Bab 5

Melewati jalan selebar setengah meter di samping sungai, Hamdan memandangi langit terang tanpa awan dan bulan purnama begitu indah.

"Assalamualaikum," ucap Hamdan sambil menyibak kain tipis hingga terdengar istrinya yang menjawab salam.

"Walaikum salam!" suara sang putri turut menyusul.

"Kamu belum tidur, Na?" Abi duduk di tikar.

"Belum Abi," ucap Anna serak dari balik tabir.

"Kamu batuk?"

"Enggak Abi."

Hamdan terdiam, tahu suara anaknya seperti habis menangis diam-diam. Dia langsung mendapat elusan di lengannya oleh sang istri, yang menyuruhnya sabar.

Bagaimanapun putrinya begitu lemah, suka nangis-nangis kalau sendirian, ini pernah beberapa kali dia jumpai bersama istrinya sehingga mereka urungkan saat akan kembali ke gubug.

"Ada apa Abi sampai diundang ke rumah Ustad? Apa diminta jadi muadzin lagi," kata Sarah sambil memijat bahu suaminya.

"Bukan. Tapi ... Mau ada yang melamar Anna," bisiknya di telinga sang istri.

"Benarkah Masha Allah Tabrakallah! Abi, siapa pemuda itu?" suara Sarah cukup keras.

Anna sedikit memasang kuping, lalu bangkit dan menyibak kain hingga bisa melihat Abi yang baru menoleh dan menatapnya dengan penuh sesuatu. "Umi kok kesenangan ada apa!" Tanyanya dengan penasaran.

"Nak, ada seseorang yang meminta kamu untuk menjadi istrinya!" ucap Sarah dengan wajah tersinari cahaya luar, tampak kegirangan.

Mata Ana langsung berkaca-kaca, hatinya bergetar. Apa doanya dikabulkan? "Siapa dia Umi? Abi? Apa dia orang yang beriman?"

Hamdan mengelus kepala putrinya yang terlapis hijab. "Kemari lah, duduk dengan baik!" Dia tersenyum pada Anna yang pindah duduk diantara dia dengan Sarah.

"Sebentar, sebelum itu, kamu tadi dapat salam dari Damar."

"Damar Wah Alhamdulillah, dia sudah pulang dari Kairo? Ah walaikumussalam! Boleh Ana besok menemuinya dengan Winda?"

Hamdan tertawa. "Semangat banget?"

"Abi, sudah lama banget! Seperti apa dia sekarang? Apa dia masih seperti itu kecil-kecil cabai rawit." Ana terkikik.

"Abi dengar dia besok ikut serta ke acara bagi-bagi sembako di halaman masjid. Kamu juga diminta Bu Rini untuk mempersiapkan paket-paket itu setelah sholat subuh. Karena akan dibagikan di waktu Dhuha."

"Mashallah berapa sembako Abi?" Tanya Sarah menimpali.

"2000 paket."

"Masha allah, bersyukur ya kita tinggal di daerah ini karena setiap minggu selalu ada sembako gratis. Alhamdulillah, bahkan dalam minggu ini sudah tiga hari berturut-turut," ucap Sarah.

Sarah bersyukur karena sembakonya bisa dijual ke warung Bu RW. "Apa donaturnya pengusaha kaya dari luar negeri itu, Abi?"

"Benar," jawab Abi singkat. Pemuda kaya itu juga yang ingin melamar putrinya. Bukannya senang dia justru takut, terlebih ini orang asing dari Perancis, begitu jauh. Ia merinding karena takut bila anaknya mendapatkan kekerasan di sana, apalagi kalau-kalau mendengar kabar anak semata wayangnya pulang ke Indonesia dengan keadaan tak bernyawa.

Pokoknya segala ketakutan memberondongi kepalanya. Dia menjadi seperti ini tak mempercayai seseorang setelah Rustam merontokkan kepercayaan pada orang asing terutama anak muda.

*

Hamdan merebahkan diri di sisi paling kanan. Dingin dari tanah lembab masih tembus ke atas terpal, walaupun ditambah alas kardus dan masih diberi tikar, tetapi embun itu pasti membasahi kardus hingga tikar yang ditidurinya begitu terasa lembab dan selalu membuatnya menggigil tiap malam. Bibir Hamdan saling memelintir jadi merindukan rumah kecilnya.

"Keluarlah, Kamu tak bisa membayar!"

"Kalau tahu miskin tak usah berlaga hutang!

"Orang kok terlalu bermimpi tinggi mau memiliki menantu kaya!"

Bertubi-tubi umpatan ketiga preman sambil mendorong Sarah dan putrinya yang menangis karena menolak untuk keluar rumah. Sontak ketiga preman yang terpicu emosi memberikan pukulan bertubi-tubi ke tubuh Hamdan.

"Jangan sakiti Abi!" teriak Anna histeris dengan wajah memerah.

"Berhenti tolong berhenti kami akan keluar!" Sarah melesak ke antara serangan mereka, melindungi suaminya dari pukulan hingga dia terkena tendangan menyakitkan di pinggang dan kepalanya.

"Tolong jangan sakiti kami, kami keluar sekarang!" Teriak Anna. Namun, tanpa disangka tiba-tiba seorang preman berbalik dan mencengkeram dagu seputih susu, memandangi seolah mempelajari.

"Cantik juga, putih! Benar nggak Bang?" Tanya seorang preman lalu mengelus pipi Anna yang basah oleh linangan air mata.

"Jangan sentuh putriku!" Hamdan menggeram, saat dua orang di dekatnya berhenti memukul , karena ternyata memandangi anaknya yang memakai piyama lengan pendek dan celana panjang dengan jilbab sedada. Mata para preman tersirat pandangan kotor dn bernafsu, nafas mereka juga bau pekat alkohol dan pastilah orang mabuk tak punya akal dan rasa kasihan.

"Gimana?" Tanya preman itu melepaskan cengkeraman dari dagu lancip sambil meneguk saliva berkali-kali, lalu beralih memegangi bahu gemetar itu seolah mengukur sesuatu, bahkan. Saking takutnya Anna berhenti sesenggukan karena menahan napas.

"Boleh juga!" Preman yang tampak paling seram mengelap liur di bibir sendiri dengan tatapan lapar ke arah dada. Tangannya ke arah jilbab hitam itu pasti mau menjamah.

Anna merinding dan tatapannya kosong. Tubuhnya gemetaran, ia kesulitan menahan mual karena bengisnya tatapan dan garis wajah mereka, hitam kotor dan kumisnya tak beraturan.

...****************...

Kak mohon like ya❤️ sedikit waktu Kakak menekan like sangat berharga dalam mendukung pikiran Author untuk semangat berkarya. Terimakasih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!