Setelah makan malam selesai, keluarga besar berkumpul di ruang keluarga. Ini kebiasaan mereka sejak dulu. Saat ulang tahun pernikahan orang tuanya, Jonathan dan kakak-kakaknya akan tinggal sampai besok, mereka akan tidur di rumah utama di tempat mereka tumbuh.
“Papa lihat Nadine gadis yang baik, kamu harus jaga dia baik-baik” seperti yang Jonathan sudah duga kalau dia yang akan jadi bahasan malam ini. Tapi tentu saja Jonathan sudah mempersipakan semuanya dengan baik.
“Iya, Pa. Jo pasti jagain Nadine,” katanya.
“Kamu ketemu di mana?” Marisa yang bertanya.
“Di jalan, Ma. Waktu itu dia nangis-nangis di jalan abis pergokin pacarnya selingkuh. Jo nggak tega, jadi Jo antar dia pulang.”
Semua orang saling pandang. Jonathan, mau perduli pada orang lain?. Benarkah?
“Biasanya juga kamu nggak perduli sama orang lain, waktu itu aja ada yang kecopetan di depan mata kamu, kamu liatin aja. Terus kenapa kamu perduli liat orang nangis, kamu nggak kenal lagi,” kata Jeny dengan tatapan tidak percaya. Dia yang paling dekat dengan Jonathan, tentu saja dia tahu bagaimana sikap adiknya itu.
“Mungkin karena itu Nadine makanya aku perduli,” semua bungkam. Saling bertanya dalam hati, benarkah laki-laki yang di depan mereka itu Jonathan?
Sejak kapan Jonathan yang memiliki hati seperti batu bisa melihat orang lain, dan bagaimana seorang gadis bisa sampai meluluhkan hatinya. Sedangkan mereka semua tahu, sejak putus dengan Sofia beberapa tahun yang lalu, Jonathan yang dingin menjadi semakin dingin. Hatinya jadi beku, tidak ada yang orang lain yang dia anggap penting selain orang tua dan saudaranya.
“Umur kamu sudah nggak muda lagi, Jo. Kalau kamu sudah mengenal Nadine dengan baik, nggak usah lama-lama buang waktu dengan hubungan yang tidak jelas. Nikahi dia.”
Jonathan tersedak ludahnya, menikah? Dengan Nadine? Tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benak Jonathan. Dia bahkan masih bimbang dengan perasaannya pada Sofia, jadi masih sangat lama untuknya berfikir untuk menikah. Dan dengan Nadine, tentu itu tidak mungkin bagi Jonathan. Gadis itu sangat jauh dari levelnya. Bukan dalam urusan kasta atau derajat. Jonathan bisa melihat betapa berantakannya gadis itu dalam kesehariannya, jadi tidak akan mungkin dia bisa hidup berdampingan dengannya.
“Kenapa? Kamu nggak serius sama dia?”Erick menangkap raut terkejut di wajah anak bungsunya itu, dan perubahan wajah Jonathan juga bisa di tangkap dengan jelas oleh Jeny. Tapi itu hanya beberapa detik, karena Jonathan sudah kembali dengan wajah tenangnya.
“Jo masih belum berfikir untuk menikah, Pa. Masih lama,” Jo berkilah.
“Kamu tahukan, kalau papa tidak pernah perduli latar belakang orang lain. Selama orang itu bisa membuat anak papa bahagia papa pasti akan merestui.” Ucapan Erick di ikuti anggukan Marisa.
“Tapi Jo belum mau nikah, Pa. Jo masih...”
“Masih belum move on dari Sofia,” potong Jeny dengan cepat. Jonathan buru-buru mengalihkan pandangannya saat mata tajam Jeny menatapnya dengan menaikkan sebelah alisnya. Kakaknya itu seolah mengatakan ‘jangan membohongiku’.
Jeny tadi sempat melihatnya bersama Sofia dan yang parahnya, kakak perempuannya itu juga melihatnya berciuman dengan mantannya itu atau lebih tepatnya Jeny melihat wanita itu yang mencium adiknya duluan. Tentu Jeny jadi curiga kalau mereka masih ada hubungan yang masih mereka rahasiakan dan menggunakan Nadine sampai mereka yakin untuk mempublis kembalinya mereka.
“Jo” suara Erick masih terdengar lembut walaupun dia menyebut nama putranya itu dengan penuh penekanan.
“Kalau kamu memang masih mencintai Sofia, tinggalkan Nadine. Jangan menyakiti orang lain. Umur kamu sudah lewat kalau untuk main-main.” Sekali lagi Erick menegaskan pada Jonathan.
“Jo nggak berniat main-main sama hati orang, Pa. Jo hanya belum yakin apakah Nadine bisa menjadi pasangan yang baik untuk Jo. Jo masih mencoba mengenalnya dengan baik.” Jonathan semakin pandai saja merangkai kata-demi kata agar kebohongannya terlihat sempurna.
“Lalu kamu ke Sofia?” Gantian Jo yang menelisik Kakaknya, dan dari yang Jo lihat kakaknya itu tahu tentang pertemuannya dengan Sofia tadi.
“Kenapa? Apa aku nggak boleh ketemu sama dia lagi?”
“Bukannya nggak boleh, tapi kamu harus jaga jarak sama dia,” Jericho ikut berbicara.
“Memangnya kamu masih cinta sama dia, Jo. Dia kan tinggalin kamu dulu, dia lebih pilih karirnya dari pada kamu. Masak iya kamu masih bisa punya perasaan sama dia. Mama nggak setuju ah kalau kamu balikan sama dia.” ucapan Marisa diiringi anggukan setuju dari Jeny dan Jericho. Mereka semua melihat bagaimana hancurnya Jo saat itu. Dia menenggelamkan dirinya di dalam pekerjaan, tidak perduli lapar atau ngantuk. Jo terus membuat dirinya sibuk untuk melupakan rasa sakitnya karena patah hati. Ya, hanya itu yang mereka tahu bahwa Jo sedang patah hati karena Sofia meninggalkannya dan demi bisa fokus pada pendidikan dan bisnisnya.
Bukan tidak mungkin jika suatu saat mereka kembali bersama, Sofia akan kembali meninggalkan Jo. Apalagi saat ini wanita itu sedang berada di karir terbaiknya. Marisa tentu tidak ingin melihat anak kesayangannya itu terpuruk untuk yang kedua kalinya.
“Semuanya papa serahkan ke kamu Jo. Kamu pasti bisa melihat mana yang terbaik untuk kamu.”
Percakapan malam itu selesai. Jonathan sampai tidak bisa tidur di buatnya. Kembali pada Sofia? Memaafkannya? Benarkah hatinya masih sama? Benarkah dia masih mencintai wanita itu?. Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya. Apalagi ciuman Sofia tadi membuatnya kembali bimbang.
Tidak, Jonathan mengusap kasar mukanya. Di mana harga dirinya jika dia kembali lagi bersama wanita itu. Dia harus melupakannya, melupakan wanita yang sudah meninggalkannya dan membuatnya kehilangan kesempatan untuk menjadai orang yang sangat bahagia dan membuatnya merasakan kehilangan yang luar biasa. Tapi bagaimana caranya jika wanita itu selalu mencoba mendekatinya. Tiba-tiba Jonathan teringat pada Nadine, dia mungkin masih bisa menggunakan Nadine untuk membuat Sofia menjauhinya. Walaupun dia sendiri tahu kalau Sofia bukan wanita yang gampang menyerah.
Sudah seminngu setelah acara itu, Jonathan sama sekali tidak pernah lagi menghubungi Nadine. Padahal sebenarnya Nadine sangat ingin tahu apakah Jonathan berhasil dengan kebohongannya ataukah dia ketahuan dan di marahi habis-habisan oleh orang tuanya. Sungguh Nadine di buat sangat penasaran. Bukannya perduli, dia hanya ingin tahu saja.
Tapi Nadine sama sekali tidak punya nyali untuk menghubungi Jonathan lebih dulu. Tentu saja gadis itu takut di abaikan. Mungkin Jonathan akan me reject panggilannya jika dia menelpon duluan, atau tidak akan membalas pesannya jika dia mengirim pesan.
“Kenapa juga aku perduli, harusnya aku senang dong nggak perlu bohongin orang lagi,” Nadine menggeleng-gelengkan kepalanya, dia bingung pada dirinya sendiri.
Nadine sudah bersiap-siap menutup tokonya saat hari sudah merangkak sore. Dia sudah membersihkan dirinya, mengganti baju dan memakai sepautnya. Lalu sebuah suara memanggil namanya dengan begitu hangat.
“Kak, Kak Arya.” Nadine menghambur memeluk laki-laki yang dia panggil Kak Arya. Laki-laki itu tersenyum lalu meyambut pelukannya. Mengusap rambutnya dengan sayang. Mereka mengurai pelukan. Laki-laki itu menatapnya dan tersenyum, hati Nadine menghangat. Dia sejenak melupakan semua kejadian buruk yang dia lalui beberapa waktu belakangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments