Jam sepuluh malam baru Gafi pulang. Setelah menghabiskan waktu seharian bersama sang kekasih. Saat dia masuk, Mama Dewi masih menonton di ruang keluarga.
Gafi lalu mendekati mamanya. Mengecup pipi wanita yang telah melahirkan dirinya itu. Dia lalu ikutan duduk di samping Mama Dewi.
"Kenapa baru pulang? Badan kamu'kan kurang sehat," ucap Mama Dewi.
"Udah sembuh, Ma."
"Tumben cepat sehatnya. Pasti karena Alana yang merawat kamu dengan sepenuh hati. Dia memang istri yang sempurna," balas Mama Dewi.
Gafi hanya membalas dengan senyuman. Teringat tadi dia yang telah membuat istrinya itu menangis. Padahal seperti kata mama Dewi, seharian Alana merawatnya.
"Alana mana, Ma?" tanya Gafi.
"Dari habis makan malam dia tidur. Tadi kepalanya sedikit pusing. Mungkin bawaan hamil. Bagaimana masakan Alana tadi? Bibi bilang, Alana memasak sendiri bekal buat makan siang mu," jawab Mama Dewi.
"Jadi semua yang Alana bawa tadi dia masak sendiri, Ma? Bukan di beli?" tanya Gafi.
Masakan Alana tadi memang terasa pas di lidah Gafi. Dia pikir Alana membelinya atau bibi yang memasak.
Gafi merasa bersalah. Pasti dia sangat kecewa karena sudah capek mempersiapkan bekal, tapi dia dapati suaminya sedang berdua dengan kekasihnya.
"Ma, aku mau ke kamar. Istirahat," ucap Gafi.
"Pergilah, lihat istrimu. Tadi mama sudah tawari ke dokter, tapi dia tak mau," balas Mama Dewi.
"Iya, Ma," jawab Gafi.
Dia berjalan sedikit cepat menuju lantai dua. Membuka pintu kamar dengan perlahan. Dia pikir istrinya telah tidur terjadi sedang merajut di dekat jendela kamar.
"Kamu belum tidur?" tanya Gafi.
"Belum, Mas," jawab Alana sambil tetap terus merajut tanpa menoleh ke arah pria itu.
Gafi lalu berjalan menuju tempat Alana duduk. Melihat tangan terampil wanita itu merajut baju bayi.
"Kenapa harus merajut sendiri. Kamu bisa membelinya di toko. Aku sudah berikan kartu, bisa gunakan untuk kebutuhan kamu dan bayi," ucap Gafi.
Alana menghentikan kegiatannya. Memandangi Gafi dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu tampak sedikit gugup dipandangi begitu intensnya.
"Mas, aku senang bisa membuat baju untuk anakku dari tangan ini. Lagi pula, aku tak mau menggunakan uangmu terlalu banyak. Takut nanti ada yang marah dan mengatakan aku matre. Lagi pula aku melakukan ini agar aku makin mahir merajut. Ini bisa aku gunakan untuk mencari nafkah nanti saat kita bercerai," ucap Alana.
"Bercerai ...?" tanya Gafi. Entah mengapa dia tak suka saat Alana mengatakan tentang perceraian.
"Iya, enam bulan itu waktu yang singkat. Aku harus siapin semuanya. Apa Mas mau mandi? Aku siapin air hangat dulu," ucap Alana.
Dia lalu berdiri dari duduknya. Ingin berjalan menuju kamar mandi, tapi tangannya di tahan Gafi.
"Alana ... kamu masih marah denganku?" tanya Gafi.
"Marah? Kenapa aku harus marah? Tidak ada yang salahkan?" tanya Lana.
"Sudah, lupakan saja. Ini aku beli untukmu."
Gafi mengambil kotak dari dalam tas kerjanya. Saat Naura meminta perhiasan tadi, dia juga membelikan untuk Alana. Setelah mengantar kekasihnya pulang, pria itu langsung kembali ke toko perhiasan tersebut. Beruntung masih buka. Dia membelikan perhiasan yang sama untuk Alana.
Alana menerima dan membukanya. Dia terkejut melihat isinya. Dia tak pernah membeli perhiasan.
"Ini buat siapa, Mas?" tanya Alana.
"Buat kamu ...," jawab Gafi.
"Ini pasti mahal. Maaf, Mas. Aku tak bisa menerimanya. Aku takut nanti hilang. Aku tak akan bisa menggantinya," balas Alana.
"Aku membelinya untukmu. Jika kamu menghilangkan, mana mungkin aku minta ganti, Alana!" ucap Gafi dengan penuh penekanan.
"Maaf, aku tak bisa menerimanya, Mas," tolak Alana lagi. Dia tak mau pemberian itu akan diungkit suatu hari nanti. Di tampung selama hamil saja dia sudah senang.
"Jika kamu tak suka, bisa berikan untuk orang lain atau kamu buang saja. Aku membelikan dengan tulus untukmu. Aku tak suka meminta sesuatu yang pernah aku beri. Atau kamu bisa menyimpannya sebagai hadiah bagi anakmu," ucap Gafi.
Gafi lalu masuk ke kamar mandi. Dia takut terbawa emosi jika terus berada di dekat Alana. Baru kali ini pemberiannya di tolak. Jika Naura yang dibelikan perhiasan akan dengan senang hati menerimanya.
Setelah mandi, dan memakai piyamanya barulah Gafi keluar dari kamar mandi. Dia melihat Alana yang telah membaringkan tubuhnya. Pria itu ikut berbaring. Sesekali dia melirik ke arah wanita itu.
"Apa Alana tak mengatakan pada Mama jika dia bertemu dengan Naura di kantor? Mama tak ada menyinggung tentang itu. Kapan aku bisa membawa Naura lagi ke rumah. Aku tau mama sengaja menikahkan aku dengan Alana hanya untuk memisahkan aku dengannya. Aku tak tau, dimana letak salahnya Naura, sehingga mama tak menyukainya," gumam Gafi.
Gafi pernah mengenalkan Naura pada mama Dewi. Bahkan mereka bertiga sempat pergi berlibur bertiga. Entah di mana letak kesalahan yang Naura lakukan sehingga mama tak menyukai kekasih Gafi itu. Selalu saja menjadi pikiran dan pertanyaan pria itu.
***
Pagi harinya Alana masih menyiapkan pakaian Gafi seperti biasa. Dia juga membawa sarapan untuk pria itu.
Setelah Gafi memakai kemejanya, Alana lalu memasangkan dasi sebagaimana biasa dia lakukan. Gafi menghirup bau wangi rambutnya.
"Mas, sarapan dulu," ucap Alana setelah dasi terpasang dengan rapi. Dia mengambil sarapan roti bakar yang tadi dibawanya. Alana menyuapi Gafi, tapi kali ini tanpa ada suara dan dengan wajah yang datar. Biasanya senyum selalu terukir di wajah wanita itu.
"Nanti sore jam empat kita ke dokter kandungan. Aku jemput kamu jam setengah empat," ucap Gafi memecahkan kesunyian di antara mereka.
"Kalau Mas sibuk, aku bisa pergi sendiri," jawab Alana.
"Aku tak sibuk, aku bisa mengantar kamu pergi sore ini," balas Gafi.
"Terima kasih, Mas."
"Terima kasih untuk apa?" tanya Gafi.
"Terima kasih karena mau meluangkan waktumu untuk mengantarku. Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikan kamu dan Mama Dewi sampai kapanpun. Walau suatu hari nanti mungkin kita akan saling berjauhan, semua yang kamu berikan dan kamu lakukan akan aku kenang selamanya," jawab Alana.
"Kenapa kamu suka membahas perpisahan?" tanya Gafi akhirnya. Dia sebenarnya tak suka jika Alana sudah mulai membahas tentang perpisahan mereka.
"Aku ini sadar diri, Mas. Semua juga sebagai pengingat bagiku, jika aku di sini hanya sementara," jawab Alana lagi.
"Sudahlah! Aku pamit dulu," ucap Gafi.
Alana lalu meraih tangan Gafi dan menciumnya. Kali ini Gafi kembali membalas dengan mengecup rambut wanita itu. Tapi Alana tidak merasakan debaran lagi seperti kemarin. Mungkin karena dia telah memantapkan diri untuk tidak bermain hati lagi pada pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
Alana dan Naura berbeza,Alana tak matre sedang kan Naure matre...
2025-03-27
0
Yunerty Blessa
kenapa tak suka, jangan lupa perjanjian yang kau ajukan Gafi..
2025-03-27
0
Yunerty Blessa
pasti ada alasan mengapa mama mu melarang Gafi...
2025-03-27
0