"Dia mirip sekali dengan putriku," gumamnya pelan, masih berdiri diam di depan pintu rumah Jasmine. "Cantik, manis, dan... dingin." Senyum yang sempat menghiasi bibirnya kini sirna, tergantikan oleh ekspresi datar yang sulit diartikan.
Andrew berbalik, merasa sudah cukup lama berdiri di sana. Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Jasmine. Setelah masuk, ia melajukan mobilnya, meninggalkan rumah itu di belakang.
Di dalam rumah, Jasmine masih berdiri di dekat jendela, memandangi kepergian teman papanya. Ia merasakan kebaikan dalam diri pria itu, namun tetap saja, sulit baginya untuk akrab dengan orang asing, terlebih lagi yang baru saja dikenalnya.
Huufftt...
Setelah helaan nafas keluar dari hidungnya, Jasmine berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Tasnya diletakkan dengan k4sar di bawah ranjang, sebelum ia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk. Sejenak dia terdiam menatap lurus ke arah langit-langit ruangan. Lalu ia menutup matanya dan tertidur.
*********
"Apa... Jasmine nggak pernah nanya ke kamu soal aku? Dia nggak pernah nanyain kondisiku ke kamu ya? Tiba-tiba aja aku kangen sama Jasmine. Udah semingguan lebih nggak lihat dia," ujar Cahaya, suaranya sedikit bergetar. Pandangannya sendu, raut wajahnya tampak muram.
Arjuna mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Cahaya. "Bukannya kamu sama Jasmine udah lama nggak ketemu? Kayak bertahun-tahun gitu? Seminggu yang lalu kan baru ketemu lagi setelah sekian lama. Kok tiba-tiba kamu ngomong gitu?" tanya Arjuna, heran.
Cahaya menatap Arjuna tajam, sorot matanya seakan menvsuk. "Jasmine kan anakku. Masa nggak boleh sih aku kangen sama anakku sendiri?!" tanyanya dengan nada sedikit meninggi.
Arjuna tersenyum miring, "Baru nyadar ya kamu kalo Jasmine itu anakmu? Selama bertahun-tahun kamu ke mana? Kamu nggak pernah nyariin dia kan?
Aku sama Jasmine udah kenal lama dan semenjak saat itu dia nggak pernah bahas soal kamu ke aku. Dia bahkan nggak pernah bilang kalau dia rindu sama mamanya."
Kata-kata Arjuna membuat Cahaya terhenyak dan langsung terdiam seribu bahasa. Dia seperti kalah telak. Ingin rasanya dia membantah, tapi semua yang dikatakan Arjuna adalah kebenaran.
Selama bertahun-tahun, bahkan sebelum dia berpisah dengan almarhum Papa Jasmine, dia memang jarang meluangkan waktu untuk Jasmine. Kesibukannya dengan bisnisnya membuat dia mengabaikan keluarga, termasuk Jasmine.
"Aku kangen sama anakku Jun. Aku kangen sama Jasmine. Dia... mau maafin aku nggak ya?" Tiba-tiba saja suara Cahaya terdengar bergetar, matanya berkaca-kaca. Apakah dia benar-benar menyesal?
Arjuna mengernyit, "Kamu serius mau minta maaf? Beneran menyesal?" tanyanya, matanya menyipit, namun di balik itu tersembunyi senyum tipis. Dia senang Cahaya mau meminta maaf.
Cahaya mengangguk, mimik wajahnya menunjukkan kesungguhan. "Aku serius Jun. Dulu, aku memang nggak begitu dekat sama Jasmine karena kesibukan. Terus, aku juga tipe orang yang agak galak, suka marah-marah dan segala macem.
Aku sadar, aku ini orangnya agak temperamen, susah diatur, dan suka ngatur. Tapi setelah Mas Bima meni-nggal, baru deh aku sadar. Sekarang Jasmine cuma punya aku. Dia nggak punya siapa-siapa lagi.
Jadi, sebelum terlambat, aku mau minta maaf sama Jasmine dan membujuknya untuk mau pulang lagi ke rumah. Kamu mau bantuin aku kan Jun?" Cahaya mengakhiri kalimatnya dengan nada memohon, berharap Arjuna mau membantunya.
Arjuna menyimak ucapan Cahaya dengan saksama, matanya menangkap raut wajah penuh harap yang terpancar dari kekasihnya itu. Setelah Cahaya selesai berbicara, Arjuna menjawab, "Jadi, kamu mau aku bantu ngebujuk Jasmine untuk mau maafin kamu?"
Cahaya menggeleng pelan, "Bukan, Jun. Aku mau minta tolong kamu untuk bujukin Jasmine agar mau pergi ke restoran yang udah aku booking buat dinner kita berdua. Di sana, aku mau ngobrol sama dia dan minta maaf. Kamu mau bantuin aku untuk itu kan? Aku sangat berharap Jasmine mau maafin aku," kata Cahaya penuh harap.
"Aku bantuin kok, tenang aja. Ngomong-ngomong kapan kamu mau ketemuan sama Jasmine?" tanya Arjuna kemudian.
"Ehm, belum tau lagi aku, kapan mau ketemuannya. Lagi sibuk banget sama kerjaan aku akhir-akhir ini, jadi belum bisa ngatur tanggalnya. Tapi yang pasti aku bakal ketemuan sama Jasmine," jawab Cahaya.
Arjuna mengangguk lalu menimpali. "Kalau saran aku sih nggak usah lama-lama ya. Segera dicepatkan, nanti aku bantuin bujukin Jasmine buat mau datang," kata Arjuna.
Dia pun menambahkan. "Kamu... Beneran menyesal kan? Aku harap kamu nggak akan mengecewakan Jasmine. Aku suka sedih kalau lihat dia. Dia itu sekarang sendirian di rumah.
Nggak ada yang nafkahi dia, ataupun nemenin dia. Jadi dengan kamu minta maaf, semoga dia mau maafin kamu. Meskipun itu rasanya agak susah. Jasmine marah sama kamu."
Cahaya menghela nafas, dia tahu jika Jasmine marah kepadanya dan sedikit susah baginya untuk mendapatkan Maaf Jasmine. Tapi keputusannya sudah bulat. Dia akan tetap meminta maaf.
"Aku akan tetap meminta maaf. Meskipun nanti nggak tau Jasmine mau maafin aku atau enggak tapi setidaknya aku udah berusaha. Jun, kak Kate nggak nemenin Jasmine lagi? Bukannya sejak awal kak Kate nemenin Jasmine ya?" tanya Cahaya kemudian.
Arjuna menggeleng, "Awalnya Tante Kate emang nemenin Jasmine. Dia nginep di rumah Jasmine selama seminggu, sampai acara tujuh harian selesai. Setelah itu, Tante Kate pulang ke rumahnya."
Cahaya lagi-lagi menghela nafas. "Dia punya anak dan suami. Ngurusin Jasmine kayak gini tentu menambah bebannya."
Arjuna penasaran, "Tante Kate dan kamu dulu awal berantemnya karena apa?"
Cahaya terdiam sejenak, pikirannya melayang ke masa lalu. "Karena kesibukanku. Dulu, aku nggak pernah punya waktu untuk keluarga, bahkan untuk anakku sendiri." Cahaya tersenyum getir, menertawakan kebodohannya sendiri yang telah mengabaikan keluarganya demi kesibukan semata.
**********
"Jasmine ..."
"Jas ..."
"Papa kangen ..."
"Kangen kamu ..."
"Ikut papa yuk, ikut papa ..."
"Kita tinggal di tempat yang jauh. Kamu dan papa ..."
"Jasmine ..."
"Ayo ..."
"Ikut papa ..."
"Ikut papa, Jasmine ..."
Di tempat yang gelap gulita, kosong dan sunyi, Jasmine berdiri terpaku. Tak ada satu pun cahaya yang menembus kegelapan, tak ada satu pun suara yang memecah kesunyian.
Ia menutup kedua telinganya dengan tangan, berusaha menghalau suara-suara yang menggema di kepalanya. Suara Papanya. Suara yang terasa begitu nyata, begitu dekat, namun tak terlihat. Suara itu nyaring, penuh emosi, dan tersendat-sendat.
"Argh, papa... Jasmine di sini!" teriaknya, suaranya terengah-engah. Suara Papanya terus bergema, berulang kali, seakan ingin menuntunnya, ingin mengajaknya pergi. Telinga Jasmine berdengung, kepalanya terasa berputar.
"Ikut papa ..."
Suara itu kembali bergema, tapi tak ada sosok yang menyapa matanya. Kegelapan menyelimuti segalanya, hanya detak jantungnya yang bergema di telinga, beriringan dengan panggilan sang papa yang tak kunjung padam.
Rasanya seperti terperangkap dalam jaring tak kasat mata, kegelapan seakan ingin mengurungnya, menahan setiap langkahnya untuk melangkah maju.
"Ikut papa, sayang..."
Dengan segenap keberanian, Jasmine mencoba melangkah maju, hanya untuk merasakan kakinya terjebak dalam sesuatu yang tak terlihat. Dia berusaha berteriak lagi, tetapi suaranya seakan lenyap ditelan kegelapan.
"Papa ... Jasmine di sini papa! Jasmine di sini!"
Ia mencoba untuk tidak panik, mengingat kenangan indah bersama papanya. Suara lembut dan pelukan hangat, semua itu terasa begitu jauh. Dalam kegelapan, Jasmine merasakan kehadiran yang hangat, seolah-olah papanya selalu ada di sampingnya, meski tak terlihat.
Tiba-tiba, suara papanya kembali menggema, lebih dekat dan lebih jelas. "Jasmine, sayang... Ikut papa, ayo..."
Jasmine tersentak, nafasnya memburu, jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan sentuhan lembut di pipinya, seperti belaian angin sepoi-sepoi.
"Papa...," gumamnya, suara terengah-engah. Ia mencoba meraih tangan yang menyentuh pipinya, tetapi hanya menemukan udara kosong.
"Jasmine, sayang... Ikut papa," suara itu kembali berbisik, kali ini lebih jelas, lebih nyata. Jasmine merasakan hawa hangat menyelimuti tubuhnya, seperti pelukan hangat papanya.
Ia membuka matanya lebar-lebar, mencoba melihat sumber suara itu, tetapi hanya kegelapan yang menyapa matanya.
"Papa... Papa dimana?" tanya Jasmine, suaranya bergetar. Ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tangannya, seperti sebuah benda halus. Ia meraihnya, dan terkejut menemukan sebuah bunga mawar putih yang harum.
"Papa selalu bersamamu, sayang," suara itu berbisik lembut. Jasmine merasakan air mata mengalir di pipinya, membasahi bunga mawar putih di tangannya. "Papa...," lirihnya, suaranya bercampur dengan isak tangis.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments