Terpaksa Menikah Dengan Pria Kejam
Wiu-wiu-wiu-wiu-wiu-wiu-wiu-wiu-wiu-wiu.
Suara Ambulance yang terdengar begitu menakutkan yang berhenti di depan rumah sakit Fatmawati. Pintu Ambulance yang langsung terbuka dengan beberapa perawat yang turun dari dalam memindahkan pasien dari dalam tersebut ke atas bangkar yang dibawa beberapa suster.
Tampak seorang bocah laki-laki yang terus mengeluarkan darah dari hidungnya. Laki-laki itu ditemani seorang wanita yang tampak begitu cemas. Pakaiannya yang kucel yang seolah sudah tidak peduli lagi dengan seperti apa dirinya atau bagaimana tanggapan orang-orang lain terhadapnya.
"Nando, kamu harus bertahan!" ucapnya terisak dengan terus menggenggam tangan adiknya itu dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
Langkah wanita yang bernama Adara itu sama cepatnya dengan para suster yang langsung membawa pasien ke ruang UGD untuk mendapatkan pertolongan.
"Maaf, Nona! silakan untuk menunggu di luar!" Suster menghalang Adara masuk dan ingin menutup pintu.
"Tapi! Suster adik saya bagaimana?" tanya Adara panik.
"Kami akan memeriksanya. Jadi tolong berikan akses untuk kami dan silahkan menunggu di luar!" jawab Suster sembari menutup pintu dan Adara tidak bisa masuk yang hanya menggenggam kedua tangannya yang terlihat semakin cemas.
"Kamu pasti kuat Nando! Kamu akan kuat," ucapnya dengan linangan air matanya yang semakin membanjiri pipi putih mulus itu.
Setelah beberapa menit Dokter keluar dari ruang UGD.
"Adik saya bagaimana?" tanya Adara panik.
"Nona Adara kondisi adik Anda semakin memburuk. Kami harus melakukan operasi sumsum tulang belakang secepatnya."
Ucapan Dokter membuat gadis berpakaian kucel itu lemas seketika. Air mata jatuh membasahi pipinya yang tampak pucat. Jantungnya yang ingin melompat dari tempatnya.
Sesaat yang lalu, adiknya mengalami kecelakaan hingga langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Masih jelas dalam benak Adara bagaimana tubuh Nando—adiknya yang berusia 10 tahun—berlumuran darah dan tidak sadarkan diri.
Adara yang saat itu masih bekerja harus meninggalkan pekerjaannya yang ingin mengetahui kondisi adiknya.
"O-operasi, Dokter?" sahut Adara terbata. Pikirannya langsung kalut. "kalau memang operasi bisa menyelamatkan nyawa adik saya, maka lakukan saja, Dokter!”
Namun, pria berjubah putih itu menggeleng samar. “Anda harus menyelesaikan biayanya terlebih dahulu, Nona.”
“Biaya…” ujar Adara membeku.
"Operasi baru bisa dilaksanakan, ketika seluruh administrasi telah diselesaikan!" Dokter berkacamata memberikan penjelasan singkat yang memang sudah menjadi ketentuan di rumah sakit itu.
Matanya yang berair mengerjap beberapa kali. “Be-berapa banyak biaya yang dibutuhkan, Dokter?" tanyanya harap-harap cemas. Ia tak memiliki banyak uang dalam tabungannya saat ini.
"Untuk donor sendiri kami masih harus mencari yang cocok dan pasti dengan biaya yang cukup mahal. Untuk operasi pasien membutuhkan biaya 130 juta. Tapi itu baru operasi saja, belum yang lainnya. Nona Adara bisa tanyakan pada kasir, berapa jumlah kelengkapan semua biaya yang dibutuhkan," jawab Dokter.
Deg!
Bagai disambar petir, tubuh Adara seketika menjadi kaku. Kakinya gemetar kehilangan daya. Jumlah uang sebanyak itu … dari mana ia mendapatkannya?
"Nona Adara, jika kita tidak melakukan operasi secepatnya, saya khawatir kondisi adik Anda tidak bisa diselamatkan," ujar Dokter, menarik atensi gadis muda di hadapannya.
"Dokter, kalau begitu cepat lakukan operasi pada adik saya. Saya berjanji akan membayar biaya pengobatan itu secepatnya!" ucap Adara dengan bibir bergetar.
Terbayang dalam benak kondisi adiknya yang sedang sekarat, berjuang untuk tetap hidup. Adara tidak sanggup membayangkan kehilangan satu-satunya keluarga tersisa yang dia punya.
"Maaf Nona, operasi akan dilanjutkan jika biayanya sudah dibayarkan dan semua prosedur sudah dijalankan," jelas Dokter yang membuat harapan itu pupus.
"Tolong beri saya waktu, Dokter, saya janji akan membayar secepatnya. Tolong selamatkan nyawa adik saya!" pinta Adara putus asa. Wajahnya sudah basah bersimbah air mata.
Dokter itu tampak bersimpati. Namun, ia tak bisa melakukan apapun. "Maaf Nona, kami tetap tidak bisa melakukannya karena itu sudah kebijakan di rumah sakit ini. Silakan urus biaya administrasi terlebih dahulu agar operasi bisa dijalankan," jelasnya sekali lagi, lalu pergi meninggalkan Adara yang tercengang di tempatnya berdiri.
"Dokter..." lirih Adara. Hatinya benar-benar nelangsa. Dari mana ia bisa mendapatkan uang ratusan juta dalam waktu singkat?!
Adara berlutut dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Adara terisak-isak dalam tangisannya di tengah-tengah beberapa orang yang lewat yang memperhatikan dirinya. Adara sudah tidak peduli yang menjadi tontonan, dia hanya memikirkan kondisi Nando.
"Ya, Allah, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya tampak putus asa yang jalan pikirannya sudah buntu dengan keadaan terdesak seperti itu. Tidak ada ide yang keluar dari pikirannya. Adara hanya bisa menangis terisak-isak, walau tangisnya tidak akan menghasilkan uang dengan jumlah yang banyak untuk biaya operasi.
******
Adara melihat wajahnya di cermin dengan mata sembab dan wajah yang tampak begitu berat. Dia berusaha merapikan diri yang terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Adara membuang nafas perlahan ke depan dan memegang kenopi pintu yang berbahan kayu itu. Adara membuka pintu rumah yang sangat kecil itu yang berada di tengah-tengah kampung kumuh dengan kepadatan penduduk.
Jika satu saja yang terkena api sudah dipastikan semua akan terbakar. Tetapi karena resiko yang seperti itu membuat warga yang tinggal di perumahan itu menjadi lebih hati-hati.
Uhuk-uhuk-uhuk-uhuk.
Adara menghentikan langkahnya ketika melihat di dekat jendela, punggung wanita paruh baya yang tampak menjahit dengan batuk-batuk.
"Assalamualaikum!" ucap Adara pelan.
"Walaikum salam," ucap wanita itu menoleh ke belakang. Wanita Itu tampak lemah sekali dengan wajahnya yang pucat dan memakai syal yang juga memakai pakaian berbahan rajut yang mengurangi rasa dingin.
"Ini sudah malam kenapa Ibu tidak beristirahat?" tanya Adara.
"Besok, Bu Marni akan mengambil jahitannya dan ibu harus menyelesaikannya malam ini. Ini hanya tinggal sedikit lagi, kalau ibu menunda-nunda, nanti tidak akan ada orang yang mempercayai Ibu lagi," jawab wanita itu yang tampak menahan sesuatu di tenggorokannya.
Sampai terdengar lagi suara batuk berdahak itu.
"Ibu istirahatlah, Adara akan menyelesaikannya," ucap Adara yang sudah berdiri di samping Ratih.
"Ibu saja," Ratih tetap kekeh. Adara yang tidak bisa memaksakan keinginan Ibunya dan padahal dia sangat khawatir dengan kondisi ibunya itu.
"Ibu mendengar dari anak ibu Ami. Kalau adik kamu tadi jatuh di sekolah. Kamu membawanya ke rumah sakit?" tanya Ratih.
"Iya. Nando ada di rumah sakit," jawab Adara jujur.
"Lalu bagaimana keadaannya? Kenapa Nando tidak ikut pulang bersama kamu. Apa Nando mengalami luka yang sangat parah?" tanya Ratih yang mulai khawatir.
"Tidak! Nando tidak apa-apa dan Dokter hanya menyarankan untuk beristirahat satu hari saja," jawab Adara yang terpaksa berbohong.
Melihat kondisi ibunya yang juga sakit-sakitan yang sangat tidak memungkinkan Adara memberitahu keadaan adiknya yang sebenarnya yang bisa mempengaruhi kondisi ibunya.
"Syukurlah kalau kondisinya tidak apa-apa ... lalu kamu tidak menemani adik kamu?" tanya Ratih.
"Adara akan kembali ke rumah sakit. Adara hanya berganti baju sebentar," jawabnya.
"Kamu jaga adik kamu dengan baik," ucap Ratih! Adara menganggukkan kepala.
Ratih kembali melanjutkan jahitannya.
"Maafkan Adara Bu, Adara terpaksa harus berbohong. Adara tidak punya pilihan lain. Maafkan Adara!" ucap Adara dengan merasa bersalah.
Bersambung.....
...Saya tidak bosan-bosan dan tidak lelah, tidak menyerah untuk membuat novel terus-menerus. Saya kembali membuat novel baru....
...Jangan lupa untuk support karya terbaru dari saya. Jangan lupa tinggalkan like, komen, subscribe, dan vote yang banyak agar menjadi semangat dan motivasi bagi saya. Saya tunggu saran dan kritiknya. ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments