Siapa bidadari cantik ini. Seperti rembulan ada sinar di wajahnya. Masha Allah cantiknya.
"Umi, eh!" Anna langsung menutup mulut dan meraba-raba wajahnya setelah sadar yang didepannya bukan umu.
Anna masuk ke dalam balik kain meraba sekitar tikar, membolak-balik bantal sampai menemukan kain hitam kecil m Ia bergegas memakai cadarnya. Kenapa bisa ada Damar!
"Assalamualaikum, bolehkah saya bertanya dimana letak rumah Pak Hamdan?"
Anna meremas burkha mendengar suara lembut itu bikin deg-degan. Dia yang tadi ketiduran karena semalam bangun jam dua dan tidak tidur lagi, kini terjaga karena mendengar salam barusan. Dia bergidik setelah menyadari tidak ada orang lain di sini. "Ini rumah Pak Hamdan!"
Damar berkedip beberapa kali, melihat kain murahan hitam yang tidak tembus pandang. "Kamu siapanya Pak Hamdan?"
"Anak."
Damar memutar bola mata, mencoba mengenali suara yang amat lirih. "Kamu Anna Arista?" Matanya membulat sempurna dan menunggu tetapi tak mendengar jawaban "Sungguh benarkah itu kamu, Rist?"
"Pergilah Damar! Di sini tidak ada abi dan umi. Nanti ada fitnah!"
"Itu beneran kamu Rist? Ya itu kamu." Damar berjongkok di depan tabir. Kenapa Anna bersembunyi?
Anna bisa melihat siluet dari balik kain. Teman masa kecilnya itu kini sudah tumbuh 2 kali dari terakhir melihatnya. "Pergi, Mar!"
"Kenapa kamu menyuruhku pergi? Kita berteman dari kecil, bermain bersama. Aku ingin berbicara denganmu seperti dulu."
Anna merindukan suara itu. Kedekatan antara mereka kini tak bisa seperti dulu karena mereka sudah besar. "Tidak bisa lagi, Mar! Kamu bukan muhrim."
"Lalu apa aku harus menjadikanmu sebagai muhrimku?"
Anna meremas kainnya.
"Kenapa tidak jawab Ris? Jika kamu mau, aku akan bilang ke Ayah Malik!"
Ana memeluk lutut mendengar nada yang serius. Memang ya semudah itu laki-laki mengucapkannya!
"Ibu menyuruhku mengantar ponsel." Damar mengecek ponsel di pangkuannya. Dia sampai duduk di tangga dari tanah. "Kalau kamu malu berbicara denganku, kamu bisa mengobrol lewat ini."
"Sebentar, aku cek masih aktif nggak operatornya." Damar sibuk mengotak-atik lalu matanya bersinar. "Alhamdulillah, masih aktif!"
Damar mengambil ponsel sendiri lalu mengisi pulsa lewat m-banking untuk didaftarkan paket internet satu tahun.
"Untuk apa Bu Rini memberiku ponsel?" Tanya Ana dengan penasaran.
"Tidak tahu, mungkin biar ibuku mudah kalau mau minta ditemenin kamu ke pengajian. Oh ya kedepannya aku akan mengisi pengajian di masjid A A'la!"
Azzam mengikuti Damar yang tadi turun ke arah sungai. Dia terkejut pada gubug, dan hanya kaki laki-laki yang terlihat sampai separuh paha. "Apa yang Damar lakukan di sana?"
"Bagaimana aku memberikan ini padamu kalau kamu tidak keluar?" tanya Damar dan tak menyadari orang lain di sana.
"Apa?" gumam Azzam dengan pikiran macam-macam. Apanya yang keluar? Pikiran Azzam jadi kotor dan pemasaran dengan dimana posisi kepala Damar.
"Mar di sini tidak ada listrik. Aku juga perlu ijin sama abi."
"Kenapa pake listrik! Memang mereka mau ngapain sampai minta ijin? Atau mau pergi malam-malam?" gumam Azzam lagi dari sisi luar gubug bagian kanan.
"Pokoknya aku tinggalin ini di sini. Nanti kalau baterainya mau habis, kamu bisa berikan kepadaku saat sholat jamaah di masjid. Lalu aku charger di rumah, atau di masjid kan ada colokan." Damar memegangi dadanya yang berdebar tak terkendali.
"Tidak a, bawa saja! Tolong kamu pergi dari sini!"
"Aku akan bilang ke Umi, Rist, untuk melamarmu dan memberikanmu tempat yang aman. Tidak perlu lagi kamu tinggal di sini, aku jadi sedih tahu!"
Bagaimana kalau ada orang tidak baik ke sini, bahaya! Damar merinding, jadi ingin sekali melindungi Rista.
Azzam menghela napas kasar. Dia pergi dari sana dengan perasaan bercampur aduk. Harapannya semakin menyusut mendengar ucapan Damar.
Sarah mengenali pria yang muncul dari sungai, yang tadi membuat was-was saat di kejauhan sehingga dia mempercepat langkah. "Itu Nak Azzam kan? Kenapa dari sungai!"
Digelindingkan sekantong besar sampah plastik itu, ke beton. Buntalan plastik meluncur ke setapak kecil.
Sarah langsung menuruni beton miring menggunakan tali tambang yang sudah tak terlalu berbentuk. Setiap langkahnya dipenuhi was-was apa putrinya tadi berduaan. Namun, matanya langsung berubah tajam saat melihat kaki laki-laki, itu bukan kaki suaminya. "Anna!"
Damar condong kedepan, ia tersenyum lalu berdiri saat tahu ada mamanya Anna. "Bu Sarah, Assalamualaikum!"
"Nak Damar, mengapa kamu di sini berduaan manti Anna yang jadi bahan omongan!" Sarah mengatubkan bibir dan wajahnya begitu memerah, sampai lupa tak menjawab salam.
Damar berdiri. "Maaf Bu, Damar hanya duduk di tangga. Gini, tadi ibu meminta saya untuk mengantarkan ini ponsel." Dilirik Bu Sarah yang kemudian menuangkan berbagai bahan plastik bekas, di samping gubug.
"Tolong pergi, Nak!" Sarah dengan tatapan tajam lalu mengabaikan Damar.
"Baik, assalamualaikum." Damar langsung melenggang pergi dan dipenuhi perasaan tidak enak.
. "Kamu ini nggak boleh berduaan, Ann!"
"Umi, dia belum ada 10 menit_"
"Yakin?" Sarah makin kesal. "Tetap saja!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments