Bab 8. Sebatas Mengagumi

Tatapan Arjuna dan Cahaya saling bertaut, dalam dan lekat. Arjuna menarik napas panjang, suara baritonnya terdengar berat saat dia berkata. Jujur, dia gugup.

Takut ucapannya akan menyinggung Bu Cahaya, membuatnya marah. Ingatan akan sikap bosnya yang kerap meledak-ledak di kantor, membuat Arjuna sedikit gentar.

"Saya suka perempuan yang lebih tua dari saya," ujar Arjuna, senyum tipis mengembang di bibirnya. Cahaya yang duduk di hadapannya terkesiap. 

"Maksudnya, kalau menikah nanti, saya ingin pasangan saya lebih tua dari saya. Bukan lebih muda atau seumuran," tambah Arjuna menjelaskan, seolah membaca pikiran Cahaya.

Cahaya memang terkejut. Dia tak menyangka Arjuna akan mengatakan hal itu. Sejujurnya, dia mengira Arjuna menyukai Jasmine. Mereka selalu bersama, pergi kemana-mana berdua, bahkan Cahaya sempat menduga mereka sudah resmi berpacaran.

Tapi ternyata??

"Hah? Kenapa harus lebih tua dari kamu?" tanya Cahaya, matanya membulat karena terkejut.

Arjuna kembali tersenyum. Bosnya yang berubah lembut dan tidak galak seperti biasanya membuatnya senang. Entah kenapa dia merasa nyaman berbicara dengan bosnya yang seperti ini.

"Saya ingin pasangan saya itu lebih dewasa dari saya, Bu. Jadi kalau saya salah, dia bisa memberi saya nasihat dan menegur saya. Saya nggak terlalu suka yang lebay atau manja, lebih suka yang mandiri, pekerja keras, dan punya mimpi tinggi. 

Pokoknya, saya suka orang yang berpikiran dewasa, seperti Ibu. Walaupun kadang Ibu kelihatan galak, hehe, tapi Ibu panutan saya banget. Bahkan, saya sadar kalau Bu Cahaya itu tipe ideal saya. 

Saya menginginkan istri yang seperti Ibu. Meskipun lebih tua dari saya, bagi saya nggak masalah. Toh, umur cuma angka, kan? Nggak penting. Yang penting ada cinta, itu udah cukup," ujar Arjuna panjang lebar.

Cahaya tercengang. Dia tidak percaya Arjuna dapat berbicara sejujur itu. Dalam hati, dia tersenyum, bahagia karena ternyata dia tipe ideal Arjuna. Tapi, dia masih penasaran.

"Kamu ... suka sama ..." Cahaya tidak melanjutkan ucapannya. Dia ragu dengan pertanyaannya sendiri.  Tapi penasaran juga.

Arjuna terdiam sejenak, matanya menunduk, seperti sedang berpikir. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat wajahnya dan menatap Cahaya.

"Saya suka sama—" Ucapan Arjuna terhenti saat Shinta, teman Cahaya yang tadi berulang tahun, tiba-tiba datang ke meja mereka. Di tangannya, Shinta membawa dua gelas minuman berwarna hijau dan merah.

"Eh, maaf ya, tadi lama. Ada beberapa rekan bisnis aku yang dateng, jadi aku ngelayanin mereka bentar. Nih minumannya, kalian minum dulu," ujar temannya itu sambil meletakkan gelas minuman di atas meja dan menyodorkannya kepada Cahaya dan Arjuna.

Arjuna tersenyum canggung ke Shinta. Berbeda dengan Cahaya yang terlihat kesal karena kedatangan Shinta, Arjuna jadi tidak melanjutkan ucapannya. Dia masih sangat penasaran dengan perempuan yang disuka Arjuna itu.

"Makasih, Shin," ucap Cahaya sambil meraih gelasnya. Dia meneguk minumannya sampai tinggal setengah gelas, lalu meletakkan gelas itu kembali di atas meja.

"Ya, aku ke sana bentar ya, kerabatku udah pada datang nih. Aku mau nyapa mereka dulu. Kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, bentar lagi acara bakal dimulai kok. Aku ke sana ya. 

Oh iya, kalau kalian mau nyicip-nyicip makanan, meja konsumsi ada di sebelah utara, loh," kata Shinta sambil menunjuk ke arah utara tempat meja konsumsi berada. Setelah itu, dia berbalik dan pergi dari sana.

Cahaya dan Arjuna hanya tersenyum menanggapi ucapan Shinta. Setelah Shinta pergi, Cahaya kembali menoleh ke arah Arjuna. "Jun, lanjutin ucapanmu yang tadi," pinta Cahaya, matanya berkilat tajam. Dia sangat penasaran.

Arjuna sedikit terkejut mendengar bosnya menyuruhnya melanjutkan ucapannya yang tadi terpotong. Dia menghela napas, jantungnya berdebar kencang.

Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan ucapannya, menatap Cahaya. "Saya suka sama Bu Cahaya. Atau mungkin bisa dibilang kagum. Saya kagum dengan cara Ibu bekerja dan bagaimana Ibu memimpin perusahaan Ibu dengan baik selama ini. 

Saya menyadari kalau jadi CEO itu nggak mudah, tapi Bu Cahaya mampu melakukannya dengan baik hingga perusahaan ini bisa sebesar sekarang. Saya bangga dengan Ibu," ujar Arjuna.

Cahaya mengerutkan kening, kesal. Awalnya dia yakin Arjuna menyukainya, tapi sekarang dia kecewa. Apakah Arjuna hanya sebatas mengaguminya?

Cahaya menatap Arjuna tajam. Seakan tidak percaya dengan ucapannya. "Kamu hanya sebatas mengagumi saya saja, tidak ada perasaan lain?" tanya Cahaya. Arjuna terkejut mendengar pertanyaan bosnya itu.

Dengan sedikit terbata, dia menjawab. "Memangnya apa yang harus saya lakukan, Bu? Bu Cahaya kan bos saya di kantor. Saya cuma mengagumi Ibu. Nggak lebih. Memangnya perasaan apa yang Bu Cahaya maksud?" 

Arjuna mengerutkan keningnya. Dalam hati, dia berpikir hal lain soal bosnya. Tapi sebisa mungkin dia menepis perasaan itu.

Kesabaran Cahaya akhirnya habis. Arjuna terlalu berputar-putar, terlalu bertele-tele untuknya. Dia, yang terkenal tidak sabar, langsung menukas dengan tajam.

Tatapan matanya menvsvk, seperti biasanya. "Kamu suka sama saya kan Jun? Jujur aja, nggak usah berbelit-belit gitu!" sergahnya, suaranya meninggi.

**********

Jasmine menelepon bibinya, Kate, dengan suara bergetar. Ia memohon bantuan untuk mengurus kepulangan jena-zah Papanya dan mengurus pemakamannya.

Setelah percakapan panjang, Kate mematikan panggilan dan berjanji akan segera datang ke rumah sakit.

Jasmine menunggu di depan pintu rumah sakit. Beberapa menit berlalu, sebuah taksi berhenti di depan pintu. Kate keluar dari taksi, wajahnya pucat dan panik.

Ia berlari kecil menghampiri Jasmine, matanya berkaca-kaca. Kate datang sendirian, tanpa ditemani siapapun.

"Jas, ini gimana ceritanya? Kok Papa kamu bisa tiba-tiba meni-nggal? Apa yang terjadi?" tanya Kate, suaranya sedikit khawatir saat dia berdiri tepat di depan Jasmine.

Jasmine hanya bisa menggeleng lemah. Matanya masih sembab, bekas tangisan yang tak terhitung jumlahnya. Air mata kembali menetes dari sudut matanya.

"Nanti aku ceritain, Bi. Sekarang bibi bantu aku ya urus jena-zah Papa. Aku nggak punya siapapun lagi, Bi. Papa udah ninggalin aku. Bibi mau bantu aku kan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar menahan tangis.

Bibinya tersenyum dan mengangguk. "Tanpa kamu minta pun bibi pasti akan membantu kamu. Ngomong-ngomong kamu udah ngabarin Mama kamu soal papa kamu yang meni-nggal? 

Dia harus tau juga loh, meskipun nggak tau dia bakal datang atau nggak. Kamu udah ngabarin dia?" 

Jasmine menggeleng. Sejak kemarin, dia tidak memainkan ponselnya atau menghubungi siapapun. Hanya mengecek pesan dari Arjuna, setelah itu dia langsung mem4tikan ponselnya sampai hari ini dia menghubungi bibinya.

"Males ah Bi kalau harus ngabarin Mama mah. Pasti Mama nggak peduli. Bibi kan tau Mama kayak gimana orangnya. Mama itu nggak pernah peduli sama keluarganya. 

Jadi percuma aja ngabarin mama. Lebih baik kita urusin Papa berdua aja. Nggak usah libatin Mama," kata Jasmine, suaranya terdengar kesal.

"Ya udah iya terserah kamu aja deh. Kita urusin kepulangan Papa kamu dulu ya. Habis itu, kita urusin takziah sama pemakamannya. 

Kamu mau Papa kamu dimakamin malam ini juga, atau nunggu besok pagi? Bibi nginep di rumah kamu ya, bantu-bantu kamu. 

Tadi Bibi udah bilang sama suami sama anak Bibi soal Papa kamu yang meni-nggal. Besok pagi mereka bakal ke sini," kata Bibinya, sambil tersenyum dan mengangguk. Dia meraih tangan Jasmine dan menggenggamnya erat.

Perlahan dia mengulurkan tangannya, mengusap air mata yang mengalir di pipi Jasmine.

"Besok pagi aja Bi, nunggu terang. Malam ini biar Papa diinapkan dulu di rumah. Sekalian aku mau nemenin Papa untuk yang terakhir kali sebelum dimakamkan. 

Makasih ya, Bi, udah mau bantuin aku. Kalau nggak ada Bibi, aku nggak tau harus gimana. Mungkin aku bakal keteteran ngurus semuanya sendiri. Makasih sekali lagi," ujar Jasmine, suaranya lembut. Dia mendekat dan memeluk erat bibinya. Bibinya pun membalas pelukan Jasmine, menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.

"Sama-sama, Jas. Ayo, kita urus sekarang, mumpung belum terlalu malam. Jena-zah papa kamu ada di mana?" tanya bibinya lagi.

Jasmine mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. "Di ruang jena-zah, Bi. Ayo, kita urus sekarang. Aku juga udah capek banget, pengen istirahat. Dari kemarin bolak-balik ke sini, rumah, dan kampus. Rasanya lelah banget, pengen segera tidur. 

Ayo, Bi," ajaknya, lalu mengajak bibinya masuk ke rumah sakit untuk mengurus kepulangan jenazah papanya dan menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit.

Jasmine dan bibinya, Kate, berjalan menuju ruang jena-zah. Sepanjang jalan, Jasmine menceritakan kejadian yang menimpa Papanya.

Dia bercerita tentang bagaimana Papanya mengalami sebuah kecela-kaan tunggal dan meninggal du-nia di rumah sakit. Kate mendengarkan dengan saksama, sesekali mengusap air mata Jasmine.

Di ruang jena-zah, Jasmine dan Kate bertemu dengan petugas rumah sakit. Mereka mengurus administrasi kepulangan jena-zah dan membayar semua biaya rumah sakit.

Setelah semua urusan selesai, mereka membawa jena-zah Papa Jasmine keluar dari rumah sakit.

Jasmine dan Kate membawa jena-zah Papa Jasmine ke rumah menggunakan mobil ambulans. Sesampainya di rumah, mereka langsung menata jena-zah Papa Jasmine di ruang tamu.

Jasmine duduk di samping jena-zah Papanya, memandangi wajahnya dengan penuh kesedihan. Dia teringat akan semua kenangan indah bersama Papanya.

"Pa ... maafin Jasmine ya. Jasmine nggak bisa jagain Papa. Jasmine sayang Papa," lirih Jasmine sambil men-ci-um kening Papanya.

Kate duduk di samping Jasmine, mengelus punggungnya dengan lembut. "Tenang ya Jas, Papa kamu pasti tenang di sana. Dia pasti bahagia melihat kamu kuat."

Jasmine mengangguk, meskipun air matanya masih terus mengalir. Dia tahu bahwa Papanya pasti akan selalu ada di hatinya, meskipun dia sudah ti4da.

"Jas, kamu mau makan dulu? Bibi bikinin makanan ya," kata Kate.

Jasmine menggeleng. "Bi, Jasmine mau nemenin Papa dulu. Nanti aja kalau Jasmine laper."

Kate mengangguk mengerti. Dia membiarkan Jasmine menemani papanya, lalu berbalik dan melangkah menuju dapur. Di sana, dia ingin membuatkan Jasmine makanan.

Meskipun Jasmine mengatakan tidak ingin makan, dia tetap ingin membuatkannya. Jasmine terlihat lemas, dia pasti sangat lapar.

Bersambung ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!