Bab 19

"Bang Azzam, ini belum satu minggu ... " Anna ingin sekali menerima tetapi tiba-tiba perasaan trauma pada laki-laki kembali membayanginya.

"Iya ... ? Aku, sabar menunggu ko."

"Anna mau mengucapkan terimakasih untuk es duren ini, semoga rejeki Abang makin berlimpah."

"Aamiin," timpal abi dan umi.

Azzam mengangguk dan hanya menatap kresek dalam pegangan Anna. Setelah kepergian mereka, lelaki itu duduk dengan lesu.

...----------------...

Sebuah rumah kecil dengan cat putih mengelupas. Lokasinya di belakang masjid, kini dipandangi Anna saat umi membuka kunci rumah.

"Beristirahatlah di kamar dengan umi. Abi mau ke masjid."

"Abi tidak mau lihat-lihat dulu?"

Hamdan menggelengkan kepala sambil menarik kunci dari pintu. "Abi sudah pernah kesini sewaktu benerin kran air."

"Iya, Abi." Anna merebut kumpulan kunci. "Sini biar Anna lepasin."

Hamdan mengambil satu kunci serep pintu depan. "Begitu Abi pergi, langsung di kunci ya. Abi mau ambil makanan di gubuk. Apa ada yang mau kamu ambil?"

"Nggak ada. " Anna tersenyum dari balik cadarnya. Ia mengelus lengan Abi saat mendapati kecupan di kening.

Semoga Allah memberi banyak kebaikan untuk Abi. Aamiin.

...----------------...

"Anna?" panggil Sarah. Dia duduk di samping putrinya yang baru selesai berdoa.

"Umi?"

"Sabar," suara Sarah begitu lembut saat anaknya melepas mukena bagian atas.

Anna mengukir senyum kecut. "Sulit ya Umi untuk melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup kita."

"Umi mengerti apa yang kamu rasa." Sarah dengan nada keibuan. Ia sendiri tak bisa lolos dari rasa sakit seperti itu. Bedanya, ia rindu kakak-kakaknya.

"Kenapa begitu mudah Mas Alam melupakan Anna dan menikah tak lama setelah dia melakukan ini ke Anna?"

"Menikah?"

"Iya. Anna tahu dari Winda. Umii." Anna mengambil napas. "Dia nikah di Bandung!"

Bibir Sarah berkedut. "Mungkin orang itu hanya mirip."

"Pesta pernikahannya besar. Istrinya sangat cantik, aku melihat foto pernikahan mereka yang diapit orang-orang berjas putih. Istrinya itu lulusan kedokteran, pantas saja Anna ditinggal .... "

Sarah mengangkat wajah Ana. Embun bening mengalir dari tatapan penuh luka. "Allah mengujimu karena cintaNya padamu begitu besar."

"Anna nggak tahu lagi!" Anna menggelengkan kepala, kebencian menyelimuti mata yang kini memerah.

Dengan hati-hati Sarah menangkup pipi yang basah. "Umi itu yakin kamu bisa melalui ini. Semangat ya!"

"Sakitnya ini nggak bisa hilang, Umik ... "

"Tidak akan hilang sampai kamu memaafkannya? Jika kamu bisa memaafkannya maka Allah akan memaafkanmu lalu menghapus minimal sebanyak sepuluh kesalahanmu juga. Gimana?"

Anna menggelengkan kepala. Dadanya yang pegal, diusapnya berharap sebentar bisa menyingkirkan rasa tidak nyaman

"Anna!"

Ditahan dengan kewalahan kedua tangan putrinya, sampai kepala Ana kini jatuh ke pangkuan. "Istighfar!"

Anna batuk-batuk diantara jeritannya. Dia berusaha melepaskan cengkeraman umi.

"Karena Rustam, kamu terkena tipu daya setan?kemana akal sehatmu, Nak? Kamu sendiri tahu dia sudah menikah, artinya dia sudah tidak memikirkan perasaanmu."

Tidak memikirkan perasaanmu.

Ucapan umi menyakitkan bagi Ana. Dia benci kebenaran.

Dia sudah menikah. Kata-kata Umi terus memberondongi pikiran Anna.

"Jadi kamu masih mau meratapi penipu itu? Ingat, Azzam menunggu jawaban mu! Terimalah dan mulai isi kepalamu dengan segala hal tentang dia!"

...----------------...

Setelah dimarahi umi semalam, Anna menjadi pendiam. Dia memindahkan tas berisi baju abaya miliknya. Di depan gubug dua lelaki menghadang langkahnya. Anna sama sekali tak mendongak saat melihat sarung yang dipakai Damar dan celana kain yang dipakai Azzam.

"Biar aku bawakan. Bidadari, kamu tak boleh bawa berat-berat. Kan kamu gak memakai selendang."

"Apa itu selendang? Lalu apa hubungannya Anna dengan selendang?" Tanya Azzam heran.

"Loh, kalau Bidadarinya nggak pake selendang atau kain, jadi nggak bisa terban!" Dia jadi nggak bisa kembali ke kayangan?"

"Kayangan itu apa?" tanya Azzam dengan serius.

"Langit! Ya elah kayangan itu langit! Susah ya kalau ada orang asing, dikit-dikit gangguin!"

"Mana bisa terbang pakai kain? Yang ada terbang menggunakan mesin jet," tegas Azzam.

"Hahaha! Grrrrrr, itu dongeng! Dongeng o'on!"

"Apa itu o'on?" Azzam makin mengerutkan alis.

"O'on itu ganteng!"

"Oh, terimakasih. Kamu juga o'on," kata Azzam dengan serius. Sontak Damar mendelik. Sementara abi yang mendengarnya di dalam terkekeh.

Ana berkedip malas dengan masih tertunduk. Dia bergeser ke kanan tanpa ekspresi, melewati mereka begitu saja.

"Loh, dia marah kan? Kamu sih!" Azzam menimpuk punggung Damar dan lekas menyusul Ana.

"Lho! Aku kan cuma mau menghibur!"

"Bisa tolong bawakan tikar ini? "Hamdan menyodorkan tikar ke pintu dan Damar langsung merebut lebih cepat dari Azzam.

"Siap Abi!"

Alis Pak Hamdan terangkat, sedikit tak nyaman dengan panggilan yang dilakukan Damar. "Panggil biasa saja, nggak enak jadinya saya sama Ustadz Malik."

"Pak Hamdan ya? Masa, Azzam saja boleh, saya tidak?"

"Karena dia calon menantu Bapak."

Mata Damar membesar. Dua sudut bibirnya merosot. Ya Allah, kecewanya.

Azzam terkekeh kecil sambil berlalu mendengar itu.

"Jangan sedih, Damar. Sebenarnya Bapak ingin kamu jadi menantu Bapak. Tetapi semua itu kan kembali ke Anna."

Mata Damar berubah menjadi antusias. Sebenarnya orang tua ini mendukung ke siapa si ?

Barang-barang keluarga Hamdan sudah berpindah ke rumah kontrakan dengan bantuan mobil box yang didatangkan Damar.

"Tunggu kalian mau ke mana, makan dulu, tetapi seadanya ya?"

"Ngerepotin, Pak!" Damar dengan mata berbinar saat melihat Anna membawa nampan lalu memindahkan bakul nasi dan semangkuk mie kuah, ke depannya.

"Kalian makan dulu." Abi berkata cepat saat dua pemuda itu justru terus memandangi putrinya. "Anna, belikan kerupuk."

"Tidak usah Abi, ini sudah cukup," kata Azzam tak tega karena Pak Hamdan jadi mengeluarkan uang, tetapi pria itu tetap mengeluarkan uang lima ribu dan memberikannya ke Anna.

"Jangan malu-malu," ucap Hamdan sambil berdiri setelah kepergian Ana. "Bapak masuk ke kamar ya."

"Abi nggak ikut makan?" Tanya Azzam.

"Sudah-sudah tadi-" Hamdan berbalik dan menekan maskernya saat batuk-batuk.

Azzam dan Damar saling berpandangan saat melihat batuk Pak Hamdan sampai mengejan-ngejan bahkan saat pria itu di dalam kamar semakin keras terdengar.

Di kamar Hamdan merasakan ada gumpalan di tenggorokan. Dia mengambil tisu. Apa dahaknya seperti tadi pagi hijau kekuningan keruh?

Hamdan membuka masker dan meludahkan dahak. Matanya mendelik melihat warna kontras pada tisu. Dia menutup mulutnya yang keluar cairan merah. " .... "

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!