"Tumben senyum-senyum, ada apa nih?"
Menyadari tingkah aneh sang putri, membuat Mekar tak kuasa untuk tidak bertanya.
"Itu Bu, sekarang lantai atas sudah ada yang mengisi, baru kemarin malam ditempati" ungkap Vanes memberitahu.
"Oh ya? Siapa itu?"
"Perantau, Bu"
"Perempuan?" Tanyanya lagi.
Senyum Vanes mendadak surut, ditanya soal gender ia agak ragu sebab mereka bukanlah sesama jenis. Tapi Vanes tak mau menutupnya, ia tetap berkata jujur.
"Laki-laki, Bu"
Bu Mekar dan pak Raka dibuat melotot mendengar pernyataan tersebut, keduanya langsung menatap ke arah sang putri dengan sekejap.
"Kamu serius? Berapa orang yang menempati lantai itu?"
"Cuma satu, Bu. Vanes sudah memberitahu kepala desa dan beliau juga mengizinkan selama tidak merugikan siapapun" kata Vanes mencoba menenangkan kekhawatiran orangtuanya.
"Berapa usianya? Apa sudah tua? Sudah punya istri atau belum?" Cecar Bu Mekar menyelidik, sebagai ibu ia tidak akan tenang kalau belum mengetahui identitas pria yang tinggal satu atap bersama putrinya.
"Tidak kok Bu, dia masih lajang. Vanes juga jarang bertemu karena dia selalu ada di dalam kamar, sepertinya dia juga orang yang tidak suka berinteraksi" tutur Vanes.
"Pokoknya mau bagaimana pun dia kamu harus tetap hati-hati ya, nak. Karena kalau ada apa-apa bapak belum bisa bantu dengan kondisi seperti ini" seru pak Raka menasihati, memperingati anaknya supaya selalu berjaga-jaga di setiap situasi.
"Iya, pak. Vanes paham, kalian tenang saja"
Vanes menyuapi kembali sang ayah, hari ini seperti biasa masakan buatannya selalu habis tak tersisa, Vanes senang apalagi melihat ibu dan bapaknya makan dengan lahap.
***
Sepulang dari rumah sakit Vanes mampir ke sebuah toko untuk membeli kunci cadangan, kebetulan tukang yang bekerja adalah orang yang sama dengan yang membuat kunci pintu rumahnya.
Tak lama, setengah jam Vanes sudah mendapatkan kunci cadangan miliknya, kini ia dan Markus bisa memegang kunci rumah masing-masing.
"Terimakasih, pak"
Vanes pulang menaiki kendaraan umum yang memakan waktu sepuluh menit menuju rumahnya, cuaca begitu terik dan menyengat mengenai kulit, Vanes tak sabar ingin buru-buru sampai di rumah.
Hingga angkutan itu berhenti dan Vanes turun sembari membayarkan ongkos, ia jalan kaki sedikit menuju kediamannya.
"Huftttt..... Akhirnya sampai juga"
Segera Vanes membuka pintu dengan kunci yang baru, ia pun lantas masuk ke dalam rumah yang tampak sepi itu.
Vanes mengadah menatap ke lantai atas, seperti sebelumnya sunyi dan tenang bagai tak ada orang.
"Belum keluar juga ya"
Vanes melengos kembali menuju kamar, mengganti pakaiannya dengan baju santai.
Lima belas menit kemudian Vanes keluar dari kamar, ia berjalan ke dapur untuk mengambil air minum.
Dan betapa kagetnya saat Vanes melihat Markus disana, sedang lahap memakan menu sarapan Vanes yang tersimpan diatas meja.
"Astaga! Tuan Ernan" pekik Vanes memegang dada kirinya yang berdebar.
"Kau sudah pulang?" Dengan santainya Markus bertanya demikian.
"A-anda sedang makan?"
"Ahh.... Benar, aku sangat lapar jadi aku meminta sedikit nasi dan lauk pauk yang ada di meja, ini milikmu?"
"Iya, tapi mungkin sudah dingin"
"Tidak masalah, maaf aku tidak meminta izin terlebih dahulu" cetus Markus, meski telah menghabiskan satu porsi piring tapi dia tetap meminta maaf.
"Tidak apa-apa, Tuan. Sejak kemarin saya memang sudah berniat memberi makan malam, tapi saya ragu karena tidak mau mengganggu waktu istirahat anda" ungkap Vanes pada Markus.
"Kemarin aku memang tidur pulas semalaman penuh" Markus membenarkan jika dirinya tidak bangun sejak tertidur pukul 6 petang.
"Sudah selesai makannya? Biar aku cuci" Vanes mengambil piring bekas makan Markus dan membawanya ke wastafel.
Markus mencegah Vanes membersihkan piring kotor itu, "Jangan, biar aku saja yang cuci"
"Sudah tidak apa-apa, Tuan. Saya tidak terbiasa diam" Vanes tetap mencuci piring tersebut sampai mengkilap seperti sebelumnya.
Markus masih disana, memperhatikan wanita yang tengah membelakangi dia, tinggi Vanes mungkin hanya setara dadanya, rambut panjang itu bahkan hampir menutupi seluruh punggung si pemilik, kira-kira berapa usianya? Vanes tampak seperti anak remaja yang baru pubertas, apa wanita ini tidak takut melihat pria sepertinya?
"Kau pergi kemana tadi? Bekerja?" Seru Markus memecahkan keheningan.
"Bukan, aku pergi ke rumah sakit tadi pagi" sahut Vanes.
Kening Markus berkerut, apa yang dilakukan Vanes ke rumah sakit? Perempuan ini nampak sehat-sehat saja kelihatannya.
"Kau sakit?"
"Tidak, bukan saya. Tapi orangtua, bapak sedang dirawat disana" jelasnya.
Markus membisu, mungkinkah ia sudah lancang? Seharusnya ia tak terlalu banyak bicara.
"Tuan sendiri apa hari bekerja?"
Lagi-lagi Markus dibuat berfikir keras, harus alasan apa lagi yang ia buat, dia bisa stress kalau selalu dipaksa berdusta.
"Hari ini cuti"
"Begitukah? Kalau boleh saya tau Tuan bekerja dimana?"
"Eughhh..... Di sebuah perusahaan swasta, di bidang proyeksi tapi aku lebih banyak bekerja di rumah, makanya aku pergi jika ada acara-acara tertentu saja" Markus membual.
Vanes berbalik dan menatap antusias saat mengetahui pekerjaan pria di depannya.
"Wahhh.... Itu sangat keren, aku lihat di daerah sini sudah banyak dilakukan pembangunan-pembangunan meski di pusat kota. Apa mungkin itu salah satu dari pekerjaan anda?"
"Y-ya... Begitulah"
Vanes tersenyum simpul saat mengenang cita-citanya yang dulu ia impikan, bekerja di perusahaan besar dan membeli semua yang dia inginkan, tapi kini semua harus dikubur dalam-dalam.
"Berapa umurmu?" Markus mengubah topik pembicaraan, ia tidak mau berlarut membahas kehidupannya pada orang lain.
"Saya? Tahun ini dua puluh lima"
"Kau terlihat lebih muda dari umurmu" imbuh pria tersebut.
"Benarkah?" Vanes spontan menyentuh wajahnya sendiri, padahal Vanes pikir dia terlihat lebih tua karena terlalu banyak beban pikiran.
Wajah Vanes yang memerah sungguh membuat wanita tersebut bak anak kecil yang malu-malu, apa benar perempuan dihadapannya ini merupakan seorang janda? Rasanya sebutan itu tidak pantas disematkan pada vanessilia.
"Anda juga, tidak seperti orang yang berusia 35 tahun"
Markus tersenyum kecut, itu bukanlah sebuah pujian tapi memang kenyataan. Ia lebih muda lima tahun dari yang diketahui Vanes.
"Aku merasa tersanjung mendengarnya" sahut Markus berbasa-basi.
"Oh ya, aku hampir lupa. Aku berjanji akan membayar uang bulanan"
"Tidak usah terburu-buru, Tuan. Anda boleh membayarnya di akhir nanti"
Tetapi Markus kekeuh ingin melunasinya sekarang.
"Jangan, aku akan bayar selagi ingat. Berapa harganya? Sepuluh juta cukup?" Tanya Markus mengira.
Vanes hampir tersedak ludah sendiri, ia sampai terbatuk-batuk karena terkejut. Tempat sewa apa yang harganya selangit dengan fasilitas seadanya? Apa Markus sedang bercanda???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Eka Bundanedinar
wkwk klo dikota hrga segitu wajar vanes sampe terkaget"
2024-05-19
2
Eka elisa
spuluh juta buat stahun kli mrkus bukn sbuln.... autho vnes syok.. 😆😆😆😆😆😆
2024-05-18
2
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
cukup untuk setahun yaaaaa...
2024-05-17
2