Nadine menghela nafas, dia sangat lega akhirnya meninggalkan tempat itu. Dia melirik kesal pada Jonathan.
“Maaf,” Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Jonathan saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.
“Pak Jo dari mana aja sih,” kata Nadine dengan kesal.
Saat Jonathan meninggalkannya tadi, kakak-kakak Jonathan mengintrogasi Nadine seorang diri. Mereka tidak bertanya awal pertemuan mereka atau semacamnya. Mereka hanya bertanya bagaimana cara Nadine menaklukan Jonathan yang kaku dan dingin. Jericho bahkan sangat menyayangkan gadis secantik Nadine bisa jatuh cinta pada adiknya yang menjengkelkan itu.
“Bisa nggak kamu nggak usah panggil saya ‘Pak,” protes Jonathan. “Lagian kamu kan bukan bawahan atau karyawan saya, jadi nggak usah formal gitu ke saya.”
Jonathan sudah merasa nyaman mendengar Nadine memanggil namanya tanpa di awali dengan kata ‘Pak di depannya. Terdengar seperti sangat akrab baginya.
“Eh, tapi yang tadi itu siapa?” Jonathan menaikkan alisnya. “Perempuan yang tarik tangan kamu,” sambungnya.
“Sofia,” jawab Jonathan terdengar malas menyebut nama itu.
“Iya, saya tahu dia itu Sofia Karla. Maksud saya dia apanya kamu?” Jonathan lagi-lagi menautkan alisnya.
“Kamu kenal? Kayaknya kamu kenal banyak orang.”
“Siapa yang nggak kenal dia sih, dia kan dokter kecantikan sekaligus owner skincare yang lagi booming banget di negeri ini,” jelas Nadine. “Justru kamu yang kenal banyak orang, bahkan kamu anaknya konglomerat.” Tambahnya lagi.
“Tapi kamu belum jawab pertanyaan saya, Sofia Karla itu siapa. Pacar, atau udah mantan atau dia naksir kamu atau kamu yang naksir dia?”
Jonathan tertawa kecil mendengar pertanyaan Nadine, gadis itu menampilkan wajah bingung. Entah di mana letak lucu dari pertanyaannya hingga membuat Jonathan tertawa.
“Kamu lapar?” tanya Jonathan balik, dia sama sekali tidak berniat membahas Sofia. Dia akan teringat dengan apa yang di lakukan wanita itu padanya tadi setiap kali dia mendengar atau menyebut namanya.
Nadine mendengus kesal, dia yakin kalau Jonathan ada hubungan yang tidak biasa dengan Sofia. Dia akan mencari tahu itu nanti, dia penasaran kenapa bukan wanita itu saja yang dia bawa dan kenalkan pada keluarganya. Atau jangan-jangan keluarganya menolak hubungan mereka sehingga mereka harus sembunyikan hubungan mereka dari keluarga Jonathan.
Tapi sepertinya kecil kemungkinannya seperti itu. Keluarga mana yang akan menolak wanita sempurna seperti Sofia. Cantik, punya pekerjaan yang bisa di banggakan. Nadine mendesah, apa kira-kira hubungan antara Jo dan Sofia. Tapi apapun itu Nadine berharap dia tidak akan berada di tengah mereka. Dia tidak mau membuat hidupnya rumit untuk mengurusi percintaan orang lain.
“Mau makan dulu atau langsung pulang?” ulang Jonathan.
“Saya malu di ajakin makan melulu, saya makan di rumah aja,” tolaknya sedikit menyindir Jonathan. Laki-laki itu membentuk garis halus di bibirnya.
Jonathan memarkirkan mobilnya di sebuah restoran, Nadine menoleh padanya seolah bertanya kenapa kita kesini.
“Saya nggak mau kamu pulang kelaparan. Saya kan ajakin kamu ke pesta, masak iya kamu pulang dengan perut kosong.”
“Tapi kalau saya makan banyak kamu malah bilang saya rakus, nggak tahu diri. Kamu sendiri yang bilang.” Nadine mengingatkan Jonathan ucapannya sendiri tempo hari. Sekali lagi Jonathan mendenguskan tawa, sepertinya malam ini dia banyak tertawa karena ucapan sederhana gadis itu.
“Maaf, tapi kan memang kayak gitu.” Jonathan tidak mendengar lagi apa yang Nadine katakan di belakangnya, dia terus berjalan dengan senyum samar di wajahnya sedangkan Nadine mengikutinya di belakang.
Mereka makan di ruang privat seperti biasa. Jonathan hanya memesan minuman karena sudah janji pada Marisa bahwa dia akan segera kembali untuk makan malam bersama keluarga besarnya.
“Kamu nggak makan?” tanya Nadine saat pelayan restoran hanya menyajikan makanan di depannya.
“Nggak,”
“Kenapa, tahu gitu saya juga nggak usah makan,” Nadine merasa tidak enak Jonathan menungguinya makan.
“Kenapa, kan saya yang ngajakin kamu makan,”
“Nggak enak makan sendirian,” kata Nadine. Gadis itu menatap Jonathan cemberut lalu memaksa masuk makanan yang sudah terlanjur tersaji itu.
“Jadi saya nggak perlu lagi kan ketemu keluarga kamu?” Nadine bertanya sambil menguyah. Sungguh Nadine tidak ingin lagi berada di tengah keluarga itu. Jika sampai bertemu mereka lagi, Nadine takut kebohongannya dan Jonathan mungkin akan terbongkar.
“Habisin makanan kamu dulu baru ngomong,” tegur Jo, dia paling tidak suka melihat orang berbicara saat makan, hal yang jauh berbanding terbalik dengan Nadine.
Ponsel di atas meja berdering, itu ponsel Jonathan.
“Ya, Ma,” terdengar Jonathan sangat malas untuk menjawab panggilan itu. Marisa pasti memintanya segera pulang untuk makan malam bersama.
“Kamu sudah antar Nadine?” tanya Marisa dari seberang sana.
“Sudah, Ma,” jawab Jo.
“Terus kamu di mana, Mama sama Papa tungguin kamu loh. Kita kan mau makan malam bareng,” Jonathan menatap Nadine, “Jo lagi di jalan mau balik ke rumah”.
Entah apa yang Marisa katakan selanjutnya, Nadine hanya mendengar Jonathan mengatakan oke dan meletakkan ponselnya kembali di atas meja di samping kunci mobil dan dompetnya.
“Kamu langsung balik aja, biar aku pulang naik taksi,” dari yang Nadine tangkap, Marisa meminta Jo segera kembali kerumahnya.
“Memangnya kamu pikir saya ini laki-laki macam apa, masak iya saya jemput kamu baik-baik terus saya biarin kamu pulang sendiri. Kamu nggak liat penampilan kamu, entar kalau ada yang jahatin kamu kan saya juga yang jadi repot.” Nadine melihat penampilannya, jas yang bertengger di bahunya sudah dia kembalikan pada Jontahan. Penampilannya memang bisa saja memancing niat jahat orang lain. Apa lagi lekuk tubuh Nadine tergambar jelas dalam balutan baju itu
Jonathan bergegas mengambil semua barangnya di atas meja. “Ayok” ajaknya saat Nadine telah selesai makan. Nadine pun tidak bisa berkata apa-apa selain mengkutinya.
Perjalanan mereka hanya di temani kesunyian, tidak ada yang membuka suara hingga mobil Jonathan berhenti tepat di depan pagar rumah Nadine. Hingga Jonathan kembali melajukan mobilnya tidak ada pembicaraan apapun lagi di antara mereka.
Jonathan membawa mobilnya melaju dengan cepat, jalan malam itu cukup sepi sehingga tidak butuh waktu lama Jonathan sudah sampai kembali di rumah mewah orang tuanya.
Saat dia masuk, suasana rumah sudah sepi dari tamu-tamu. Yang ada hanya hilir mudik pelayan yang sedang membersihkan sisa-sisa keramaian pesta.
“Pak, sudah di tunggu di ruang makan” Jonathan hanya mengangguk dengan wajah datarnya lalu berjalan menuju ruang makan utama keluarganya. Di sana sudah menunggu ayah ibu serta kakak dan kakak iparnya.
“Jo, ayok sini” Jo menarik kursi kosong yang berada di samping ibunya. Lalu saat sang Tuan Besar sudah mulai memberi intruksi untuk makan, semua mulai memakan hidangan utama yang tersaji di atas meja makan panjang itu.
Rupanya kebiasaan Jonathan yang makan tanpa suara itu adalah turunan dari ayahnya. Di meja makan saat sudah mulai mengunyah, tidak ada yang boleh berbicara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments