti perasaan Jasmine. "Kami turut berduka cita, Mbak," ucapnya lembut. "Semoga Bapak Bima diterima di sisi-Nya dan diampuni segala dosanya." 

Dokter dan dua suster pun berpamitan, meninggalkan Jasmine yang masih terduduk di lantai. Air matanya tak kunjung berhenti, malah semakin deras.

Dengan langkah gontai, sembari menghapus air matanya Jasmine pun berdiri, membalikkan badannya dan masuk ke ruang ICU, tempat ayahnya terbaring.

Di dalam, ia menemukan papanya tertidur tenang di brankar, selimut putih menutupi tubuhnya hingga kepala, wajahnya tak terlihat. Suasana ruangan terasa hening dan sedikit remang.

Jasmine berjalan menuju ke tempat Papanya. Setelah berada tepat di dekatnya, dia menurunkan kain yang menutupi tubuh papannya, menyingkap wajah Papanya yang pucat pasi. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya.

Dengan tangan gemetar dia menyentuh pipi Papanya yang dingin. Jasmine merunduk, memeluk erat tubuh Papanya.

"Pa... Kenapa Papa pergi ninggalin Jasmine? Papa tau kan Jasmine cuma punya Papa di dunia ini? Kenapa Papa tega ninggalin Jasmine seperti ini? Kenapa, Pa?" tanya Jasmine, air matanya mengalir deras.

Tak lama setelah itu ada beberapa orang suster yang masuk ke dalam ruang ICU, mendekati Jasmine. Salah seorang dari mereka berkata dengan lembut, "Mbak, maaf, jenazah Bapak Bima akan kami pindahkan ke ruang jenazah."

Jasmine mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada sang Papa. "Silakan, Sus," jawabnya lirih.

Para suster membawa jenazah papa Jasmine ke ruang jenazah. Jasmine mengikuti mereka, langkahnya berat.

Setelah jenazah sang Papa terbaring tenang di ruang jenazah, para suster pamit pergi. Jasmine tetap di sana, memeluk erat tubuh sang Papa dan air matanya kembali mengalir.

********

Mobil berhenti di basement Gardenia apartemen, sebuah bangunan mewah yang menjulang tinggi. Cahaya menoleh ke Arjuna.

"Kamu ingat ya Jun, di sini Kamu adalah tunangan saya. Ehm, tunanganku, jadi kamu diem aja dan lakuin apa yang aku perintahkan tadi. Ngerti?!" Nadanya sedikit berbisik, tapi tatapannya tajam. Cahaya berharap Arjuna bisa menjalankan peran ini dengan sempurna, tanpa melakukan kesalahan sedikitpun.

Arjuna menggaruk tengkuknya, sedikit kikuk. "Ehm, iya Bu. Ngerti," jawabnya, suaranya sedikit gemetar. Matanya berkedip-kedip gugup, "Apa gue bisa ngelakuinnya?" gumamnya dalam hati.

Cahaya meraih tangan Arjuna. Dia merasakan tangan Arjuna sangat dingin dan gemetar. Lalu Cahaya tersenyum miring. 

"Kamu nanti jangan panggil saya Bu ya, tapi panggil aku Sayang. Ya udah kita keluar yuk, pasti acara udah dimulai," Cahaya menekan sebuah tombol yang membuat pembatas di mobil itu menurun, juga menekan tombol lain untuk menonaktifkan peredam suara.

"Pak, Saya mau masuk dulu sama Arjuna. Bapak tunggu di sini aja ya," kata Cahaya kepada sopirnya.

Sopir itu mengangguk singkat tanpa menoleh, "Siap, Bu."

Bersama dengan Arjuna, Cahaya keluar dari mobil dan berjalan memasuki gedung apartemen. Suasana hening menyelimuti mereka, tak ada sepatah kata pun terucap.

Keduanya menaiki lift, matanya tertuju pada angka yang berganti di panel. Sesampainya di lantai tujuan, Cahaya menoleh ke Arjuna.

"Lakukan seperti yang kuperintahkan, Jun," bisik Cahaya, tangannya melingkar lembut di lengan Arjuna. Arjuna tersentak, jantungnya berdebar kencang.

Dia belum siap dengan sentvhan mesra Cahaya, tapi dia berusaha tenang. Cahaya membuka pintu dengan kartu aksesnya, dan mereka berdua melangkah masuk. Arjuna memaksakan senyum, berusaha mengabaikan debar jantungnya.

Ruangan itu ramai, penuh dengan orang-orang yang sedang asyik berbincang. Begitu mereka masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka. Arjuna merasa seperti berada di bawah sorot lampu, menjadi pusat perhatian.

Cahaya menarik tangan Arjuna menuju tengah ruangan, tempat sang tuan rumah berdiri. Di sana, mereka disambut hangat oleh seorang wanita dewasa, mungkin seumuran Cahaya.

Wanita itu langsung memeluk Cahaya dan men-ci-um pipi kanan dan kirinya. "Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur dan perusahaanmu makin sukses!" kata Cahaya kepada temannya yang berulang tahun itu.

Temannya atau rekan bisnisnya itu sedikit menjauhkan diri dari Cahaya, tapi senyumnya tetap terukir. "Amin, makasih ya udah datang." katanya sambil tersenyum, lalu menoleh ke samping Cahaya.

Matanya tertuju pada Arjuna yang berdiri di samping Cahaya, dan untuk sesaat dia tampak sedikit bingung. Tapi beberapa saat kemudian, senyumnya merekah dan dia menoleh kembali ke arah Cahaya.

"Cowok ganteng di sampingmu ini siapa?" tanya temannya itu.

Cahaya tersenyum malu, begitupun dengan Arjuna. Lalu Cahaya menjawab. "Dia... Tunanganku, Shin," kata Cahaya kepada Shinta, temannya itu.

Shinta tercengang mendengar ucapan Cahaya. Bagaimana tidak, setelah bercerai dengan suaminya, Cahaya tidak terdengar dekat dengan siapapun.

Tapi hari ini tiba-tiba dia mengenalkan kepada Shinta jika pria tampan di sampingnya itu adalah tunangannya. Bukankah itu sangat mengejutkan?

"Wah, selamat ya! Nggak nyangka loh, kamu udah punya tunangan sekarang. Kok nggak ngasih kabar sih? Hehehe, siapa namanya? Kapan nih rencana nikahnya?" tanya temannya itu.

Cahaya dan Arjuna saling pandang, sama-sama terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa temannya itu akan langsung menanyakan soal pernikahan.

Cahaya menoleh kembali ke arah Shinta. Dengan senyum tipis yang dipaksakan, dia menjawab, "Namanya Arjuna. Kita akan menikah dalam waktu dekat, iya kan Sayang?"

Cahaya kembali menoleh ke arah Arjuna, meminta Arjuna untuk mengiyakan ucapannya. Cahaya juga mengedipkan sebelah matanya kepada Arjuna.

Arjuna awalnya tampak gugup, bingung harus bereaksi seperti apa.

Tapi setelah tahu apa yang harus dilakukan, dia mengusap lembut tangan Cahaya yang melingkar di lengannya, lalu tersenyum hangat ke arahnya. Sebuah senyum tulus yang tidak dibuat-buat.

"Iya Sayang," kata Arjuna singkat, tapi terdengar romantis. Jantung Cahaya berdebar kencang mendengar Arjuna memanggilnya dengan sebutan sayang. Apakah ini pertanda...??

"Selera kamu ternyata brondong ya, Ya. Pantesan aja selama ini nggak kelihatan deket sama siapapun. Eh ternyata selera kamu aja yang kayak gini. Pantesan," sahut temannya sambil terkekeh.

"Ehm, yaudah yuk duduk dulu, acara bentar lagi mau di mulai. Kalian aku ambilin minuman ya?" tawar temannya lagi.

Cahaya mengangguk, senyumnya masih mengembang. "Boleh. Makasih ya, Shin," jawab Cahaya.

Shinta beranjak, mengambilkan minuman untuk Cahaya dan Arjuna. Begitu temannya itu pergi, Cahaya menoleh ke arah Arjuna yang tampak gugup.

Meskipun sudah berusaha bersikap biasa, Arjuna tetap saja merasa gugup dan grogi. Dan Cahaya menyadari itu.

"Kamu kenapa gugup gitu sih? Santai aja dong," kata Cahaya lirih.

Arjuna menoleh ke arah Cahaya, sedikit mendekatkan wajahnya. "Sudah mencoba, tapi tetap gugup Bu," jawabnya.

Cahaya mengerutkan kening, "Cewek yang kamu suka tuh yang kayak gimana sih, Jun?" tanyanya tiba-tiba, membuat Arjuna sedikit terkejut.

"Kayak Jasmine ya?" imbuhnya, wajahnya mendung, matanya tajam. Seolah tak suka dengan pertanyaannya sendiri.

Arjuna terkejut. Bosnya tiba-tiba bertanya demikian. Dengan terbata, Arjuna menjawab. "Yang kayak...Bu Cahaya. I-Ibu adalah tipe ideal saya," jujurnya, takut ucapannya malah membuat Cahaya marah.

Dan benar saja, mata Cahaya langsung membulat. Dia tidak menyangka Arjuna akan mengatakan hal itu. Tipe idealnya? Tidak mungkin! Batin Cahaya.

"Jangan bohong ya, Jun! Saya sudah hampir empat puluh tahun. Sudah punya anak juga. Masa iya tipe idealmu saya? 

Jangan bercanda kamu!" kata Cahaya dengan nada tinggi. Matanya berkilat tajam, namun hatinya berbunga-bunga. Jujur, dia bahagia mengetahui bahwa tipe ideal Arjuna adalah dirinya.

Dengan tatapan mata yang dalam dan entah dari mana dia mendapatkan semua keberanian ini, Arjuna kembali berkata. "Buat saya, cinta itu nggak mandang umur, Bu. Jabatan dan posisi juga nggak penting. Kalau saya mencintai seseorang yang lebih tua dari saya, ya itu hal yang biasa aja. 

Toh, urusan hati kan cuma Tuhan yang tau. Kayak cinta itu sendiri, datangnya nggak bisa diprediksi." kata Arjuna dengan bijak.

Cahaya tak menyangka Arjuna akan sebijak ini dalam menjawab ucapannya. Lalu dengan cepat dia bertanya, "Jadi maksudmu, kamu..."

Cahaya tidak melanjutkan ucapannya. Tapi dia menatap lekat kearah Arjuna, matanya menyipit, seakan ingin membaca isi hati pemuda itu.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!