NovelToon NovelToon

Lovestruck In The City

The Capital City

Bagi sebagian orang, Jakarta adalah tempat menaruh harapan. Datang jauh-jauh dari kota lain membawa mimpi besar untuk diwujudkan, tak jarang harus menelan kecewa karena realitas menampar wajah terlalu keras. Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri, begitu yang selalu Ageeta dengar dari orang-orang ketika mencegahnya untuk tidak pergi ke perantauan.

Kedatangannya ke kota ini tepat ketika usianya genap 18 tahun. Baru lulus SMA, masih udik dan bau matahari. Bermodal ijazah dari sekolah Negeri biasa-biasa saja, ia nekat melamar kerja. Menjadi apa saja, asal halal dan bisa membantunya menghidupi diri sendiri.

Di tahun pertama kedatangannya, Jakarta masih terlihat biasa saja. Hanya debu kendaraan bermotor yang berlebih, suara dengung klakson silih berganti, juga tumpukan sampah berbau busuk yang sehari-hari Ageeta temui. Meskipun memang kesulitan mencari kerja, ia masih tidak berpikir bahwa Jakarta seburuk itu. Hingga kini, memasuki tahun ke-delapan, Ageeta menjadi semakin terbiasa. Terlebih karena baru-baru ini, ia memiliki asa baru yang dia bawa ke mana-mana. Pengharapan sederhana untuk diterima dan dicintai apa adanya.

“Heh!” gulungan koran mendarat di kepala Ageeta, membuyarkan lamunannya. Ia meringis dan mengumpat, kemudian memutar kepala cepat seperti burung hantu yang lehernya bisa berputar 360 derajat.

“Kenapa?” tanyanya datar, kepada seorang pria berkemeja biru tua yang berkacak pinggang di hadapannya.

“Mana kopi saya? Saya udah nunggu dari tadi!” Pria berambut hitam legam itu menyalak. Untuk menambahkan kesan dramatis, jam merek mahal di pergelangan tangan kiri ditunjuk berkali-kali.

Ageeta melenguh, memutar bola mata malas kemudian bangkit dari kursi. Ogah-ogahan menuju pantri, lalu membuka laci penyimpanan kopi dengan gerakan sewot dan bibir maju tiga senti.

“Office girl di kantor ini bukan cuma saya, Pak Reno. Lagi pula, Bapak kan kerjanya di lantai delapan, kenapa repot-repot nyari kopi ke lantai enam?” Kendati sambil mengomel, Ageeta tetap meracikkan kopi untuk pria yang menjabat sebagai General Manajer itu.

“Cuma kopi buatan kamu yang bisa saya minum. Yang lain kalau bikin kopi selalu kebanyakan air sama gula.” Santai, Reno mendudukkan dirinya di kursi yang semula Ageeta diami. Gulungan koran dibuka, mulai dibaca dari halaman awal yang headline di sana tertulis dengan kalimat klickbait khas media zaman sekarang.

Persetan soal etika, yang penting beritanya ramai dan banyak pembaca.

“Haduh, gimana negara ini mau maju kalau menterinya pada korupsi?” tanpa permisi, Ageeta ikut mencuri pandang pada halaman yang Reno baca. Berkomentar sambil geleng-geleng kepala seraya meletakkan cangkir berisi kopi panas di depan sang atasan. “Masih mending kalau duitnya dipakai buat apa, ini mah dipakai buat nyawer biduan. Dasar orang gila!”

“Uang haram memang larinya nggak akan ke hal-hal yang bermanfaat.” Yang ini suara Reno. Menyesap kopi buatan Ageeta sedikit, mencecap rasa pahit-manis di lidahnya beberapa saat, kemudian manggut-manggut.

“Enak?”

Reno melebarkan senyum, mengangkat jempol tepat ke depan wajah Ageeta. “Numero Uno,” pujinya.

Tanpa berusaha menunjukkan bunga-bunga yang mekar di hatinya, Ageeta mengibaskan rambut. Sok centil dan merasa penuh percaya diri. “Ya iyalah, siapa dulu yang bikin? Ageeta Mehrani!” serunya bangga. Hendak menepuk dada, namun urung dan hanya diganti dengan senyum selebar kepalan tangan orang dewasa.

Reno geleng-geleng kepala dibuatnya. Sejujurnya, salah satu alasan kenapa dia rela bersusah payah turun ke lantai 6 hanya untuk secangkir kopi yang bisa dia dapatkan dari café di seberang kantor adalah reaksi Ageeta yang seperti ini. Tidak seperti office girl lain yang cenderung segan dan malu-malu, Ageeta punya energi positif yang tidak main-main. Cerah dan ceria, kombinasi yang sempurna untuk menetralkan aura suram di lanta 8—lantainya para atasan dengan beban pekerjaan segudang. Sifat menyenangkan Ageeta itu jugalah yang membuatnya disukai banyak orang, termasuk jajaran direksi yang terkesan dingin dan terlalu jauh untuk dijangkau orang lain.

“Omong-omong,” memotong momen selebrasi kecil-kecilan yang Ageeta lakukan, Reno memulai topik obrolan baru. “Kamu jadi daftar kuliah?”

Alih-alih redup, senyum lebar Ageeta semakin merekah setelah pertanyaan itu mengudara. Dengan semangat, gadis itu menganggukkan kepala.

“Mau ambil jurusan apa?” koran diletakkan, kopi disesap lagi seraya matanya menatap lurus ke arah Ageeta.

“Sastra Inggris,” sahut sang gadis. Mata cekolatnya berbinar, memancarkan semangat yang tak terhentikan.

“Kenapa milih jurusan itu?”

“Biar makin pintar Bahasa Inggris,” sahut Ageeta. Gadis itu menyeret kursi dari pojok pantri, membawanya menuju meja bundar tempat Reno meletakkan korannya, kemudian duduk. Kedua tangannya bertaut, menopang dagu selagi matanya yang berbinar terus menatap Reno. “Kalau udah pintar Bahasa Inggris, pasti lebih gampang buat jadi bule hunter.”

Sambungan kalimat itu sontak membuat kopi di dalam mulut Reno menyembur keluar. Percikannya muncrat hingga mengotori meja dan bagian depan kemejanya sendiri. Sementara Ageeta, mengandalkan refleks yang cukup bagus, berhasil selamat dari muncratan butiran kopi setelah menggeser kursinya mundur secepat kilat.

“Saya tahu kopi buatan saya enak, tapi alangkah lebih baiknya kalau Pak Reno minum pelan-pelan supaya nggak keselek,” nasihat sang gadis. Sok tahu menyimpulkan alasan kenapa kopi yang diminum oleh pria berusia awal 30-an itu bisa menyembur keluar.

Menanggapi kesoktahuan Ageeta, Reno meraih koran miliknya dan menggulungnya cepat, tanpa ragu menggunakannya untuk memukul kepala Ageeta sekali lagi agar gadis itu berhenti bicara sembarangan.

Sang gadis memekik heboh, melindungi kepalanya yang mendapatkan hadiah sebanyak empat kali. “Saya baik loh ngingetin Bapak, kenapa kepala saya malah dipukul?!” protesnya tak terima.

Melupakan soal kemejanya yang kotor dan kopi yang jadi mubazir tak dihabiskan, Reno mengempaskan punggung ke kursi seraya mendesah kasar. Kedua lengannya terlipat, tatapannya menajam—mengintimidasi.

“Apa? Kenapa?” tantang sang gadis. Masih tidak terima kepalanya yang difitrahi malah mendapatkan terlalu banyak hadiah sepagi ini.

“Masih berani nanya kenapa kamu?” tanya Reno balik.

Ageeta bedecak, ikut-ikutan bersedekap. “Saya enggak tahu, makanya nanya.”

“Kamu mau tahu?”

Ageeta mengangguk.

Reno menghela napas rendah, menegakkan punggung dan menyuruh Ageeta mendekat. Sang gadis patuh, menarik kursi, mencondongkan tubuh ke depan dan…

Tap!

Satu tepukan pelan mendarat di bibir tebalnya yang dipulas gincu warna merah. Merengut, sudah pasti. Berharap mendapat penjelasan, dia malah sekali lagi dihadiahi. Namun, belum sempat bibir tebal itu mengajukan protes, sanga atasan sudah lebih dulu buka suara.

“Mulut kamu itu kalau ngomong suka sembarangan, jadinya harus dikasih pelajaran,” ujarnya. Sudah jelas, Ageeta tidak akan menemukan setitik pun penyesalan baik dari raut wajah maupun nada suaranya. Selain terkenal tampan—ekhem, ini Ageeta tidak sengaja mencuri dengar dari para karyawan ketika jam makan siang—Reno juga tenar sebagai seseorang bermulut tajam dan anti menarik kembali apa yang sudah diucapkan. Ageeta tidak akan menuntut permintaan maaf, karena itu akan percuma. Jadi sebagai gantinya, dia hanya bersungut-sungut dan kembali ke tempat duduknya dengan raut wajah yang ditekuk.

“Padahal kan memang lagi trend orang-orang jadi bule hunter,” cicitnya, nyaris seperti bisikan gaib yang hanya bisa didengar oleh telinganya sendiri.

“Daripada mikir buat jadi bule hunter, mendingan kamu belajar yang bener biar bisa cari pekerjaan lain.”

Ageeta menaikkan pandangan, bibirnya berhenti mendumal. “Kenapa? Jadi office girl memangnya nggak worth it?”

“Bukan nggak worth it, tapi kalau bisa cari pekerjaan lain ya kenapa enggak? Memangnya kamu mau stuck di sini terus? Enggak pengin gitu pakai kemeja sama rok sepan, gantungin lanyard di leher, ngerjain lebih banyak hal yang bisa eksplor kemampuan otak kamu yang selama ini cuma dipakai buat haluin mas-mas Korea dan Thailand di FYP TikTok kamu itu?”

“Ya … mau, sih.” Ageeta menyahut dengan suara kecil dan sambil garuk-garuk kepala. Sungguh demi apa pun, dia cuma bercanda soal menjadi bule hunter. Celetukan asal yang memang sudah kerap kali keluar dari bibirnya yang terbiasa bertukar jokes dengan sesama office girl ketika jam makan siang. Lagi pula, seperti yang Reno bilang, seleranya adalah mas-mas Asia, bukan bule Eropa, jadi sangat tidak masuk akal kalau dia betulan ingin merealisasikan ucapan asalnya. Tapi, lebih dari itu, kenapa respons Reno heboh sekali kali ini? Bukankah pria itu sudah cukup terbiasa mendengar celetukan asalnya karena hampir setiap hari bertemu meski hanya di jam-jam ketika ia butuh asupan kopi?

Untuk beberapa lama, tidak ada yang bicara. Hanya saling pandang seolah dengan begitu saja mereka sudah cukup mengerti isi kepala masing-masing. Sampai kemudian, nada dering yang berbunyi nyaring dari saku celana Reno menjadi satu-satunya hal yang memecahkan keheningan.

Berdeham sekali, Reno merogoh saku celana bahan dan mengeluarkan ponsel, memeriksa ID penelepon sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak panggilan. Nama Juan terpampang segede gaban, lengkap dengan profile picture keluarga bahagia dengan formasi ayah, ibu, dan bayi perempuan mereka yang baru berusia 3 tahun.

Telepon akhirnya diterima pada dering ke-tujuh. Reno menempelkan benda pipih dengan case khas bapak-bapak ke telinga kiri seraya bangkit meninggalkan kursi.

“Kenapa?” sapanya.

Dari ekor matanya, Reno menemukan Ageeta mengamati setiap pergerakan yang dia ambil. Maka sebelum langkahnya mencapai pintu pantri, dia berhenti dan berbalik. Hanya untuk berkata, “Omongan adalah doa, jadi kurang-kurangin bikin celetukan yang aneh meskipun niat kamu cuma bercanda.” Lalu melanjutkan langkah dan kembali sibuk bertukar bicara dengan Juan.

Sementara di tempat duduknya, Ageeta termenung. Bukan. Ini bukan perkara omongan Reno yang memang ada benarnya, melainkan dada kirinya yang mendadak berdebar-debar tidak biasa. Seakan jantung di dalamnya sedang memompa darah dengan semangat yang ekstra, tidak seperti pada umumnya.

“Aduh….” Ia mengeluh. Menggerayangi dadanya selagi pandangannya masih tidak beralih dari pintu pantri. “Kayaknya bener kata Mbak Laras, yang paling bahaya dari Pak Reno itu adalah tatapan matanya pas lagi ngomong serius.”

Ageeta berdiam diri cukup lama di pantri pagi itu. Tanpa tahu bahwa debaran di dada kirinya itu akan lebih sering muncul seiring dengan berjalannya waktu.

Bersambung...

Her Life Story

Kalau dibilang sebatang kara, sebenarnya tidak juga. Ageeta memiliki seorang tante dari pihak ibunya yang tinggal di Jakarta. Ketika pertama kali datang ke kota ini, dia sempat singgah di rumah tantenya selama tiga minggu sebelum memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri dengan uang tabungan yang dia bawa dari kampung.

Bukannya sombong dan mau sok bisa berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi ada peristiwa tidak mengenakkan selama ia tinggal di rumah tantenya yang akhirnya membuat keputusannya untuk tinggal sendiri semakin bulat.

Semenjak keluar dari rumah tantenya, Ageeta tinggal di sebuah rumah kontrakan satu lantai yang dia sewa tahunan. Tentu, ini sudah masuk tahun ke-delapan dan dia belum kepikiran untuk pindah. Tidak banyak barang yang ada di dalam rumah sederhana bercat putih tulang itu, tetapi Ageeta tetap saja malas kalau harus mengepak baju dan membongkarnya lagi di tempat tinggal yang baru. Meskipun itu artinya, dia harus rela menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke tempat kerjanya yang sekarang. Hampir 2 jam naik kendaraan umum, itu pun kalau tidak macet. Tapi tak apa, Ageeta masih enjoy menjalaninya.

Pukul tujuh lewat tiga belas, Ageeta baru sampai di halte bus terdekat dari rumah kontrakannya. Hujan turun cukup deras dan Ageeta tidak membawa payung di dalam ransel besar yang dia peluk erat-erat itu. Maklum, sudah bukan musim penghujan, ramalan cuaca juga mengatakan hari akan cerah sampai malam, jadi mana Ageeta tahu kalau langit tiba-tiba galau dan menangis sederas ini sekarang?

Jarak antara halte busway ke rumahnya tidak terlalu jauh, hanya lima menit jalan kaki. Tetapi, karena seragam pink fanta yang melekat di tubuhnya saat ini masih harus dia kenakan lagi esok hari, maka Ageeta memutuskan untuk menunggu hujan sedikit mereda. Bersama beberapa orang yang bernasib sama, ia duduk di kursi besi, memeluk tasnya kian erat sambil memperhatikan tetes-tetes air yang jatuh.

“Mbak kerja di LT. Corp, ya?” Seseorang di sebelahnya, bertanya tiba-tiba.

Ageeta menoleh dan menemukan seorang gadis belia menatap ke arahnya dengan garis senyum yang kentara. “Iya,” jawabnya.

“Enak nggak Mbak kerja di sana?”

Pertanyaan itu membuat Ageeta mengulum senyum. Sosok gadis belia berkuncir kuda itu mengingatkannya pada sosok Ageeta remaja yang masih polos dan memiliki banyak sekali pertanyaan di kepala.

Persis delapan tahun lalu, dia juga pernah menanyakan hal serupa pada seorang karyawan yang dia temui di warung makan milik tantenya. Kala itu matahari baru saja tenggelam dan seorang karyawan perempuan datang ke warung makan untuk minta dibuatkan es teh manis dan disediakan sepiring nasi dengan telur dadar dan dua macam sayur. Walau kelihatan lelah, perempuan itu masih kelihatan menarik di mata Ageeta karena tampilannya yang rapi dan aroma tubuhnya yang masih semerbak wangi. Ageeta, dengan polosnya, bertanya di mana perempuan itu bekerja dan apakah pekerjaannya menyenangkan.

Lalu, “Semua pekerjaan akan jadi menyenangkan tergantung bagaimana perasaan kita sewaktu mengerjakannya. Kalau kita kerjakan sambil mengeluh, rasanya pasti berat dan melelahkan. Pun sebaliknya, kalau kita kerjaan dengan perasaan senang dan penuh rasa syukur, pasti pekerjaannya juga akan jadi menyenangkan.” Ageeta menjawab persis seperti apa yang perempuan itu katakan delapan tahun silam. Perkataan itu juga yang dia bawa ke mana-mana dan menjadi motivasi ketika sedang merasa lelah dengan rutinitas kerja yang begitu-begitu saja. Serupa mantra yang membantu Ageeta bertahan sampai sejauh ini.

“Gitu ya, Mbak…” Gadis remaja itu tampak menerawang. “Soalnya mas aku juga kerja di sana, tapi setiap pulang selalu marah-marah. Katanya pusing lah, capek lah, sampai kadang-kadang suka bentak-bentak aku kalau mood dia terlalu jelek.” Dalam sekejap, raut wajahnya menjadi murung.

Ageeta tidak tahu harus menghibur dengan kalimat seperti apa, jadi dia hanya bisa merogoh kantong bagian samping tas besarnya, mengambil beberapa bungkus permen kopi lalu menyodorkannya kepada sang gadis. “Sikap mas kamu yang nggak baik jangan dimasukin ke dalam hati, ya. Mungkin, beban pekerjaannya memang berat dan dia betulan capek, tapi dia nggak bisa berhenti karena harus cari uang untuk menghidupi dirinya sendiri.”

“Menghidupi kami sekeluarga,” ralat si gadis seraya menerima permen pemberian Ageeta. Untuk beberapa lama, permen-permen di tangkupan tangannya itu hanya ditatap dengan nanar. Meski samar, Ageeta bisa melihat kabut-kabut bening mulai menyelimuti netra cantik sang gadis.

“Nanti pas sampai rumah, kasih beberapa permennya buat mas kamu, ya. Bilang aja dari teman,” ucap Ageeta, berhasil membuat gadis remaja di sampingnya itu kembali mendongak. Seraya tersenyum lembut, mencoba menyentuh sisi rapuh dari sorot mata sang gadis, Ageeta melanjutkan, “Mas kamu hebat karena udah bertahan sampai sekarang. Nggak mudah loh, berjuang menafkahi diri sendiri dan orang lain. Jadi, tolong kasih apresiasi ke dia, ya. Dan untuk kamu, tolong belajar yang bener supaya nggak bikin mas kamu kecewa.”

Sang gadis tidak menyahut. Logo sekolah SMA ternama mengintip dari balik jaket hitam yang gadis itu kenakan. Ageeta menduga, ia baru pulang dari les dan tengah gundah menerka-nerka seperti apa mood abangnya hari ini ketika ia sampai di rumah nanti.

“Sikap mas kamu mungkin menyebalkan, tapi kalau kamu udah sampai di fase yang sama, mungkin kamu bakal sedikit bisa memahami.” Tandas Ageeta. Ia tidak ingin terlalu banyak memberikan nasihat yang dirinya sendiri tidak bisa lakukan. Jadi, setelah memeriksa seberapa banyak hujan telah berhenti, Ageeta berdiri. Hanya seulas senyum dia lemparkan kepada sang gadis remaja, kemudian ia mengangkat tas punggungnya ke atas kepala, lantas berlari menerobos sisa-sisa gerimis yang tidak akan sampai membuatnya basah kuyup ketika sampai di rumah nanti.

Pertemuannya dengan gadis remaja yang bahkan tidak sempat dia tanyakan siapa namanya itu akan dia rekam selamanya di dalam kepala. Dia masukkan ke dalam satu folder khusus, sama seperti kejadian-kejadian lain yang dia alami selama mengarungi hidup seorang diri di kota besar ini.

...****************...

Kepulangan Ageeta selalu disambut oleh seekor makhluk berbulu yang senantiasa menunggu di depan pintu rumah kontrakan, tak peduli seperti apa cuaca pada hari itu. Cerah ataupun hujan, angin ataupun tenang, buntelan bulu berwarna cokelat oranye itu akan tetap berada di posisinya di jam-jam Ageeta pulang kerja.

“Halo, sweetie!” sapanya riang. Seolah menyahut, buntelan bulu itu menggunakan empat kaki dengan paw warna pink itu untuk berlari mendekat. Mengeong manja, menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki Ageeta sebagai pengganti pelukan yang tidak bisa dia berikan secara langsung.

“Badanmu basah, kamu pasti lari-larian ya buat sampai ke sini?” Ageeta membawa Rooney, kucing berbulu cokelat-oranye itu ke dalam gendongannya, mengusap-usap bulunya yang panjang dan halus.

Rooney mengeong, mengiakan. Ageeta tertawa renyah, membawa Rooney masuk ke dalam rumah untuk disiapkan makanan dan tempat tidur yang hangat. Sekadar informasi, Ageeta tidak secara resmi memelihara Rooney. Bocah bulu itu pertama kali datang ke rumah kontrakannya delapan bulan lalu, mengeong ribut seperti bocah kesurupan. Beruntung Ageeta memang suka melakukan street feeding di area dekat rumahnya, jadi ia punya stok makanan untuk diberikan kepada kucing kecil yag terus mereog tidak terkendali itu.

Sejak hari itu, Rooney selalu datang, untuk minta makan dan numpang tidur. Kalau siang, dia akan bermain sesuka hati, seakan tahu bahwa Ageeta pun akan super duper sibuk ketika matahari masih tinggi.

“Kamu bau matahari,” komentar Ageeta setelah mencium puncak kepala Rooney yang basah. Kemudian, bocah bulu itu dia turunkan setelah bowl makanan miliknya diisi penuh. Rooney kegirangan, mukbang seperti anak terlantar yang tidak pernah diberi makan selama berbulan-bulan.

Ageeta hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Rooney si clingy dan tukang drama itu. Lalu, ia pergi meninggalkan Rooney sendiri, masuk ke kamar untuk mengurus diri sendiri.

Rumah kontrakan yang Ageeta huni memiliki hanya satu kamar, tetapi luasnya lumayan sehingga ia bisa meletakkan banyak perabotan. Sejauh ini, ada kasur yang muat dua orang, lemari pakaian berbahan kayu jati hasil thrift di salah satu platform jual-beli online, serta meja belajar tempatnya menaruh laptop dan rak buku mini berisi beberapa buku dengan genre berbeda. Belum ada pikiran untuk meletakkan perabotan lain, tetapi kalau ada budget nanti, Ageeta mungkin akan menambahkan satu meja untuk tempat aquarium.

Meletakkan tas gendongnya di kursi meja belajar, Ageeta lantas bergerak menuju kasurnya yang dibalut seprai warna ungu tua. Duduk bersila, ia mulai menekuri ponselnya. Menyelam di salah satu laman sosial media miliknya, mencari asupan berita terbaru dari selebriti pria kecintaannya. Kalau sudah begitu, Ageeta suka lupa waktu. Tadinya hanya berniat menonton empat atau lima video berdurasi kurang dari lima menit, lama-lama terhanyut dan tenggelam dalam berbagai macam klip pendek.

“Wah, keciduk dating juga?” komentarnya, merujuk pada sebuah klip video berisi berita terbaru dari salah seorang aktor Thailand ternama yang baru saja ketahuan berkencan dengan sesama selebriti.

Beberapa lama, Ageeta menghabiskan waktu menyelam di kolom komentar. Untuk menemukan bahwa respons para fans tergolong cukup positif. Tidak ada yang menghujat baik sang aktor maupun kekasihnya. Malahan, Ageeta menemukan beberapa komentar yang mendukung keduanya untuk melanjutkan ke dalam hubungan yang lebih serius, mendoakan banyak kebaikan.

“Well, kok responsnya beda banget sama yang sebelah.” Ageeta tertawa pelan. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana aktor lain ketahuan dating beberapa bulan sebelumnya. Alih-alih mendapatkan dukungan, ia malah dihujani hujatan dan menerima banyak sekali ujaran kebencian. Orang-orang yang tadinya menamakan diri mereka sebagai fans pun, tiba-tiba berbondong-bondong menyerang, membuat klip-klip video pendek berisi ejekan dan kata-kata tidak menyenangkan. Standar ganda.

Dalam beberapa kesempatan, Ageeta menemukan dunia memang berjalan demikian. Untuk suatu peristiwa yang sama persis, orang-orang belum tentu memberikan respons serupa hanya karena pelakunya berbeda. Meski pada awalnya ia cukup terkejut dan merasa tidak terima, dewasa ini ia mulai berusaha memahami bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan prinsipnya. Maka, sekarang, alih-alih merasa kesal, ia lebih senang menertawakan hal-hal seperti itu sebagai sebuah penghiburan.

Setelah beberapa lama berkutat di media sosial, Ageeta meletakkan ponselnya asal di atas kasur dan beralih menggeledah bagian bawah kasurnya. Untuk menemukan satu buku harian usang dengan cover tebal berwarna cokelat tua. Isi di dalam buku harian itu sudah habis Ageeta baca, terkadang ia juga membaca ulang kalau sedang memiliki waktu senggang.

Namun, bukan itu yang membuatnya mengambil buku itu dari bawah kasurnya. Ia tidak sedang ingin membaca ulang, sedang tidak mood. Ia mengambil buku itu untuk menemukan sesuatu yang lain di dalamnya; selembar foto.

Hanya sebuah foto biasa, jika dilihat sekilas saja. Namun, bagi Ageeta, foto itu adalah satu-satunya petunjuk yang mungkin ia miliki untuk mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.

Oh, tidak, tidak. Namanya Ageeta Mehrani, tertera jelas di akta kelahiran dan kartu keluarga yang selama ini digunakan untuk mengurus segala administrasi. Hanya saja, dia tidak pernah menemukan nama ayahnya di dokumen mana pun. Selalu hanya nama sang ibu. Seorang perempuan yang bahkan belum sempat dia temui secara langsung ketika ia lahir ke dunia.

Ageeta mengambil napas, menatap lekat-lekat sosok ibunya yang bersanding dengan seorang laki-laki yang usianya mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua. Hamparan bangunan candi tampak di latar belakang, berpadu dengan gumpalan awan-awan putih bertaburan di langit yang berwarna biru cerah. Surakarta, 1996. Hanya informasi itu yang Ageeta dapatkan di bagian belakang foto tersebut. Hanya sebatas itu. Ageeta bahkan tidak tahu apakah laki-laki yang ada di dalam foto itu adalah ayah kandungnya atau bukan. Tetapi karena hanya lelaki itu satu-satunya yang terlihat pernah bersama dengan ibunya, Ageeta berpikir tidak ada salahnya untuk menduga.

Dulu, ketika usianya menginjak remaja, Ageeta sudah bertanya tentang siapa sosok ayah yang kata Uti dan Kakung telah meninggal dunia. Namun, tidak ada di antara mereka yang mau menjawab. Keduanya kompak bungkam, seperti tidak pernah rela jika Ageeta tahu dari mana asal-usul dirinya yang sebenarnya.

Sampai kemudian, ia secara tidak sengaja menemukan buku harian milik ibunya dan memulai pencarian diam-diam. Tidak punya keberanian untuk bertanya lagi pada Uti ataupun Kakung, takut buku harian yang dia temukan malah disita dan dimusnahkan, lalu dia tidak akan memiliki kesempatan untuk menemukan di mana keberadaan ayah kandungnya.

Walaupun sampai sekarang, ia masih belum mendapatkan jawaban apa pun. Mencari seseorang hanya bermodal foto yang diambil 28 tahun silam bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Kalaupun lelaki itu masih hidup, wajahnya pasti sudah menua dan akan sulit untuk dikenali, bukan?

“Memangnya kalau kamu tahu siapa ayahmu, apa yang bakal berubah? Fakta bahwa dia nggak ada di sisi kamu, nggak menafkahi kamu, nggak mengakui kamu sebagai anak, apa enggak cukup untuk bikin kamu menyerah dan diam? Kamu itu anak yang nggak diharapkan, Git, sadar diri saja, itu yang terbaik.”

Suatu hari, tantenya pernah berkata begitu pada Ageeta ketika ia merengek untuk diberi informasi. Kalau Uti dan Eyang cukup keras kepala untuk tutup mulut, Ageeta kira tantenya akan mau berbaik hati sedikit saja. Ternyata tantenya malah lebih parah.

“Kalau aku tahu siapa bapak kandungku, paling nggak aku bisa mati dengan tenang. Emangnya Tante Nur mau aku gentayangin pas aku mati nanti, gara-gara Tante nggak mau bantuin aku nyari tahu siapa bapakku?”

Lagi-lagi, Ageeta hanya bisa bermonolog. Sebab berbicara langsung dengan tantenya yang galak dan keras kepala butuh keberanian super banyak dan kesabaran ekstra besar. Dia tidak sanggup. Baru mau membuka mulut saja, tangannya pasti sudah gemetar dan matanya mulai berembun.

Menghela napas rendah, Ageeta mengembalikan foto itu ke dalam buku harian, membawanya ke dalam dekapan. Detik kemudian, tubuhnya terhempas ke belakang, membentur kasur yang empuk dengan kedua kaki menggelantung menyentuh lantai.

Dalam hening, ditatapnya langit-langit kamarnya yang berwarna putih pucat. Lampu bohlam 15 watt yang tertempel di sana dia tatap lekat-lekat, membuat matanya mulai berkunang dan pandangannya mulai menggelap. Kelopak matanya terbuka dan tertutup dalam irama yang konstan. Napasnya yang semula gaduh, perlahan-lahan mulai teratur. Lalu bersama harap yang masih terus dia bawa ke mana-mana, harapan untuk bisa menemukan di mana keberadaan ayah kandungnya, Ageeta jatuh terlelap.

Bersambung...

Being Scolded

Kegiatan perkantoran baru akan dimulai sejak pukul 9 setiap harinya, dari hari Senin sampai Jumat. Dan biasanya, sebelum para karyawan berdatangan dan bersiap untuk bekerja, Ageeta akan disibukkan dengan berbagai request yang mereka layangkan melalui satu group chat khusus. Ada yang minta dibelikan kopi gula aren double shot dan sandwich daging tanpa saus tomat. Ada yang minta dibelikan bubur ayam tanpa seledri, bawang goreng, kacang dan kecap. Ada yang minta diisikan tumblr segede gaban miliknya, walaupun letak pantri hanya sepuluh langkah dari ruang kerjanya. Ada juga yang sedikit nyeleneh, minta disampaikan salamnya kepada mbak-mbak penjaga warteg di seberang gedung perusahaan. Sebagai office girl panutan, Ageeta akan memenuhi semua request itu tanpa ada sedikit pun keluhan. Gesit dan cekatan, begitu dirinya sering dipuji oleh para karyawan.

Hari ini, request pertama yang Ageeta dapatkan adalah untuk membeli beberapa macam kopi dari outlet coffee shop favorit di seberang jalan. Ada 15 cup, semuanya berbeda rasa serta takaran gula dan es.

Menerjang teriknya matahari jam delapan, Ageeta melangkah riang menuju coffee shop. Rambut sepunggung kecoklatan miliknya yang dikuncir kuda bergerak ke kiri dan ke kanan seiring langkahnya yang melambung-lambung bersemangat. Ia juga bersenandung, menyanyikan beberapa lagu dengan melodi yang hampir mirip dan tak jarang harus berhenti sejenak karena salah lirik.

Seperti layaknya kawan baik, barista berondong di coffee shop itu akan menyambut Ageeta dengan senyum yang melebar sampai ke telinga. Tanpa perlu basa-basi menyodorkan tangan, meminta list pesanan yang akan ‘Kakak Manis’ berseragam pink fanta itu beli hari ini.

“Ada banyak, lima belas,” ujar Ageeta seraya menyerahkan ponselnya kepada Adrian—sang barista berondong.

“Dan, semuanya menu yang berbeda,” sahut Adrian.

Ageeta menganggukkan kepala, bersandar santai di counter tanpa takut dihakimi pelanggan lain karena memang coffee shop itu masih sepi. Dia adalah pelanggan pertama, sepertinya.

“Tunggu sebentar, ya, Kakak Manis. Pesanan kamu akan ready secepat mungkin.” Adrian membawa serta ponsel Ageeta menuju coffee maker, membiarkan sang ‘Kakak Manis’ pujaan hati menunggu di luar counter sambil bersiul-siul asal. Kadang kala kedengaran sumbang, tetapi di telinga Adrian, tetap merdu saja karena itu adalah Ageeta. Kalau gadis lain, mungkin sudah dia tendang sampai ke bulan.

“Hari ini sendiri? Alex nggak ada?” Siulan Ageeta berhenti, pandangannya berpendar memindai seluruh sudut coffee shop bernuansa hitam putih tersebut.

Sambil fokus menggiling kopi, Adrian menjawab, “Alex pindah ke sore, gantiin Bang Banu.”

“Gantiin Bang Banu?” tanya Ageeta, memandang ke arah Adrian dengan alis yang berkerut. “Emang Bang Banu ke mana? Izin sakit?” susulnya.

“Resign.”

“What?!” Bak baru saja menerima kabar buruk, Ageeta bereaksi heboh. Tubuhnya yang semula bersandar santai seketika kembali tegap, bola matanya membulat, bibirnya menganga tak percaya. “Kok bisa resign, sih?”

Adrian berhenti menggiling kopi, sejenak menatap Ageeta yang auranya berubah suram hanya karena sebuah kabar. “Memangnya kenapa kalau Bang Banu resign? Ada pengaruhnya buat Kakak Manis?” tanyanya. Menyelidik, di tengah perasaannya yang tidak nyaman. Kakak Manisnya memperhatikan laki-laki lain, itu menyebalkan.

Mendapati dirinya ditatap penuh selidik, Ageeta mengendurkan urat di sekitar area wajahnya yang semula tegang, berusaha bersikap seperti semula karena dia bisa merasakan aura ‘setan’ mulai menyelimuti tubuh Adrian.

“Ya … nggak apa-apa, sih. Cuma, kan, biasanya aku suka godain dia kalau lagi shift sendirian.” Memperhatikan mimik wajah Adrian, kemudian buru-buru menyambung supaya berondong itu tidak salah paham. “Reaksinya Bang Banu lucu kalau aku godain, malu-malu merah merona gitu, makanya aku suka!”

“Suka Bang Banu?”

“Suka godain doang!” seru Ageeta, panik. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga dia harus panik seperti itu? Toh Adrian kan cuma sebatas barista berondong yang kebetulan suka beramah-tamah kepada dirinya. Entahlah, aura mistis yang melingkupi Adrian membuatnya refleks bereaksi demikian.

Untuk beberapa lama, tatapan selidik itu masih ada di kedua netra Adrian, sampai kemudian berondong bertato bulan sabit di pergelangan tangan kanan itu menghela napas rendah dan kembali melanjutkan aktivitasnya menyiapkan pesanan Ageeta.

“Aku nggak suka kamu genit sama cowok lain tahu.” Tiba-tiba saja, Adrian membuat pengakuan. Bukan yang pertama, jadi Ageeta hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Meloloskan kekehan ringan dan tepukan di lengan kekar sang berondong.

“Sama, aku juga nggak suka kalau kamu digodain sama cewek-cewek pakai rok mini dan crop top warna-warni yang suka nongkrong di sini menjelang shift kamu habis,” goda Ageeta. Sukses membuat Adrian menjeda lagi kegiatannya, sejenak terpaku, lalu mengembuskan napas berat. Agaknya, gombalan itu tidak mempan untuk berondong yang satu itu.

“Kamu jangan suka nyeletuk kayak gitu, bahaya.” Tiga kantong belanja berbahan karton diserahkan kepada Ageeta, masing-masing berisi lima cup kopi yang sudah dipastikan keamanan kemasannya.

“Bahaya kenapa?”

“Bisa bikin anak orang baper,” tutur Adrian, bersedekap usai mengembalikan ponsel milik Ageeta.

Enggan menjawab, Ageeta memilih untuk menyerahkan kartu kredit perusahaan agar Adrian bisa segera memproses pembayaran. Terlalu berlama-lama menggoda berondong yang satu itu memang sepertinya bukan ide yang bagus. Adrian benar, Ageeta tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan omong kosong tanpa pikir panjang.

“Thank you.” Ageeta mengangkut tiga kantong belanja sekaligus, menerima kembali kartu kredit perusahaan dari tangan Adrian.

Yang lelaki tidak menjawab ramah seperti biasa, hanya terus menatap serius seakan-akan Ageeta adalah santapan makan malam yang nikmat dan tidak boleh dilewatkan.

“Oh, I know I’m pretty, but don’t stare at me like that,” tegur Ageeta. Hanya untuk membuat Adrian menyemburkan napas hangat persis di depan wajahnya.

“Sana, pergi. Nanti ke sini lagi pas jam makan siang, oke?” tutur Adrian.

Ageeta menaikkan sebelah alis, bingung.

“Ngapain?”

“Makan siang sama aku, aku traktir.”

“T—”

“Halo, pink fanta!”

Seruan heboh dari orang ketiga itu seketika membuat Ageeta dan Adrian serempak menoleh ke arah sumber suara. Sama-sama dibuat terheran-heran atas kedatangan seorang laki-laki berpakaian santai dengan sandal rumahan (yang harganya jutaan) yang sedang menggendong bayi perempuannya di depan. Senyumnya cerah, lebih bersinar ketimbang matahari yang terik di luar sana. Satu tangannya melambai senang, satu lagi bergerak heboh melepaskan kacamata hitam yang membingkai sepasang mata kecoklatan miliknya.

“Apa kabar?” tanya sang lelaki, menyodorkan tangan kanan kepada Ageeta.

Meski heran, Ageeta tetap menyambut uluran tangan tersebut, menjabatnya sebentar. “Baik. Pak Bas apa kabar?” tanyanya balik, dibumbui senyum ramah sebagai SOP standar. Sembari sedikit mengintip ke arah bayi perempuan yang terlelap di dalam gendongan.

“I’m great!” seru sang lelaki, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Sky juga great, maminya juga,” imbuhnya.

Ageeta tertawa pelan menanggapi celotehan yang agak too much information itu, kepalanya mengangguk. “Mau beli kopi?”

“Exactly!” Lelaki berkaki jenjang itu, Baskara, menjentikkan jari.

Ageeta mengangguk lagi, masih memasang senyum template yang tidak basi. “Kalau gitu, saya permisi. Kopinya udah ditungguin sama yang punya,” ujarnya seraya mengangkat tiga kantong belanja di tangannya sejajar dada.

Baskara mengangkat jempolnya, mengangguk dan tersenyum manis.

Setelahnya, Ageeta pamit pergi. Tidak hanya meninggalkan Baskara yang hendak membeli kopi paginya, tetapi juga Adrian yang mematung menunggu jawaban atas ajakan makan siangnya.

...****************...

Usai menyerahkan kopi pada para pemesan, Ageeta kembali ke pantri untuk mengerjakan hal lain. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu pantri yang terbuka tatkala menemukan sesosok manusia sudah duduk di salah satu kursi dengan kaki yang menyilang, mengetuk-ngetukkan jemari tangan di atas meja selagi fokus menekuri tab di tangan yang lain.

Ageeta mendesah pelan, malas-malasan menghampiri tamu VIP yang tidak pernah absen meminta jatah.

“Pagi, Pak Reno.” Ia menyapa ogah-ogahan. Langsung berjalan menuju rak penyimpanan, menyambar cangkir serta mengeluarkan toples kopi dan gula.

“Saya nggak mau kopi pagi ini.”

Stop!

Tangan Ageeta melayang di udara, membawa serta sesendok penuh kopi hitam yang merengek karena tidak jadi dituang ke dalam cangkir. Ia menoleh, menelan ludah susah payah usai menemukan Reno menatap ke arahnya dengan cara yang tidak biasa. Oh, apakah dia telah membuat kesalahan yang tidak disadari sehingga membuat atasannya itu murka? Ah, tapi seingatnya, dia tidak berbuat apa-apa, kok. Kopi buatannya juga masih mendapatkan pujian ketika terakhir kali disuguhkan.

Lantas, kenapa?

“Kamu tadi habis dari coffee shop depan, kan?” tanya Reno, raut wajahnya serius.

Ageeta mengembalikan bubuk kopi ke dalam toples, menutupnya rapat-rapat, kemudian mengangguk. “Kenapa? Bapak mau kopi dari sana juga? Mau saya beliin sekarang?” tawarnya.

“Nggak usah, saya nggak mau ngopi hari ini.” Reno menjawab dengan intonasi datar, meninggalkan tab di atas meja, lalu berjalan menghampiri Ageeta.

Refleks, Ageeta berjalan mundur ketika Reno terus meringsek maju seperti hendak menyerang dari jarak dekat. Ia menahan napas, berusaha menghalau aroma parfum lelaki itu yang terasa lembut menggelitik lubang hidungnya.

Detik-detik yang berlalu setelahnya kemudian terasa berjalan begitu lambat. Sementara yang bisa Ageeta lakukan cuma berdoa di dalam hati, sambil berpikir keras mengingat kesalahan apa yang sekiranya telah dia perbuat sampai detik ini.

“Ceroboh.” Belum selesai berpikir, sentilan maut khas Reno sudah lebih dulu mendarat cepat di kening Ageeta. Gadis itu hanya bisa mengusap keningnya yang nyut-nyutan tanpa memekik heboh seperti biasa. Karena entah kenapa, energinya terasa disedot sampai habis tak bersisa.

“Kamu seburu-buru apa sampai ninggalin kartu kredit perusahaan di sana? Kalau ditemuin sama orang yang nggak bertanggung jawab gimana coba?” cerocosnya seraya mengangkat tinggi-tinggi kartu berwarna hitam yang terapit di sela-sela jemarinya.

Seketika itu juga, mata Ageeta membola, mulutnya menganga. “Astaga! Saya yakin udah masukin ke saku seragam saya! Sumpah, Pak!” seraya mengangkat kedua jari membentuk huruf V.

Reno berdecak, menarik tangan Ageeta, lantas meletakkan kartu kredit perusahaan ke telapak tangan sang gadis. “Lain kali jangan ceroboh. Untung aja tadi yang nemuin temen saya, coba kalau enggak? Bisa kena masalah besar kamu.”

“Iya, Pak, maaf.” Ageeta melirih, setengah menunduk sebab terlalu tidak berani beradu tatap dengan Reno. Biar pun mereka sudah cukup sering beradu mulut untuk hal remeh-temeh, Ageeta tetap tidak serta-merta melupakan posisinya. Dia adalah bawahan dan Reno adalah atasannya. Tetap ada batas yang harus dijaga, dan dia tidak bisa seenaknya berkelit setelah melakukan kesalahan.

Terdengar helaan napas panjang, sebelum keluar ucapan, “Maaf diterima, sekarang lanjut kerja.” Disusul tepukan pelan mendarat di bahu Ageeta.

Gadis itu mengangkat kepalanya cepat, menyaksikan Reno kembali ke tempat duduknya dan mulai sibuk menekuri tab dengan case warna merah muda. Diperhatikannya lelaki itu selama beberapa waktu, sampai tidak sadar sudah terlampau jauh terlena dan hampir saja tenggelam di dalam kubangan berbahaya yang tidak dia ketahui bagaimana caranya untuk kembali ke permukaan.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!