Bab 4

Jakarta, 2002.

“Mas yakin mau pindah ke kampung ibu? Mas mau kerja apa di sana nanti? Setahuku warga di sana mata pencahariannya hanya sebagai pedagang, petani dan peternak. Kita butuh biaya lho, Mas, untuk biaya kelahiran anak kita nanti,” ujar Maya, seorang wanita yang tengah hamil muda 16 minggu, pada suaminya.

“Tidak ada jalan lain, May. Aku harus kabur dari Jakarta. Yang benar saja kalau aku harus membayar 100 juta, uang dari mana, gaji saja UMR. Apalagi, aku tidak pernah merasa melakukan penggelapan uang proyek kantor. Demi Allah, aku difitnah. Aku takut kehamilanmu akan kena imbasnya nanti. Sudah, kita pindah saja ke kampung ibumu,” jelas Dika panjang lebar.

Maya pun terus mempertanyakan kenapa harus kampung ibunya yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka. Bukan apa-apa, meskipun saat ini sudah memasuki era modern, kampung halaman ibunya itu seakan tetap tertinggal dibandingkan dengan desa di daerah kabupaten yang lain. Cuaca di desa itu juga terasa sangat panas, tak seperti pedesaan yang lain yang masih segar.

Dika lalu menjelaskan alasan mengapa ia tak pindah ke kampung orang tuanya saja, karena ia tak ingin membebani pikiran ibunya yang sudah tua, juga karena ia takut beberapa teman kerjanya ada yang sudah mengetahui kampung halamannya. “Aku bisa saja meminta ibu jual sawah warisan bapak. Tapi aku tidak mau egois, karena sawah itu juga menjadi hak adik dan masku. Sudah, kita mulai hidup baru saja di sana. Lagi pula, Jakarta terlalu kejam untukku. Beberapa kali kena sikut. Aku yakin, karyawan lain yang tidak suka denganku yang telah menjebakku ke dalam lingkaran setan ini.”

“Lagi pula, kalau kita pindah ke luar kota, mau tinggal di mana? Mereka pasti bisa mencariku. Memangnya mau bayar sewa tempat tinggal kita nanti pakai apa? Aku saja sudah tak punya pekerjaan saat ini,” lanjut Dika.

Maya yang merasa lebih nyaman tinggal di Jakarta pun sempat menolak untuk pindah ke kampung halaman ibunya di desa. Selain karena jarak tempuh yang akan memakan waktu seharian, ia juga tak suka tinggal di sana. Namun, mau tak mau ia hanya bisa mengikuti kemauan sang suami. Mengingat, ia sudah tak punya siapa-siapa lagi di Jakarta, semenjak kedua orang tuanya meninggal.

“Terus rumah orang tuaku ini mau diapakan? Dijual? Apa ditinggal begitu saja?” tanya Maya yang masih enggan meninggalkan rumah semasa kecilnya di Jakarta.

Maya memang lahir dan besar di Jakarta, semenjak orang tuanya merantau di ibukota.

Menyarankan untuk tak menjualnya dulu hingga satu tahun kemudian, Dika ingin rumah mertuanya itu kosong agar orang-orang yang tengah mencarinya, tak sengaja berpura-pura sebagai pembeli rumah tersebut.

Selepas membereskan baju-baju dan beberapa barang lainnya, Dika segera menggandeng Maya untuk segera pergi dari rumah.

***

Selama perjalanan, Maya tak henti melempar pandangannya ke arah jendela. Bayang-bayang kehidupan di desa yang tak pernah ia impikan, terus menghantui pikirannya. Lagi pula sebenarnya, sebelum ibunya meninggal pernah berpesan untuk tidak usah datang lagi ke rumah ibunya di kampung, karena sudah ada yang menjaga dan mengurusnya. Untuk itu juga lah saat meninggal dulu, ibunya meminta agar dimakamkan di Jakarta saja agar Maya bisa berkunjung sewaktu-waktu.

Lalu tak lama, ia menajamkan penglihatannya kala melihat sosok seperti ayahnya yang juga telah meninggal, sedang berdiri di pinggir jalan seolah memberikan kode padanya untuk kembali.

Hingga perjalanan dengan bis yang ditempuh selama 10 jam, tiba lah mereka di kampung halaman Bu Tri, ibu Maya, sore ini.

“Kamu masih ingat ‘kan rumahnya?” tanya Dika memastikan ingatan Maya.

Mengangguk, Maya mengaku masih ingat dengan jalan rumah ibunya dulu, karena Dika juga memang belum pernah mengunjungi tempat ini.

“Situ, Mas,” tunjuk Maya menunjuk salah satu rumah setelah melewati 1 jalan kecil.

“Kita ambil kunci dulu ya di rumah Bu Siti. Ibu memang mempercayakan beliau untuk membersihkan rumah biar tidak berdebu,” ujar Maya berhenti di salah satu rumah tak jauh dari rumahnya.

Setelah mengetuk pintu cukup lama, keluarlah seorang wanita berusia lebih dari setengah abad, dari dalam rumahnya.

“Loh, Maya, kapan datang? Kok tidak memberi kabar?” sapa wanita yang diketahui bernama Bu Siti itu, sembari memeluk Maya.

Menjelaskan sedikit tentang kepindahannya di desa, Maya lalu memperkenalkan suaminya yang baru menikahinya 2 tahun lalu.

Mengucapkan permintaan maaf pada Maya karena tak sempat datang di hari pernikahan Maya dan Dika, Bu Siti terlihat menahan tangis mengenang kepergian Bu Tri, ibu Maya 4 tahun lalu.

“Sampai sekarang Ibu masih tidak menyangka ibumu sudah pergi, May. Untungnya saat itu Ibu ada rezeki untuk melayat ke Jakarta. Kita terpaksa berpisah dua kali saat itu. Ketika ibumu harus ikut ayahmu ke Jakarta, dan ketika ibumu harus pergi untuk selamanya,” lanjut Bu Siti menahan tangis kesedihannya berpisah dengan teman semasa kecilnya itu.

Ia kemudian mempersilakan Maya dan Dika masuk ke dalam, tapi Maya menolaknya karena ia ingin segera beristirahat di rumah sang ibu.

Bu Siti kemudian mengambilkan kunci rumah dan membawakan sepiring makanan, lalu mengantar Maya ke rumah ibunya.

“Kemarin baru Ibu bersihkan, tapi kasurnya belum dipasang seprei. Sebentar Ibu siapkan dulu,” ujar Bu Siti sembari membuka rumah ibu Maya.

Sahabat Bu Tri itu kemudian tampak sibuk menyiapkan kamar yang akan dipakai Maya dan suaminya untuk tidur.

Setelah mendengar cerita Maya tentang alasan kepindahannya karena sang suami tak nyaman bekerja di Jakarta yang saling sikut, ia menyarankan suami Maya itu untuk melamar kerja di hotel-hotel bintang 3 di dekat desa, yang beberapa tahun terakhir baru dibangun. “Banyak tempat wisata yang juga baru dibangun, jadi diimbangi juga dengan pembangunan beberapa penginapan. Siapa tahu masih ada lowongan. Itu juga kalau suamimu mau.”

Dika yang masih memperhatikan sekeliling rumah ibu mertuanya, pandangan matanya lalu terhenti pada beberapa siung bawang putih yang dirangkai membentuk kalung, tergantung di depan pintu.

“Untung kalian datang sebelum gelap. Sudah, Ibu pulang dulu ya, sebentar lagi magrib. Kalian jangan keluar rumah sampai besok pagi. Makan saja makanan yang Ibu bawa tadi, tidak usah cari makan di luar. Besok pagi Ibu antarkan makanan lagi untuk sarapan," pamit Bu Siti tampak terburu-buru.

Maya dan Dika pun saling berpandangan satu sama lain.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!