Suasana malam hari di desa Raytgon terlihat jauh berbeda seperti saat siang hari. Jika lagi hingga sore jalanan nampak sepi, malam ini berbeda. Semua orang terlihat keluar dari rumah. Berkumpul dan berbicara dengan tetangga. Bocah-bocah pun terlihat berlarian di aspal jalan yang sepi.
Lampu-lampu rumah warga terlihat bercahaya, membuat bagian pemukiman terlihat jauh lebih nyaman dari pada sudut-sudut desa yang nampak gelap diselimuti warna hitam yang pekat.
"Et, hati-hati kawan!" Fahmi terlihat mengangkat seorang bocah yang terjatuh lantaran mengejar teman-temannya, "jangan nangis. Laki-laki harus kuat loh. Sekarang pergi kejar mereka lagi," imbuhnya sembari mendorong punggung kecil bocah itu.
Anak kecil yang tadinya mau menangis itu, malah langsung tertawa dan kembali berlari. Fahmi yang mendengar gelak tawa bocah itu ikut tertawa.
"Kamu mau ke mana lagi, Mi?" seorang ibu-ibu terlihat keluar dari gang yang dikedua sisinya berdiri sebuah rumah sederhana.
"Ketua memanggilku, Bu. Jadi, aku ya harus pergi menghadap ke beliau," jawab Fahmi sekenanya. Sekarang pakaian laki-laki itu terlihat jauh lebih layak. Celana jeans panjang yang dipadukan dengan baju kemeja kain yang tiga kancing atasnya tidak dikaitkan.
Wajahnya yang mulus tanpa jambang dan kumis itu pun terlihat jauh lebih segar dan juga bersih.
"Emang kamu ada buat kesalahan apa, Nak?" tanya dia— Rosalina Amber, ibu dari Fahmi yang tiba-tiba terlihat khawatir.
"Aku juga gak tahu. Udah ya, aku pergi dulu," jawab Fahmi sekenanya. Tanpa ada kata-kata pamit yang layak, laki-laki 20 tahun itu berjalan pergi meninggalkan jalanan gang rumahnya.
Tidak jauh dari dia dan ibunya berbincang tadi, terdapat sekumpulan ibu-ibu yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka. Setelah Fahmi pergi dan ibunya kembali masuk ke gang sempit tempat dia pertama keluar tadi, sekumpulan orang-orang itu langsung membicarakan mereka.
***
Kawasan perkebunan, Raytgon bagian selatan.
Kembali ke perkebunan luas yang dipenuhi oleh pepohonan rindang, tepatnya di salah satu ruangan yang ada di dalam tanah. Di tengah-tengah ruangan itu, Terlihat sosok Fahmi yang sedang duduk berlutut menghadap ke seseorang yang sedang duduk di sebuah kursi mewah.
Beberapa obor terlihat menempel mengelilingi dinding ruangan itu, membuat keadaannya jauh lebih bercahaya dibandingkan saat Fahmi di atas tadi.
"Sepertinya kau mulai seperti teman-temanmu ya." Suara tegas dan berwibawa laki-laki yang sedang duduk itu, mengalun memenuhi ruangan.
Fahmi yang mendengar itu langsung menundukkan kepalanya. Tidak bisa dipungkiri, saat ini sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Dia takut dengan laki-laki berwajah tegas yang saat ini sedang memberikan sebuah tatapan mata yang tajam untuknya.
"Apa kau ingin bermain-main percintaan juga?" tanya dia— si ketua dengan nada bicara yang masih sama. Terdengar tegas dan mengintimidasi.
Fahmi yang mendengar itu tidak mengerti sama sekali. Dia tidak bisa mengolah pertanyaan itu lantaran ketakutan jauh lebih mendominasinya saat ini.
"Saya tidak mengerti yang ketua katakan," jawab Fahmi dengan sedikit gugup dan ragu-ragu. Kepala laki-laki 20 tahun itu tentu masih menunduk hormat.
Sementara di sisi si ketua, laki-laki dewasa itu terlihat menyeringai. Dia melemparkan sebuah map cokelat dengan begitu kasar, membuat isi di dalamnya berceceran di depan Fahmi.
Kedua mata Fahmi membulat terkejut saat di sana, dia melihat ada beberapa potret dirinya yang tengah bersama dengan Lily.
"Ketua, Anda salah-"
"Tidak usah panik begitu, Fahmi. Tenangkan diri." Ketua menyeringai membuat Fahmi tertegun dan langsung terdiam.
Mendapati anggota kelompoknya yang tidak bisa berkata-kata lagi, Ketua terdengar mengeluarkan sebuah tawa. Fahmi yang mendengar itu semakin bergidik ngeri. Di dunia ini, tidak ada yang Fahmi dan anggota Kansas takuti selain ketua mereka.
"Aku tidak melarang kalian menjalin sebuah hubungan, tidak sama sekali. Kalian semua berhak jatuh cinta dan juga berhak mempunyai pendamping. Tapi, apa aku harus menjelaskan itu lagi padamu?" tanya Ketua Kansas dengan dengan raut wajah yang angkuh. Nada bicaranya juga terkesan sombong.
"Tidak perlu, Ketua. Saya sudah paham," jawab Fahmi dengan menundukkan kepalanya.
Si Ketua tersenyum jumawa, "Selagi itu tidak mengancam kita, Saya akan membiarkan kalian. Tapi, jika kedekatan kalian mulai terlihat mengancam, maka bersiap-siaplah untuk kau mengambil keputusan, Fahmi. Pergi atau Mati."
Fahmi meneguk ludahnya sendiri. Tubuh laki-laki itu terlihat semakin merinding, "Saya paham," ujar Fahmi yang sepertinya hanya bisa mengatakan itu saja.
"Ingatlah, wanita itu adalah penghambat. Jangan sampai kau salah langkah seperti adikku dan juga teman-temanmu yang lain. Salah satunya Khazami. Awalnya aku tidak ingin memberikan laki-laki itu kesempatan, tapi sudahlah. Tanpa saya katakan pun kau sudah tahu," tutur Ketua dengan nada bicara yang berubah santai, tapi biar begitu entah kenapa Fahmi masih bisa dibuat tertekan olehnya.
"Sekarang kau bisa pergi. Tapi, kau juga harus ingat, mataku ini selalu mengawasi kalian. Berhati-hatilah saat melangkah," saran Ketua dan Fahmi yang mendengar itu tidak menggubrisnya. Dia memilih untuk bergerak mundur dan setalah jaraknya cukup jauh, barulah dia berbalik untuk melangkah pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments