Malam harinya, suasana tahlilan di rumah Jasmine terasa khidmat. Tetangga berdatangan silih berganti, mengisi ruang tamu yang tak terlalu besar itu.
Doa-doa dilantunkan dengan khusyuk, suara-suara merdu bergema di antara mereka. Jasmine tidak keluar dari kamarnya selama tahlilan berlangsung. Dia terduduk di ranjang, memeluk erat foto sang ayah. Air matanya tak henti mengalir, membasahi wajahnya yang pucat.
Tak lama kemudian, Bibi Kate, dengan lembut, mengetuk pintu kamar Jasmine, menarik kenop pintu dan melangkah masuk. Di tangannya, sepiring makanan dan segelas air putih tergenggam erat. Ia meletakkan hidangan itu di atas nakas, lalu duduk di tepi ranjang, senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Jas, kamu dari sore belum makan, loh. Makan dulu, gih. Nanti istirahat, kayaknya kamu capek banget," kata Bibi Kate lembut, suaranya hangat seperti teh jahe di sore hari. Jasmine menoleh ke arah bibinya, air matanya masih mengalir deras, seperti sungai yang tak pernah kering.
"Aku nggak laper, Bi. Nggak ngantuk juga," sahut Jasmine, suaranya serak karena terus menangis. Bibi Kate menghela napas, menggeleng pelan.
"Kamu harus makan, Jas. Dari sore kamu belum makan, nanti sakit perut kamu. Ayo, makan dulu," bujuk Bibi Kate lembut. Ia mengambil piring yang diletakkan di atas nakas, lalu menyodorkannya kepada Jasmine.
Jasmine masih enggan, tak kunjung meraih piring itu. Bibi Kate pun meletakkan piring itu di atas ranjang. "Kamu jangan gini, Jas. Kamu harus jaga tubuh kamu, kesehatan kamu. Bibi tau kamu lagi sedih, tapi jangan gini juga.
Jangan bikin Papa kamu kecewa karena kamu nggak bisa jaga kesehatanmu dengan baik. Ayo makan, setelah itu tidur," kata Bibi Kate, suaranya penuh kelembutan. Ia menyendok nasi di piring itu, lalu menyodorkannya ke mulut Jasmine.
Awalnya Jasmine masih enggan membuka mulutnya, namun akhirnya ia mengalah. Ia membuka mulut dan mengunyah makanan itu.
Jasmine menelannya, lalu menghabiskan semua makanan di piringnya. Bibi Kate mengambil segelas air di atas nakas, lalu menyodorkannya kepada Jasmine. Jasmine menerima gelas berisi air putih itu dan meneguknya hingga habis. Ia kemudian menyerahkan gelasnya kembali kepada Bibi Kate.
"Kamu jangan sedih-sedih ya sayang. Papa kamu di sana pasti ingin kamu bahagia. Dia nggak suka lihat kamu sedih begini. Ikhlasin ya, jangan terus-terusan dipikirin. Nanti malah jadi sakit," ujar Bibi Kate lembut, tangannya menepuk pelan bahu Jasmine.
"Sekarang istirahat dulu, ya." Bibi Kate mengambil piring dan gelas kosong di atas kasur, meletakkannya di nakas, lalu membantu Jasmine berbaring di ranjang.
Selimut dirapikannya hingga menutupi tubuh Jasmine. Bibinya menunduk, men-ci-um lembut kening Jasmine.
"Bibi keluar dulu ya sayang. Kamu tidur. Nanti setelah selesai beres-beres bibi susul kamu," ujar bibi Kate. Jasmine hanya mengangguk, matanya perlahan terpejam. Bibi Kate pun beranjak, mengambil gelas dan piring di nakas, lalu membawanya ke dapur.
Rumah terasa sepi. Hanya Jasmine yang tertidur di kamar, dan Bibi Kate yang sibuk beres-beres. Para tetangga yang ikut tahlilan sudah pulang satu per satu, dan Arjuna juga terpaksa pamit pulang karena ibunya memaksa. Bibi Kate mencuci tumpukan piring dan gelas, lalu memasukkan sisa makanan ke dalam etalase.
"Ah, lega," des4h Bibi Kate setelah semuanya beres. Piring-piring bersih berkilauan, dan makanan tersimpan rapi. Ia berjalan ke ruang tamu, memastikan tidak ada yang tertinggal. Puas melihat semuanya teratur, Bibi Kate berbalik dan menuju kamar Jasmine.
Dengan perlahan, ia membuka pintu dan masuk. Bibi Kate mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di samping Jasmine yang tertidur pulas. Senyum hangat terukir di wajahnya saat memandangi punggung Jasmine. Bibi Kate memejamkan mata, bersiap untuk tidur.
******
Tujuh hari kemudian...
Tujuh hari sudah berlalu sejak kepergian Papa Jasmine. Tujuh hari pula tahlilan untuknya di rumah Jasmine, dibantu oleh Arjuna dan bibi Kate.
Selama itu bibi Kate tinggal di rumah Jasmine, ingin menemaninya. Tapi setelah acara tujuh harian selesai, ia pamit pulang. Kini, Jasmine sendirian di rumah.
Dia seperti orang linglung. Setiap hari sedih dan menangis. Dia memang jarang ada di rumah selama ini, tapi selama dia di rumah tidak pernah keadaannya sesepi ini.
Hari ini, Jasmine memiliki kelas sore hingga malam, bersama Arjuna yang memiliki jadwal yang sama. Saat ini, Arjuna sedang bekerja.
Jasmine berjalan gontai menuju dapur, tenggorokannya terasa kering kerontang. Dia sangat haus. Di dapur, ia meraih sebuah gelas dari rak dan mengisi penuh gelas itu dengan air dari galon.
Ia meneguknya dengan rakus, hingga setetes pun tak tersisa. Gelas kosong itu ia letakkan di atas meja, lalu berbalik hendak kembali ke kamar.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku celana. Ia mengambilnya, mengerutkan kening saat melihat nomor asing yang tertera di layar. Bukan nomor yang ia kenal. Dengan kerutan di dahi, Jasmine memasukkan kode pin dan membuka pesan tersebut.
Nomor asing itu mengirimkan beberapa pesan dan dua foto.
(Ini anaknya Bu Cahaya ya?)
(Saya mau ngasih tau sesuatu. Buka foto yang saya kirim)
Dengan sedikit ragu, Jasmine membuka foto yang dikirim nomor asing itu. Setelah gambarnya terunduh, matanya membola sempurna.
Di sana, dua sosok yang sangat dikenalnya, duduk berdampingan, tangan mereka bertaut, senyum hangat terukir di wajah mereka. Jarak mereka begitu dekat, membuat Jasmine tercengang. Apa yang terjadi?
"Kok mereka deket banget sih?" tanya Jasmine, matanya masih terpaku pada foto yang dikirim nomor asing itu. Dia memperbesar gambar, mengamati setiap detailnya dengan saksama. Tak lama kemudian, pesan baru berdatangan dari nomor yang sama.
(Besok temui saya di taman raja zebra pada jam sebelas siang. Ada sesuatu yang ingin saya jelaskan kepadamu. Tentang foto itu.)
Itulah pesan terakhir yang dia terima dari nomor asing itu. Setelahnya, tak ada lagi pesan yang datang. Jasmine menatapnya lekat-lekat, berpikir, lalu menutup ponselnya. Besok, dia akan bertemu dengan si pemilik nomor asing itu di Taman Raja Zebra.
*******
Cahaya temaram menerpa ruangan, menyelimuti sofa merah maroon dengan aura lembut. Di atasnya, seorang pria muda duduk memangku seorang wanita yang usianya jauh di atasnya.
Tangannya melingkar erat di pinggangnya, sementara wanita itu balas menyentuh tangannya dengan lembut. Sesekali, pria itu men-ci-um punggung wanita itu yang terbalut jas halus berwarna senada dengan sofa.
"Kamu tau, aku makin jatuh cinta padamu sejak kamu jadi manja begini," ujar wanita itu, suaranya lembut. Si pria tersenyum lantas menjawab,
"Aku jadi begini juga karena kamu. Awalnya, aku gugup banget, takut, bahkan pengen nolak cintamu dan bilang kalau aku nggak punya perasaan sama kamu.
Tapi setelah dipikir-pikir, aku sadar, ternyata aku juga punya perasaan yang sama. Aku menyukaimu, bukan sekedar kagum, tapi suka dalam arti yang lebih dalam. Aku cinta kamu, Bu Cahaya," jawab pria itu, suaranya terdengar hangat dan penuh cinta. Arjuna.
Cahaya tersenyum lebar mendengar ucapan Arjuna, kekasihnya kini. Beberapa hari lalu, Cahaya kembali bertanya kepada Arjuna tentang perasaannya.
Saat itu, Arjuna hanya diam, tak kunjung memberikan jawaban. Hingga akhirnya, dua hari setelah Cahaya bertanya, Arjuna mendatangi ruangan Cahaya dengan sedikit gugup.
Dia mengatakan bahwa dia menerima perasaan Cahaya. Dia bersedia menjadi kekasih Cahaya.
"Jun, aku udah nggak muda lagi. Udah nggak zamannya pacar-pacaran. Kalau kamu siap kita bisa segera melangsungkan pernikahan dan memberitahu Jasmine tentang hubungan kita. Kamu mau kan nikah sama aku?" Cahaya bertanya, senyum manis terukir di bibirnya.
Arjuna terdiam sesaat, sedikit terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. "Sayang," jawabnya kemudian, "Kita baru aja jadian beberapa hari lalu, rasanya masih cepat banget buat kita ngomongin pernikahan sekarang. Aku agak kaget, tapi... aku mau menikah sama kamu."
Cahaya tersenyum lebar, matanya berbinar bahagia. Dia berdiri, berbalik dan menatap Arjuna, lalu duduk di atas pahanya.
Tangannya melingkar di leher Arjuna, sementara Arjuna membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggang Cahaya. Dengan perlahan Cahaya mendekatkan wajahnya, men-ci-um bibir Arjuna dengan lembut.
Arjuna tertegun, matanya terpejam saat Cahaya mencivmnya. Ciu-mannya lembut, menghanyutkan, seperti sentuhan angin sepoi-sepoi di musim semi.
Arjuna merasakan jantungnya berdebar kencang, tubuhnya menegang, namun ada rasa nyaman yang menyelimuti dirinya. Dia membalas ciu-man Cahaya, tangannya terangkat meraih wajah Cahaya, mendekatkannya lebih erat.
Napas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka saling melengkung, tangan-tangan mereka mer4ba satu sama lain dengan penuh gair4h. Kemeja Arjuna sedikit terbuka, memperlihatkan dada bidang yang berkeringat. Jas dan kemeja yang di kenakan Cahaya sedikit melorot, memperlihatkan bahu mulusnya.
Ciu-man mereka semakin dalam, semakin liar, seolah-olah ingin menelan satu sama lain. Mereka berdua terhanyut dalam permainan mereka, melupakan segalanya.
Tiba-tiba, Cahaya mengerang pelan, tangannya mencekram erat lengan Arjuna. "Jun...," bisiknya, suaranya sedikit terengah-engah.
Arjuna terdiam, matanya menatap wajah Cahaya yang memerah. Dia tahu, mereka hampir kelewat batas.
"Jangan dulu ya Sayang, tunggu sampai kita legal," bisik Arjuna, suaranya sedikit gemetar. Dia menarik diri dari pelukan Cahaya, napasnya masih tersengal-sengal.
Cahaya membuka matanya perlahan, tatapannya masih sayu, namun diiringi senyum tipis. "Maaf, Jun. Aku terlalu terbawa suasana," bisiknya, suaranya sedikit serak.
Arjuna tersenyum, mendekatkan wajahnya ke telinga Cahaya. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku juga terbawa suasana," bisiknya lembut.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments