Jangan Kembali

Usai vonis Markus dijatuhkan, tak sampai dua Minggu rupanya tanggal eksekusi telah ditetapkan.

Entah bagaimana para ahli hukum itu menyikapi hal ini, hukuman Markus seakan dipercepat dan tak memberikan kesempatan untuk tergugat mengajukan banding. Seolah kematian Markus adalah hal yang dinanti-nanti.

Takut? Entahlah, yang Markus rasakan saat ini hanya perasaan kesal dan geram terhadap orang yang sudah menjebaknya.

Bisa-bisanya tak ada yang menemukan bukti untuk menguak siapa pelaku yang asli, Markus memang punya banyak musuh bisnis, namun ini baru pertama kalinya ia dituding berbisnis narkotika jenis sabu dengan jumlah yang luar biasa.

Dan kasus tersebut menyeret dirinya ke ujung kematian yang bukan ditentukan oleh Tuhan.

"Sebelum eksekusi dilangsungkan anda berhak mendapatkan tiga permintaan terakhir asalkan tidak melenceng dari beberapa syarat ketentuan. Anda boleh memikirkannya dari sekarang, diskusikan terlebih dahulu dengan pengacara anda, karena tiga permintaan ini adalah kesempatan yang sangat berharga sebelum hari H tiba" tutur sang polisi membacakan mekanisme untuk terpidana m*ti.

Markus mendengar dengan seksama, ekspresi dingin dan sorot matanya yang mencekam membuat sang polisi berdehem guna menetralkan suasana.

"Apa anda sudah paham?"

"Ya" jawab Markus cepat.

"Sepertinya anda sudah menyiapkan permintaannya ya, baguslah.... Beritahu kami jika anda sudah menentukan ketiga permintaan tersebut" pikir polisi.

Markus tetap diam tak menimpal celotehan pria berseragam didepannya, bahkan selama persidangan hingga saat ini ia tak menjual kesedihan untuk meminta rasa iba, sampai membuat para pengurus geram melihat wajahnya yang cenderung sombong.

"Bawa dia kembali ke dalam sel" titahnya ke pada bawahan.

Markus dikembalikan lagi setelah diberi informasi, apa yang harus dia pinta? Markus hanya ingin dibebaskan karena ia tak bersalah, tapi apalah daya semuanya tutup mata dan telinga, apa gunanya tiga permintaan itu.

"Tunggu dulu!" Seru seseorang yang baru saja masuk.

"Ada apa pak Erik?" Sahutnya pada pengacara Markus disana.

"Masih ada yang mau saya bicarakan dengan klien saya, tolong beri kami waktu sepuluh menit saja" mohonnya dengan sangat.

"Waktu kunjungan akan dibuka pada jam berikutnya, ini peraturan!" Ujar petugas sempat menolak.

"Saya mohon untuk kali ini saja, saya bukan sekedar ingin bertemu tapi ada hal penting yang harus dibicarakan" pengacara Erik bernegosiasi supaya dia bisa diberi kesempatan untuk berbicara dengan sang terdakwa, meski tidak mudah namun dia tetap berusaha meyakinkan.

Akhirnya polisi tersebut pun mengizinkan dan membiarkan keduanya untuk berdiskusi, ditemani dengan Hardin, pengacara Erik mulai membuka suara.

"Saya sudah menyiapkan tiga permintaan yang harus anda ajukan, permintaan ini tidak boleh sampai meleset, karena sudah saya siapkan rencananya" bisiknya dengan raut wajah datar agar tak dicurigai pengawas ataupun cctv.

Pengacara Erik memberikan secarik kertas pada Markus, membiarkan kliennya tersebut membaca dengan teliti.

Markus membaca tiap bait secara berulang-ulang, kedua alisnya mengerut ketika menangkap rencana yang menurutnya sangatlah aneh.

"Kau yakin ini tidak beresiko?? Aku bahkan bisa dihukum lebih berat lagi jika gagal melakukan rencanamu!" Desisnya terheran.

"Sudah saya pikirkan matang-matang, selebihnya saya serahkan pada anda, anda sendiri yang bisa menentukan kemampuan anda. Dan satu lagi...."

"Apa?" Tanya Markus penasaran.

"Jangan kembali sebelum kami menemukan pelakunya"

***

Tok Tok Tok!

"Mbak vanessss...!"

"Permisi....... Mbak?"

Tok Tok Tok!

"Yaaaaaa sebentar....."

Clekkk

"Siapa? Oh... Mbak Dwi, ada apa mbak?" Begitu melihat salah satu tetangganya yang lain datang.

"Maaf mengganggu waktunya ya, mbak Vanes. Ini saya bawa teman SMA saya, dia bilang mau cari kontrakan kebetulan saya lihat tulisan kalau rumah mbak mau disewakan, jadi saya bawa dia kesini untuk tanya-tanya" jelasnya detail.

Pandangan Vanes berpindah pada wanita berambut pendek itu, mereka saling lempar senyum sejenak sebelum Vanes mempersilahkan keduanya masuk terlebih dahulu.

"Boleh, mbak. Silahkan masuk ke dalam, kita ngobrol di dalam saja biar lebih enak" Vanes pun membuka pintu rumah selebar mungkin.

Dua wanita itu duduk di kursi tamu sedangkan Vanes berjalan dapur untuk membawa minuman bagi tamu-tamunya.

"Silahkan diminum, mbak"

"Waduh... Kami jadi merepotkan mbak Vanes saja"

"Sama sekali tidak, jadi bagaimana Mbak Dwi?" Ucap Vanes ingin tau lebih lanjut.

"Sebelumnya perkenalkan ini teman saya, namanya Putri. Kebetulan dia sedang mencari kontrakan, nantinya akan diisi oleh suami juga dua orang anaknya. Saya lihat mbak Vanes sedang menyewakan rumah ini ya, apa betul?"

"Ahhh.... Betul, mbak. Tapi tadinya saya kira hanya mbak Putri saja yang akan tinggal, karena sebenarnya saya cuma menyewakan lantai duanya saja, itupun hanya ada satu kamar dengan toilet di dalam dan satu lagi ruang kerja. Untuk dapur, gudang, dan lainnya ada di lantai bawah yang mana sepertinya tidak akan kondusif jika dipakai bersama-sama, sepertinya untuk satu keluarga butuh tempat sewa yang memang full satu rumah" jelas Vanes dengan berat hati.

Wanita bernama Putri itu tampak sedikit kecewa, karena jika dilihat rumah ini memiliki kawasan yang strategis dan juga dekat dengan rumah teman lamanya, namun sayang hanya disewakan lantai atasnya saja.

"Begitukah? Saya kira satu rumah utuh, seharusnya saya tanya dulu mbak Vanes sebelum membawa teman saya kemari" ungkapnya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tidak enak hati sudah membuat sang kawan jauh-jauh pergi kesini.

Vanes tersenyum masam karena ia juga sepertinya kurang tepat dalam memberi informasi, sehingga yang melihat salah mengira.

"Maaf ya, mbak. Sepertinya hanya bisa untuk satu orang saja, kan tidak enak juga kalau semisal suami mbak Putri sering melihat saya, ditambah akses untuk keluar masuk hanya bisa dari pintu di lantai satu saja"

Sang peminat mengangguk mengerti, ia paham dan juga memilah-milah yang terbaik untuk keluarganya tinggal. Apalagi yang ia dengar Vanes seorang janda yang baru ditinggal suaminya meninggal.

"Tidak apa-apa, mbak. Mungkin memang bukan jodohnya tinggal disini, tapi kalau suatu saat nanti mbak berniat menyewakan rumah ini dua lantai full bisa hubungi saya ya" ucap Putri masih berharap.

Vanes mengangguk dengan senyum penuh, ia senang jika ada orang yang berminat tetapi hatinya memang belum tergerak untuk pindah dari rumah yang sebenarnya menyimpan kenangan buruk untuknya.

"Nanti pasti saya kabarkan melalui Mbak Dwi ya"

"Kalau begitu kami pamit dulu, terimakasih atas jamuannya" keduanya lantas berdiri dan pamit untuk pergi.

"Sama-sama, saya juga berterimakasih karena sudah mau repot-repot kemari"

"Tentu, mbak. Ingat pesan saya ya" tanggapnya.

"Iya mbak, tenang saja pasti saya hubungi mbak lebih dulu sebelum yang lain"

Dan mereka pun pergi dari kediaman Vanes dengan perasaan yang sedikit dibuat kecewa.

Terpopuler

Comments

Eka Bundanedinar

Eka Bundanedinar

nah ini rencana pngacara suruh markus kabur

2024-05-11

2

moominRJ

moominRJ

Calon jodoh utiwi bntar lagi mbak vanes😁

2024-05-10

1

Anik Trisubekti

Anik Trisubekti

sebentar lagi pengontrak rumah san hatimu akan segera datang Nes

2024-05-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!