Mata Jasmine melebar bak karung goni saat melihat foto di layar ponsel Elin. Siluet dua orang yang berpelukan dalam foto itu membuat jantungnya berdebar kencang.
Siluet satunya tampak seperti wanita, rambut panjangnya terurai indah dan lekuk tubuhnya yang menawan terlihat jelas.
"Ya, itu Bu Cahaya. Nggak salah lagi, saya yakin banget. Waktu itu saya lagi mau ke belakang, mau minta tolong OB buat bikinin kopi. Eh, pas lewat, saya liat siluetnya.
Lagi duduk di ruang istirahat OB. Nggak tau kenapa beliau di sana, tapi yang jelas, itu Bu Cahaya. Maaf ya kalo kamu harus tau semua ini. Saya nggak bermaksud fitnah Bu Cahaya," ujar wanita itu. Wajahnya terlihat bimbang, antara rasa bersalah dan keyakinan.
Jasmine mendelik ke arah Elin, tatapannya tajam seperti anak panah yang siap melesat. "Pria yang sama mama saya ini siapa?" tanyanya, suaranya dingin dan menuntut.
Elin mengerutkan kening, berpikir. Lalu menjawab. "Kurang tau saya kalo prianya siapa. Tapi yang jelas dia ob. Seragamnya kelihatan tapi wajahnya nggak. Ketutupan sama gelapnya ruangan. Pria itu selalu memalingkan wajahnya jadi saya nggak tau dia siapa."
Jasmine menghela napas. Sepertinya Elin memang tidak tahu. Namun, pikiran Jasmine tetap tertuju pada Arjuna. Perilakunya belakangan ini memang terasa janggal.
"Oke, thanks ya infonya," kata Jasmine singkat. Tatapannya masih tajam, bibirnya masih kaku, tak tersentuh senyum.
Hening menyelimuti mereka berdua. Setelah kata-kata itu terlontar, tak ada lagi percakapan yang tercipta. Elin asyik dengan ponselnya, jari-jari lentiknya menari-nari di layar.
Sementara Jasmine, matanya menjelajahi setiap sudut taman. Keindahan taman yang bersih dan terawat itu perlahan mencairkan hatinya, sebuah senyuman tipis mengembang di bibirnya.
"Wah, nggak nyangka ada taman seindah ini. Selama ini hidup gue kayaknya terlalu kelam, deh, jadi nggak pernah nyadar ada tempat se-feminin ini," gumam Jasmine pelan, senyumnya masih mengembang.
Elin menoleh kearah Jasmine setelah mendengarnya bicara. "Kamu ngomong apa, Jas?" tanyanya.
Jasmine menggeleng, senyumnya perlahan memudar. "Bukan apa-apa," jawabnya singkat. Wajahnya kembali mendung, matanya berkilat tajam, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap.
Elin terpaku menatap Jasmine, pandangannya tak beranjak. "Kamu mirip banget ya sama Bu Cahaya," celetuknya tiba-tiba. Jasmine menoleh, keningnya berkerut, matanya bertanya-tanya.
"Mirip? Dari mana? Kayaknya enggak deh. Jangan ngawur!" Jasmine sedikit meninggikan suaranya, matanya tajam. Jujur, dia kurang suka disamakan dengan mamanya, apalagi soal mirip. Padahal, memang ada kemiripan di antara mereka.
Elin tertawa. "Hahaha ini nih yang bikin kamu makin mirip sama Bu Cahaya. Bu Cahaya kan suka marah-marah, suka membentak, dan ngomong apapun itu nggak disaring dulu. Kita yang karyawannya udah sampai lelah tiap kali kena omelannya," Elin menghela napas, menunduk lelah.
"Ya udah, kalau gitu kenapa nggak resign aja? Cari kerjaan baru, kan gampang. Daripada terus-terusan ngerasa tersik-sa," sahut Jasmine. Benar juga sih sarannya. Jalan satu-satunya memang resign. Cuma, nggak semudah itu. Nggak segampang membalikkan telapak tangan.
Elin mendongak, menatap kearah Jasmine. "Nggak semudah itu, Jas. Nyari kerjaan jaman sekarang itu susah. Mana butuh waktu juga buat diterima. Jadi, daripada malu-maluin di rumah gara-gara nggak ada kerjaan, mending bertahan aja. Toh, cuma di kantor doang kena omel," timpal Elin.
"Gaji disana berapa? Besar nggak? Sepadan nggak sama omelan mama?" tanya Jasmine. Entah kenapa tiba-tiba dia penasaran akan hal itu.
Elin mengerutkan kening, lalu menjawab, "Lumayan lah, sekitar lima jutaan ke atas. Tergantung kinerja kita di kantor. Kenapa nanya gitu? Kamu mau kerja di kantor Mama kamu? Eh, tapi kan kamu anaknya, pasti kamu yang bakal jadi CEO setelah mama kamu," Elin menggeleng sambil menghela napas.
Dia melanjutkan, "Nanti jangan galak-galak ya kalau jadi CEO. Kami udah nggak kuat lagi kena omelan. Cukup sampai Bu Cahaya aja. Kamu jangan ya," pinta wanita di sebelahnya sambil tertawa.
Jasmine mengerutkan kening, terkejut mendengar ucapan Elin. "Hah? Apaan sih, aku nggak mau jadi CEO, aku juga nggak mau kerja di perusahaan mama. Aku mau cari kerja sendiri!" ketusnya, suaranya sedikit meninggi. Dia memalingkan wajah, tak ingin menatap Elin lagi.
Namun, sebuah pertanyaan menggerogoti pikirannya. Jasmine menoleh kembali, mendapati Elin masih menatapnya.
"Ngomong-ngomong, darimana kamu tau nomor aku? Terus, kamu tau aku anaknya Bu Cahaya? Bukannya tadi kamu bilang mamaku nggak pernah publish aku di depan karyawannya?" tanyanya, akhirnya mengutarakan rasa penasaran yang sejak tadi mengusik pikirannya.
Senyum tipis mengembang di bibir Elin. Dia mengangguk, lalu menjawab dengan nada pelan, "Ya, aku dapat nomormu dan identitasmu itu dari..." Elin tidak melanjutkan ucapannya. Pikirannya menerawang jauh ke saat-saat dimana dia mendapatkan nomor dan identitas Jasmine. Itu sangat tidak di sengaja, membuatnya terkejut karena ia mengetahui itu. Sendirian.
********
Di kantor, saat ini sedang istirahat makan siang. Cahaya yang tadinya mengatakan pada karyawannya untuk akan pergi makan siang di luar, segera berlalu pergi dengan mobilnya.
Di sampingnya ada Arjuna. Dia mengajak Arjuna makan siang, membuat karyawan yang melihatnya berbisik-bisik. Cahaya dengan terang terangan mengajaknya di depan mereka.
Kini setelah pembatas dan peredam suara di nyalakan, Cahaya meraih tangan Arjuna dan menyandarkan kepalanya di bahu Arjuna. Arjuna pun balas mengelus-elus rambut Cahaya. Sesekali men-ci-um puncak kepalanya.
"Kamu bohong ya soal umur kamu yang mau kepala empat itu?" tanya Arjuna, nada suaranya sedikit menggoda.
Cahaya mengerutkan keningnya. Lalu menjawab. "Enggak. Aku emang mau umur empat puluh. Emangnya kenapa? kamu keberatan ya kalau pacar kamu ini tante-tante janda anak satu? Apalagi anaknya juga teman kamu lagi."
Arjuna terkejut mendengar nada bicara Cahaya yang terdengar sedih. Dia langsung menegakkan kepala Cahaya yang bersandar di bahunya, membuat Cahaya menatapnya.
Dengan lembut, Arjuna mengecvp bibir Cahaya, lalu beralih ke keningnya. Tangan Arjuna yang besar kemudian mengusap pipi Cahaya dengan lembut.
Arjuna tersenyum manis saat itu. Membuat Cahaya yang tadinya murung pun ikut tersenyum, terlena oleh kehangatan senyum Arjuna.
"Siapa kamu itu nggak penting, yang penting aku mencintai kamu," bisik Arjuna, suaranya lembut dan penuh keyakinan. "Tulus. Mau kamu janda, nenek-nenek, atau apapun, aku nggak peduli. Bagiku umur cuma angka. Cinta nggak mandang umur."
"Kenapa sih tadi kamu nggak bawa mobil sendiri aja, kenapa harus pake supir, kan kalo sendiri bisa lebih bebas?" tanya Arjuna, suaranya sedikit penasaran.
Cahaya menghela napas, "Pengennya sih gitu. Tapi daripada dicurigai cuma berdua di mobil sama kamu, akhirnya aku bawa supir aja buat meyakinkan mereka.
Sebenarnya aku nggak peduli, tapi nggak ada pilihan lain. Untuk sementara ini, aku mau posisi kita aman, sampai akhirnya kita meresmikan hubungan kita."
Tak lama setelah itu tibalah mereka di sebuah restoran mewah nan aesthetic bergaya Eropa kuno di sekitar Jabodetabek.
Mobil Cahaya memasuki parkiran, lantas berhenti di satu titik kosong. Setelah mobil berhenti, pembatas dan peredam suara Cahaya matikan. Dia meraih tasnya.
"Pak, saya masuk dulu ya, bareng Arjuna. Bapak tunggu di sini aja, atau kalau mau makan, ada warteg deket sini. Nggak jauh kok. Saya ada urusan sebentar sama Arjuna," ujar Cahaya dengan nada yang sedikit lebih lembut, namun tetap berwibawa.
Matanya yang tajam, seperti biasa, memancarkan aura dingin. Supirnya menoleh dan mengangguk singkat, "Iya Bu, siap."
Lalu Cahaya dan Arjuna keluar dari mobil, langkah mereka beriringan menuju pintu masuk restoran. Aroma rempah dan kayu manis langsung menyergap indra penciuman mereka, mengisyaratkan hidangan lezat yang menanti di dalam.
Suasana resto yang hangat dan nyaman, dengan cahaya temaram yang menyorot meja-meja berlapis taplak putih, membuat senyuman di bibir Cahaya merekah.
Mereka berdua mencari meja kosong di sudut ruangan, jauh dari keramaian, dan akhirnya menemukan satu meja yang pas untuk mereka berdua. Arjuna menarik kursi untuk Cahaya, lalu duduk di hadapannya.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Cahaya sambil membuka menu. Arjuna melirik menu yang dipegang Cahaya, lalu tersenyum. "Aku terserah kamu aja," jawabnya. Cahaya mengangguk dan mulai memesan makanan.
"Aku mau pasta carbonara, sama salad. Kamu?" tanya Cahaya. "Aku steak aja, medium well," jawab Arjuna.
Pelayan yang datang mencatat pesanan mereka, lalu pergi. Cahaya dan Arjuna kembali terdiam. Suasana di restoran yang ramai dan musik klasik yang mengalun lembut membuat mereka semakin nyaman.
"Aku seneng banget bisa makan siang bareng kamu kayak gini, rasanya jauh lebih enak daripada cuma makan sendirian," kata Cahaya sambil tersenyum. Arjuna membalas senyuman Cahaya. "Aku juga. Kita kayak lagi nge-date," jawabnya. Cahaya terkekeh. "Iya ya, kayak lagi nge-date," jawabnya.
Mereka kembali terdiam, menikmati suasana dan menunggu pesanan mereka. Arjuna sesekali melirik Cahaya yang sedang memainkan ponselnya. Cahaya menyadari tatapan Arjuna, lalu menoleh dan tersenyum.
"Kenapa?" tanya Cahaya. "Nggak apa-apa, cuma ngeliatin kamu aja," jawab Arjuna. Cahaya tertawa. "Kamu ngeliatin aku terus?" tanya Cahaya. Arjuna mengangguk. "Iya, aku suka ngeliatin kamu," jawabnya.
Cahaya menunduk, pipinya memerah. "Ish, kamu mah, jadi malu aku," kata Cahaya. Arjuna tertawa. "Kenapa malu? Aku kan lagi ngeliatin pacar aku," jawabnya.
Sejenak kemudian, pelayan mendekat, membawa pesanan mereka. "Silakan dinikmati, Pak, Bu," ujarnya ramah, meletakkan hidangan di atas meja. Arjuna dan Cahaya mengangguk sebagai tanda terima kasih, sementara pelayan itu berbalik dan menghilang di antara keramaian resto.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments