"Galak banget sih, nanti cantiknya ilang loh kalo galak-galak," goda pria itu, berusaha menggombali Jasmine dengan nada ringan. Namun, Jasmine yang sudah terlanjur dingin dan sikapnya yang pemarah tidak juga menggubris gombalan itu. Malah, ia semakin kesal mendengar gombalan manis yang terkesan mvrahan.
Jasmine memalingkan wajahnya ke arah pria itu, tatapan matanya tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. "Lebih baik Lo pergi deh dari sini," kata Jasmine, suaranya terdengar s4rkastik, "Gue lagi males berantem."
Senyum miring menghiasi wajah pria itu. Benar kata orang, Jasmine memang cantik, tapi aura tajam yang terpancar dari dirinya seolah memperingatkan, 'Jangan coba-coba.'
Pria ini semakin tertantang. Ia hendak meraih tangan Jasmine yang tergeletak di atas meja, tapi Jasmine yang menyadari itu segera menarik tangannya, menghindari sentvhan yang tak diinginkan. Tatapannya, tajam dan menvsvk, tertuju pada pria itu, seakan ingin memb4k4rnya dengan tatapannya.
"Mau tangan Lo gue pat4hin, hah?!" Ketusnya. Jasmine menatap tajam, suaranya berdesis tajam. Pria itu justru tertawa, suara tawanya bergema di ruangan yang sepi, mengingat para mahasiswa lain sedang ada kelas. Dia menggelengkan kepalanya, seolah tak peduli pada anc4man Jasmine.
"Ish, kej4m banget sih, tapi aku suka," kata pria itu lagi. Dia tersenyum lebar ke arah Jasmine, mencoba menarik perhatian wanita itu. Namun Jasmine hanya membalasnya dengan tatapan mata yang dingin, seolah menatap sesuatu yang men-jij-ik-kan.
"Lo tuh sebenarnya siapa sih? gue nggak kenal ya sama Lo dan nggak mau kenal juga. Jadi, pergi, nggak usah sok akrab! Gombalan lo itu mur4h4n banget, bikin gue pengen muntah!" Jasmine mengibaskan tangannya, matanya tajam menatap pria itu.
Pria itu terdiam, matanya melebar karena terkejut. Senyumnya yang tadinya merekah, kini memudar, digantikan oleh ekspresi yang sulit diartikan.
"Kenalin, namaku Sakti," ujar pria itu sambil mengulurkan tangannya, "Anak manajemen perkantoran."
Jasmine masih menatapnya dengan tatapan tajam, tak bergeming. "Nggak peduli," jawabnya singkat, dagunya sedikit terangkat. "Sekarang pergi, gue mau sendiri!"
Sakti menarik kembali tangannya, sedikit tertegun. "Hmm, oke," gumamnya pelan, "Kayaknya gue udah bisa nebak sih. Tapi... gil4, nih cewek," batinnya, sekaligus merasa penasaran dengan perempuan yang begitu berani dan tak kenal takut itu.
"Ya udah aku pergi dulu ya...bye," Sakti bangkit berdiri, melambaikan tangannya ke arah Jasmine. Jasmine, yang tidak peduli, tetap sibuk memainkan ponselnya. Men scroll akun media sosial mamanya. Mengecek dan melihat apa saja yang mamanya posting selama ini.
Sebenarnya, meskipun sudah tidak lagi tinggal bersama dan putus hubungan. Jasmine masih aktif memantau kehidupan mamanya melalui akun media sosial. Ia juga sesekali menanyakan kabar mamanya kepada Arjuna. Meskipun itu hanya saat di kantor saja.
Jasmine terus menelusuri postingan Mamanya di aplikasi ungu, jari-jarinya bergerak lincah di layar. Senyum tipis mengembang di bibirnya saat matanya menangkap foto Mamanya yang sedang berpose sendirian di depan gedung perkantoran mewah.
Mamanya sangat cantik di foto itu, aura kecantikannya tak lekang oleh waktu, bahkan di usia yang sudah mendekati kepala empat.
Dulu, Mamanya memang rajin merawat diri, baik dengan perawatan kecantikan yang mahal maupun olahraga rutin. Jasmine masih ingat, Mamanya pernah menghabiskan ratusan juta untuk perawatan, bahkan berganti-ganti tempat perawatan demi mendapatkan hasil terbaik.
Senyum Jasmine melebar saat melihat foto Mamanya yang tersenyum, senyum yang begitu mirip dengannya. Seakan-akan ada cerminan dirinya di sana.
Namun, senyum itu perlahan memudar saat jari-jarinya terus menelusuri postingan Mamanya. Sebuah foto yang baru saja muncul di layar membuat keningnya berkerut.
"Mama mau nikah lagi? Sama brondong? Wah, seriusan? Siapa brondongnya? Kok gue nggak tau?" tanya Jasmine, matanya terpaku pada foto pemandangan laut yang diunggah mamanya di media sosial.
Foto itu tampak biasa saja, tapi caption di bawahnya yang menggunakan bahasa Inggris, lengkap dengan tombol translate, membuat Jasmine tercengang.
"Pria kecil itu lama-lama membuatku penasaran. Dia sangat sopan dan juga tampan. Sepertinya aku suka kepadanya, aku ingin menikahinya. Tapi apakah itu mungkin? Selama ini aku kej4m kepadanya. Dia pasti takut kepadaku."
Jasmine penasaran siapa pria muda yang sedang diincar mamanya. Dia sempat menduga kalau pria itu salah satu karyawan di kantor mamanya. Tapi melihat sikap tegas, bahkan sedikit galak, mamanya kepada para karyawannya, Jasmine jadi ragu.
Mana mungkin mamanya jatuh hati pada salah satu dari mereka? Mungkinkah Arjuna tahu sesuatu? Pikiran itu berputar-putar di kepala Jasmine.
"Hmm, siapa ya pria ini? Apa Arjuna kenal?" gumam Jasmine, matanya masih terpaku pada postingan Mamanya.
Sejenak, ia terlarut dalam dunia maya, hingga menyadari sudah terlalu lama asyik berselancar di media sosial. Dengan sedikit gelengan kepala, ia menutup aplikasi dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Ah, sudahlah," gumamnya, bangkit dari duduknya. Jasmine memutuskan untuk akan pergi ke sebuah tempat hiburan favoritnya, yang di sana banyak para muda-mudi berkumpul, menari, dan melupakan sejenak beban hidup mereka. Tempat itu, tanpa Arjuna.
*********
Arjuna tak sengaja lewat di depan ruangan Bu Cahaya, dia hendak menuju ke ruangan lain dengan membawa sebuah nampan berisi secangkir kopi panas.
Saat melewati pintu ruangan Bu Cahaya yang sedikit terbuka, matanya tak sengaja menangkap siluet bosnya yang sedang duduk dan mengerjakan sesuatu di laptop miliknya.
Arjuna menghentikan langkahnya, matanya tertuju pada sosok Bu Cahaya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, "Kenapa gue baru sadar sekarang ya kalau Bu Cahaya itu cantik banget?" gumamnya dalam hati, "Padahal udah sebulan lebih kerja di sini, sering juga lihat beliau. Tapi kok baru sekarang terpesona?"
Pandangannya beralih ke wajah Bu Cahaya, "Bibirnya manis, rambutnya lurus, dan... yah, beliau memang sempurna." Arjuna menggeleng pelan, "Astaga, Jun, apa yang lu pikirin? Bisa-bisanya mikir kayak gitu ke bos sendiri?"
Segera ia menggelengkan kepalanya, menepis pikiran-pikiran itu, lalu kembali melangkah menuju ruangan lain untuk mengantarkan minuman.
********
Sementara itu di sudut b4r yang remang-remang, tempat hiburan favoritnya, Jasmine bersandar dengan nyaman. Rambut hitamnya dikuncir rapi di belakang, dan jaket kulit hitamnya yang pas di tubuhnya seolah menjadi baju besinya.
Aroma alk0hol dan parfum bercampur menjadi satu, menciptakan aroma khas tempat hiburan ma-lam. Dia meneguk minumannya, cairan berwarna gelap yang terasa pan-as di tenggorokannya.
Sejak kedatangannya, beberapa pasang mata telah menempel padanya. Tatapan-tatapan memvja, penuh nafsv, dan sedikit men-jij-ik-kan.
Jasmine tidak menghiraukannya. Dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti itu. Dia adalah bunga yang mekar di tengah padang pasir, menarik perhatian para pengembara yang haus akan keindahan.
"Minumanmu habis, sayang?"
Suara itu muncul dari belakangnya, rendah dan berbisik. Jasmine menoleh, dan matanya bertemu dengan mata pria itu. Matanya gelap, seperti malam tanpa bintang, dan tatapannya tajam, men-us-uk.
"Lo siapa?" tanya Jasmine, suaranya dingin, seperti es yang baru dihancvrkan.
"Aku hanya ingin menawarkanmu minuman," jawab pria itu, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Jangan khawatir, aku tidak akan menggigit."
"Gue nggak butuh minuman dari Lo," jawab Jasmine, matanya tidak lepas dari mata pria itu. "Dan gue juga nggak butuh Lo. Minggir, sebelum gue us-ir pake kaki."
"Kau begitu ka-sar, sayang," kata pria itu, suaranya sedikit meninggi. "Aku hanya ingin berteman."
"Gue nggak butuh teman," jawab Jasmine, matanya menyipit. "Dan gue nggak percaya sama cowok yang tiba-tiba deketin gue di bar."
"Kau salah menilai, sayang," jawab pria itu, suaranya semakin dingin. "Aku bisa menjadi teman yang baik, jika kau mau."
"Gue nggak mau," jawab Jasmine, suaranya tajam seperti pisav. "Sekarang pergilah!"
Pria itu terdiam sejenak, matanya menatap Jasmine dengan intens. Kemudian, dia tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti bisikan angin malam.
"Kau memang menarik, sayang," kata pria itu, suaranya penuh teka-teki. "Aku akan kembali."
Pria itu berbalik dan menghilang di antara kerumunan. Jasmine duduk di tempatnya, matanya masih menatap pintu keluar. Dia bisa merasakan tatapan pria itu masih menempel padanya, meskipun dia sudah menghilang.
"Ck, dasar cowok aneh!" desis Jasmine, menggelengkan kepala dengan ji-jik. Minumannya diteguk habis dalam sekali tarikan napas, lalu gelasnya dilempar ke meja dengan ka-sar.
Jaket kulitnya dirapikan, dan dengan tatapan tajam yang menusuk, ia melangkah keluar dari b4r. Tidak ada tempat untuk pria-pria br3ngs3k seperti itu di dunianya.
Langkah kakinya baru saja mencapai trotoar, tiba-tiba pria yang tadi mendatanginya di dalam b4r muncul di hadapannya. Kali ini, ia tidak sendiri. Dua orang temannya berdiri di sampingnya.
Ketiganya membentuk lingkaran kecil, mencoba mengepung Jasmine. Tatapan Jasmine dingin dan tajam, seperti pisav yang siap men-us-uk.
"Hay cantik, aku kembali," kata pria itu dengan senyum lebar yang terasa men-jij-ik-kan. Tangannya mer4ba-r4ba, berusaha menyentvh Jasmine.
"Jangan berani-berani sentvh gue, bre-ng-sek!" Jasmine menepis tangan pria itu dengan k4sar, suaranya berdesis penuh amarah. "Ba-ng-st, minggir lo semua!"
"Lo pikir gue takut sama lo semua?" Jasmine mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Gue bisa bikin lo semua babak belvr!"
"Lo pikir bisa ngelawan kami bertiga?" Salah satu teman pria itu mengejek, mendekati Jasmine dengan langkah meng4nc4m.
"Coba aja," Jasmine mencibir, "Gue bakal tunjukin apa artinya ner4ka!"
Ketiga pria itu terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Jasmine. Mereka tidak menyangka wanita itu akan melawan.
"Lo pikir bisa ngelawan kami?" Pria pertama itu kembali mengejek, "Lo cuma cewek le-m-ah!"
"Le-mah?" Jasmine tertawa mengejek, "Gue bakal bikin lo semua nyesel ngomong kayak gitu!"
Tanpa aba-aba, Jasmine melayangkan pvkvlan ke arah pria pertama. Pukvlannya tepat mengenai rahang pria itu, menjatuhkannya ke tanah. Dua temannya yang lain terkejut, mereka tidak menyangka Jasmine akan meny3rang.
"Si4lan!" teriak pria kedua, bersiap menyerang. Namun, Jasmine lebih cepat. Ia men3ndang perut pria itu dengan keras, menjatuhkannya ke tanah dengan meringis kesakitan.
"Lo pikir bisa ngelawan gue, bre-ng-sek?" Jasmine menunjuk ke arah pria ketiga, yang masih tercengang melihat ser4ngannya. "Gue udah ngasih kesempatan, tapi lo malah ng-ejek gue. Sekarang, rasain!"
Jasmine men3rjang pria itu, menghujani pvkulan dan t3ndangan ke arahnya. Pria itu terhuyung-huyung, mencoba menghindar, tetapi Jasmine terlalu cepat dan kuat.
"Gue bakal bikin lo semua mend3rita!" Jasmine berteriak, suaranya penuh amarah. "Gue bakal bikin lo semua nyesel pernah ng-ejek gue!"
Ia terus meny3rang, tanpa henti. Pukvlannya mengenai rahang, perut, dada, dan kepala. Pria itu meringis kesakitan, mencoba melindungi dirinya, tetapi Jasmine terlalu kuat.
"Lo pikir gue takut sama lo?" Jasmine berbisik di telinga pria itu, suaranya dingin dan penuh anc4man. "Gue bakal bikin lo semua ngg4k bisa j4lan lagi!"
Ia men3nd4ng kaki pria itu dengan sekuat tenaga, mengh4ncvrkan tulang keringnya. Pria itu menjerit kesakitan, jatuh terduduk di tanah.
"Sekarang, giliran lo!" Jasmine menunjuk ke arah dua temannya yang lain, yang masih tergeletak di tanah, meri-ntih kesakitan. "Gue bakal bikin lo semua hancvr!"
Ia berlari ke arah mereka, siap m3nghaj4r mereka dengan brvtal. Ia tidak akan berhenti sebelum mereka benar-benar hancvr.
Namun, sebelum ia benar-benar bisa melakukannya, pintu bar terbuka dan segerombolan orang berhamburan keluar, mengepung mereka. Teriakan pria itu telah mengundang perhatian para pengunjung b4r.
"Hei, apa-apaan ini?" teriak salah satu pengunjung. "Kenapa lo mvkul orang?"
"Dia yang mulai duluan!" Jasmine berteriak balik, "Mereka ng-ejek gue, nga-ncem gue, dan nyentvh-nyentvh gue!"
"Coba lo lihat sendiri!" Jasmine menunjuk ke arah ketiga pria yang tergeletak di tanah, "Mereka yang salah!"
"Coba tenang dulu!" salah satu pengunjung mencoba menengahi. "Kita urus ini dengan baik-baik."
"Baik-baik?" Jasmine mencibir, "Lo pikir gue bakal diem aja? Gue nggak akan terima perlakuan mereka!"
"Tenang, tenang!" salah satu pengunjung mencoba menenangkan Jasmine. "Kita urus ini dengan cara yang benar."
"Oke, gue mau dengar apa yang mau lo bilang!" Jasmine berkata, suaranya masih bergetar karena amarah.
"Kita bawa ini ke kantor polisi!" saran salah satu pengunjung. "Biar polisi yang menyelesaikan masalah ini."
"Bagus!" Jasmine menyeringai, "Gue setuju! Gue bakal ngelaporin ini sebagai kasus pel3ceh4n. Biar mereka bertiga sama-sama mend-ekam di penjara!"
Para pengunjung bar berbisik-bisik, mengobrol tentang apa yang baru saja terjadi. Mereka tidak menyangka akan melihat perkel4hian seperti itu di bar ini.
Pria yang tadi dihant-am Jasmine mengerang kesakitan, mencoba berdiri. "Lo bakal nyesel, cewek!" ancamnya.
"Nyesel?" Jasmine tertawa mengejek, "Gue nggak takut sama lo!"
"Gue bakal lapor polisi!" ancam pria itu.
"Silakan!" Jasmine mencibir, "Gue tunggu!"
Para pengunjung bar mulai berpencar, meninggalkan Jasmine dan ketiga pria itu.
"Lo harus bertanggung jawab atas luka-luka mereka!" salah satu pengunjung berteriak sebelum pergi.
"Gue nggak peduli!" Jasmine berteriak balik, "Mereka yang salah!"
Jasmine menatap ketiga pria itu dengan dingin, "Gue nggak akan pernah menyesal!"
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan ketiga pria itu tergeletak di tanah, meri-ntih kesakitan.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments