Seminggu berlalu sejak kejadian itu, aku sempat khawatir dengan suasana kerja di kantor. Apalagi saat ini aku diminta untuk bekerja sama dengan Hendra Wijaya terkait salah satu novelnya yang akan diadaptasi menjadi web series di Netfl*x. Mereka menginginkan alur cerita misteri romantis, aku bahkan belum pernah membaca karyanya, yang membuatku terkejut, justru Hendra Wijaya berkata bahwa aku adalah novelis favoritnya.
"Saya mengoleksi novel Bu Aruni awal debut sampai sekarang, itu juga yang memotivasi saya untuk menjadi seorang novelis.." ucapnya saat berada di ruangan meeting.
"Wah, sebuah kebanggaan bagi saya jika Pak Hendra menyukai novel saya. Saya masih belajar, belum sebagus yang anda kira..!" kataku merendah.
Aku memang tidak begitu mengikuti beberapa karya novelis terkenal lainnya. Namun aku tahu siapa saja novelis hebat yang lahir dari perusahaan penerbit ini.
Aku pikir Hendra Wijaya tidak akan membahas masalah seminggu yang lalu, namun aku salah.
"Apa yang membuat Bu Aruni menjalani hubungan cinta beda usia seperti sekarang?" tanyanya tiba-tiba.
Aku yang sedari tadi fokus dengan laptop di depanku seketika berhenti.
"Apa ini ada kaitannya dengan tema film yang akan diproduksi?" tanyaku balik. Baru kali ini Hendra Wijaya bertanya seperti ini.
"Kurang lebih begitu, saya bukan ahli cerita romansa, perlu improvisasi dalam alur cerita kali ini, kisah cinta yang biasa terlalu monoton.." jawabnya tanpa ekspresi.
Aku menutup laptopku perlahan, entah kenapa sepertinya dia menyindir hubunganku dengan Sandykala.
"Bahkan alur cinta saya secara pribadi pun tidak seindah seperti cerita yang saya tulis. Usia selalu menjadi alasan bahwa pelaku cinta harus mencari yang usianya setara, jika lelakinya lebih tua, dianggap hal biasa, namun jika wanitanya lebih tua, seringnya dianggap gila.." jawabku sekenanya.
Raut wajahnya berubah, aku menyadari itu. Suasananya menjadi tidak nyaman, tapi lagi-lagi aku tidak boleh terbawa dalam perasaan.
"Saya tidak berpikiran demikian, karena menurut saya, kalau suka, usia bukan kendala.." katanya sedikit melunak, rupanya menyadari ketidaknyamananku.
Aku menghela nafas panjang, apa ini ada kaitannya dengan adiknya? Wajar jika kakak berpihak kepada adiknya, yang sedang patah hati. Aku pikir setelah lepas dari Robin, aku merasakan kebahagiaan yang selama ini aku cari.
Aku mendengar suara langkah kaki menuju ke ruangan ini. Jihan masuk sembari membawakan kami kopi.
"Sepertinya kalian berdua terlibat pembicaraan yang serius, aku belikan es americano kesukaanmu, dan Caramel machiato panas untuk Pak Hendra.." Jihan meletakkannya di hadapan kami masing-masing.
"Terima kasih Ji, kami hanya membicarakan kolaborasi cerita yang akan kami rancang.."jawabku, Jihan menyadari raut wajahku.
"Iyah, sebentar lagi waktu makan siang, aku akan menunggumu di ruanganku, mari Pak Hendra!" pamit Jihan, dia keluar dan mengelus pundakku pelan.
"Tidak usah terlalu kamu pikirkan..!" bisiknya pelan.
"Maaf waktu itu saya tidak sempat membalas pesan anda, saya juga berniat meminta maaf karena sudah merusak momen kebersamaan adik anda..!" kataku memecah keheningan.
"Jujur saya memang terkejut saat itu. Tapi, adik saya masih belasan tahun. Tepatnya 17 tahun satu minggu lagi, dia terlampau dimanja oleh orang tua saya, jadi apapun keinginannya, harus terkabulkan!"
Hendra melepas kacamatanya, aku baru kali ini melihatnya tanpa kacamata. Sorot matanya teduh, namun terlihat sendu.Saat beradu pandang denganku wajahnya mendadak bersemu merah.
"Anggap saja dia anak kecil Bu Aruni, dia harus berlatih lapang dada, karena kali ini keinginannya tidak bisa dia dapatkan!" Dia meminum minumannya perlahan.
"Yah, mereka berlima memang masih anak kecil, tak terkecuali Sandykala..!" ucapku. "Sandy bukan barang, saya harap adik anda bisa memahami itu.." kataku, aku melangkah keluar ruangan.
...*****...
Padahal sama-sama di ruangan ber-AC namun aku merasa lega setelah keluar dari ruangan tersebut. Aku lantas menuju ke ruangan Jihan, sepertinya dia menungguku untuk makan siang. Wanita berwajah ayu itu sedang bermain dengan ponselnya ketika aku masuk ke ruangannya.
"Sekarang?" tanyaku, waktu menunjukkan 12.15, diapun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku.
"Ayolah, aku sudah lapar, jangan lupa habiskan kopimu itu!" suruhnya, karena dilihatnya kopiku masih setengah lebih isinya.
"Aku taruh pantry dulu ya, sayang kalau tidak langsung habis!" jawabku. Aku bergegas ke arah pantry.
Lima menit kemudian kami menuju ke luar gedung, kami putuskan untuk makan di luar. Menu di kantin karyawan hari ini sebenarnya enak. Hanya saja aku ingin mencoba restoran yang dua minggu kemarin buka buka. Western food yang banyak disukai para pekerja asing untuk makan siang.
"Lumayan lah, untuk makan siang ini sedikit lebih mahal, aku harus ngajak Adit kapan-kapan, dia kan hobi kulineran.."Katanya.
"Sini aja Ji!" pintaku, aku suka duduk di tempat yang belum terlalu ramai.
"Pesanlah menu andalan di sini, aku malas baca soalnya!" Jihan menyerahkan buku menu kepadaku.
"Kami mau Fish and Chips, minumnya cola saja, terima kasih!"kataku kepada pelayan. Dia pun mencatat dan memastikan kembali menu yang aku pesan.
"Apa Pak Hendra menyindirmu?" jihan membuka percakapan.
"Entah menyindir entah serius tentang tema film kali ini.."jawabku menggantung. Jihan mengeluarkan ponselnya dan memotretku.
"Lihatlah, biasanya wajah ini ceria, kenapa mendadak jadi tak bergairah?" katanya sambil memamerkan hasil fotonya kepadaku.
"Benar, seluruh gairahku lenyap, sepertinya aku harus mendapatkan asupan vitamin dari seseorang!" kilahku, Jihan tersenyum, dia tahu siapa yang aku maksud.
"Hari ini bukannya hari terakhir dia ujian? Pasti waktu senggangnya lebih banyak kan? Jimmy bahkan sudah pesan tiket untuk liburan ke Jawa Timur, dia dan teman-temannya mau ke Bromo.." kata Jihan. Matanya tak henti-hentinya melihat sekeliling.
"Sepertinya makanannya lumayan enak, banyak yang memesan sama seperti kita.." ucapnya lagi.
"Aku tidak bisa mengambil cuti kali ini. Apalagi aku sedang ada project dengan Pak Hendra. Kalau Sandy ingin liburan dengan teman-temannya, aku sih tidak masalah.."kataku. Anak itu sudah jenuh belajar selama ini,harusnya aku membiarkan dia bersenang-senang dengan teman-teman seusianya.
"Dia kelihatannya lebih senang bersamamu daripada dengan teman-temannya.." kata Jihan, tapi memang kenyataannya begitu. Aku sampai memintanya untuk pergi ke tempat Kevin atau Steve, tapi jawabannya sama "Mereka palingan ke tempat clubbing, aku tidak suka.."
"Lihatlah senyuman itu, energimu sudah terisi separuh ya?" ucap Jihan,dia melihatku tersenyum sambil menatap ponsel. Aku sengaja memperlihatkan foto Sandy yang barusan dia kirim.
"Lihatlah! Sepertinya aku yang tergila-gila dengannya, apa aku sakit jiwa?" tanyaku kepada Jihan. Aku seakan tidak bisa bernafas jika tak mendengar suara atau melihat wajahnya.
"Yah, dia sedang ranum-ranumnya..hehehe!" goda Jihan.
"Kenapa perkataanmu seakan menyiratkan aku penyuka daun muda?" kataku sambil menjitak kepala Jihan.
"Awww, sakit! Kan memang penyuka daun muda!" jawabnya emosi.
" Iya juga sih, ini cinta Jihan, Cinta itu Buta!" belaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments