"Kayaknya ini jalan menuju puncak deh..!" batinku. Masa iya main ngajakin ke puncak nie anak,emang kita udah ada ikatan? Wait, berasa aku yang nunggu ditembak ama dia.
"Aku mau ngajakin kamu ke tempat spesial. Itu tempat yang sering aku kunjungi sewaktu mamaku masih hidup.Jangan takut aku tidak akan kayak kemarin..!" ucapnya, sepertinya dia sadar dengan apa yang aku pikirkan.
"Masih jauh kalo gitu?" tanyaku sok kalem.
"Enggak sampai puncak kok, kalo sampai sana bisa-bisa tengah malam ntar.."
Selang setengah jam, sampailah kami di sebuah resto bernuansa pedesaan. Gemericik air sungai menambah syahdu suasananya. Saat mau turun pun Sandykala membukakan pintu untukku.Hal yang tidak pernah Robin lakukan kepadaku. Aku jadi membanding-bandingkan perlakuan Robin dan Sandy. Umur mereka justru terpaut 12 tahun, tapi perlakuan Sandy terlihat begitu manly dan dewasa.
"Wah, aku baru pertama kali ke tempat seperti ini.."ucapku kagum.
"Kamu suka? Aku pikir kamu lebih suka gemerlap kota dibandingkan suasana desa kayak gini..!" ucapnya, digandengnya tanganku untuk masuk.
"Aku justru suka kok, tapi jarang ada anak muda kaya kamu suka tempat kayak gini. Bukannya kamu suka clubbing juga sama kaya Jimmy?" tanyaku heran.
Dia tersenyum simpul.
"Yah, sesekali aja kok, aku juga ikutan buat akrab sama anak-anak yang lain. Tapi ke depannya aku gak ikutan lagi kayaknya..!" ucapnya tiba-tiba.
"Kenapa?udah kapok?" ledekku.
"Kapok sih enggak, cuman kalo udah ada kamu, ngapain aku ikutan clubbing..!" jawabnya santai.
"Maksud kamu?" Aku tiba-tiba terkejut dengan perkataannya.
"Mendingan sama kamu aja, aku kalau lagi berdua sama kamu kayak gini, udah bahagia. Gak tahu kenapa..!" katanya, tangannya pun meraih tanganku. Jemarinya yang panjang, terlihat cantik, ditambah otot-otot di pergelangan tangannya yang terlihat menonjol, makin membuatku grogi. Kok bisa anak sekolahan seperti dia ini punya badan begitu kekar dan padat. Apakah hobi olah raganya setiap hari atau memang dia sengaja melatih badannya agar terlihat manly. Pikiranku yang biasanya bisa fokus, sejak bersama dia, berubah menjadi sedikit vulgar.
"Sedari tadi godain orang tua mulu kamu!" ucapku. Pesanan yang sedari tadi dipesan pun sudah tersedia di meja.
"Ngapain juga aku godain kamu. Yah,cukup masuk akal juga kalau kamu curiga. Karena aku anak bau kencur yang sekolah aja belum kelar..!" bibirnya mengerucut, tanda kalau dia tidak senang.
"Seperti yang kamu tahu kan, aku ini wanita dewasa, aku saja baru selesai putus cinta. Jadi kan wajar kalau aku khawatir bakalan gagal lagi.." jelasku. Sorot matanya selalu menatapku saat aku sedang bicara. Terlihat ketulusan di sana.
"Iyah,aku paham kok. Aku tidak akan buru-buru. Kita kan juga harus saling mengenal satu sama lain. Dan aku harap,aku tahu dari kamu, bukan dari orang lain.." katanya, diapun menyodorkan coklat panas yang terhidang di hadapanku.
"Aku hanya punya kakak perempuan sebagai keluargaku. Namanya Hanna, Hanna Paramitha. Sekarang tinggal di pinggiran kota, bersama suaminya, Bagaskara dan dua anaknya, Danis dan Dinda. Aku bahagia kakakku mendapatkan suami dan keluarga baru yang bersedia menerima kondisi kakakku. Kami bukan orang berada, kakakku mati-matian bekerja agar aku bisa kuliah, dan aku bisa bertahan sampai sekarang, karena dia..!" Aku meminum sedikit coklat panas di tanganku. Aromanya menenangkan, sedikit aku menatap Sandykala, tangannya masih erat memegang tanganku.
"Apa orang tua kamu sudah meninggal semua?"
"Yah, Ayahku yang meninggal pertama kali saat aku masih di bangku sekolah dasar, lalu disusul ibuku tidak lama setelah itu. Kondisi serba kekurangan waktu itu yang membuat keluargaku dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Sampai sekarang, akupun enggan kembali ke kampung halaman. Karena itu begitu aku selesai sekolah. Aku dan kakak pindah ke kota ini.."
"Mamaku adalah seorang istri muda, istri kedua papaku.."ujarnya tiba-tiba.
Aku merasakan genggaman tangannya semakin kuat, ada rasa sakit yang menjalar.
"Istri kedua?" tanyaku meyakinkan.
"Iyah, dan aku baru tahu saat mamaku meninggal dunia. Karena istri pertama papa datang bersama anak laki-lakinya.."
"Apakah mereka menerimamu?" Aku khawatir dengan ceritanya.
"Justru aku awalnya yang tidak menerima. Tapi, Ibu dan kakak begitu baik dan tulus menerimaku. Sejak saat itu, ada rasa bersalah yang teramat besar yang aku rasakan.." matanya berkaca-kaca.
"Mereka memperlakukan kamu dengan baik kan?"
"Iya, Ibu tidak pernah membeda-bedakan antara aku dan kakak. Kasih sayang mereka terkadang membebaniku. Terlebih saat mengetahui bahwa mamaku menjadi istri muda. Mama ternyata adalah asisten pribadi Ibu semasa hidup. Karena Ibu tinggal di luar negeri, sementara papa di sini, Ibu meminta asisten pribadinya untuk menemani dan mengawasi papa. Tapi, entah kenapa tiba-tiba Ibu meminta Papa dan Mama untuk menikah, agar tidak menjadi bahan gosip di kalangan keluarga.."
"Kenapa mama kamu bersedia menikah?"
"Karena Mama sangat menghormati dan menyayangi Ibu, Ibu adalah orang yang berjasa bagi mama.." ucapnya dengan penuh penekanan. Tak terasa air matanya menetes di matanya yang indah.
"Cukup..kamu tidak perlu melanjutkan lagi ceritamu..!" pintaku, aku menyeka air matanya. Buliran hangat itu menetes lembut di tanganku.
"Selama ini aku memilih tinggal di sini, karena aku takut kehadiranku hanya sebagai aib bagi keluarga besar papa dan ibu.."tangisnya makin pilu. Akupun berpindah posisi,aku duduk di sebelahnya. Tangisnya membuat badannya bergetar hebat.
"Cukup Sandy! Jangan begitu..!" kataku, akupun memeluknya erat. Sungguh di balik tingkahnya yang kadang kekanakan, dia harus dewasa karena keadaan.
"Aku tidak pantas mendapat kasih sayang dari mereka .aku takut jika suatu saat Papa, Ibu dan kakak tiba-tiba membenci dan meninggalkanku..!" tangisnya penuh kesedihan.
"Aku tidak akan meninggalkan kamu Sandy! Tidak akan pernah! Kamu punya aku sekarang!" Kataku menenangkannya.
Aku biarkan dia menangis di pelukanku. Persetan pandangan pengunjung lain. Mungkin mereka pikir kami pasangan yang sedang bertengkar. Ya Tuhan, skenario hidup apa lagi ini. Di saat aku lepas dari si Brengsek Robin, sekarang aku terjerat cinta remaja tampan yang hidupnya lebih rumit dari hidupku. Cukup lama dia menangis, mungkin bajuku sudah basah oleh air matanya.
"Kamu sudah tenang?" tanyaku memastikan. Akupun membelai kepalanya pelan.
Perlahan wajahnya terlihat, wajah tampannya memerah, rambutnya terlihat berantakan, tapi anehnya dia tetap terlihat menawan.
"Maaf ya, baru kali ini aku cerita tentang keluargaku.." jawabnya sedikit manyun.
"It's ok, aku senang kamu mau berbagi cerita. Meskipun kita baru dua hari kenal. Cerita kamu cukup membuatku terkejut. Tapi aku percaya, dibalik setiap kejadian, pasti ada hikmah yang bisa kita ambil.."kataku. Aku mengusap air matanya.
"Aku benar-benar suka sama kamu. Aku jatuh cinta sama kamu..!" katanya tiba-tiba. Dan sebuah kecupan manis, dia daratkan ke bibirku.
"Kenapa tidak bilang dulu kalau mau cium?"
"Harus bilang ya?" tanyanya balik.
Akupun hanya mengangguk pelan, dan tanpa rasa malu, akupun menciumnya balik dengan penuh rasa bahagia.
"Nah, kalo gini kita impas ya!" selorohku sambil mengelus bibir tipisnya. Diapun terkejut dengan aksiku barusan.
"Kamu berani ya! Ini kan di tempat umum!" katanya pelan.
"Aku lupa, gara-gara kamu sih!" kataku, akupun melihat sekeliling. Nampak hanya ada beberapa pengunjung yang ada di dekat kami. Dan untungnya tidak ada yang menyadari kejadian yang kami lakukan tadi.
"Sepertinya mereka tidak sadar dengan apa yang terjadi barusan.Mau diulangi lagi?" godanya.
"Heiii..kamu! Aku jitak ya!" kataku, aku refleks memeluknya, pelukan terbaik yang aku bisa.
"Terima kasih ya. Aku bahagia bisa bertemu dengan kamu!" ucapnya.
"Akupun bahagia bertemu dengan kamu!" balasku.
"Aku cinta kamu Aruni!" ucapnya lagi, penuh keyakinan.
"Kamu yakin?" tanyaku lagi.
"Iyah, aku cinta kamu!" ucapnya lagi.
"Tapi aku udah tua, aku wanita berusia 28 tahun lo.." godaku.
"Mau kamu 58 tahun pun, aku tetap cinta kamu!" jawabnya tegas, pelukannya semakin erat.
"Baiklah anak kecil, nona cantik ini juga cinta kamu!" balasku cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments