04 Desember 2011, Desa Raytgon, Pasar terbesar
"Lily, kamu lakukan seperti tiga hari lalu, ya. Masukkan barang-barang yang sudah Mama beli ke dalam mobil. Sepertinya Mama akan sedikit telat karena masih ada banyak sekali barang yang akan Mama beli."
Lily menganggukkan kepalanya untuk menjawab penuturan sang Mama. Raut wajah gadis itu terlihat sangat senang dan itu sudah terpancar dari saat dia mengetahui kalau Mamanya, akan pergi ke pasar lagi.
"Carlos, kau tetap di sini dan teman-"
Lily menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dengan tersenyum, wanita cantik berambut hitam kecoklatan itu mulai membuat sebuah isyarat tangan, "Aku bisa menunggu di sini. Mama jangan khawatir."
Mendapati isyarat tangan itu, Nyonya Rose sedikit menatap ragu ke arah anaknya. Akan tetapi, wanita itu segera menepis semua keraguan yang dia rasakan dan memilih percaya dengan kata-kata suaminya semalam, lakukan apa pun permintaan Lily selagi dia bahagia. Begitu katanya.
"Baiklah. Kalau begitu, Carlos. Ayo, ikut denganku." Nyonya Rose langsung berjalan masuk ke dalam pasar.
"Siap, Nyonya." Dengan langkah yang tegap, Carlos mengikuti Nyonya Rose dan meninggalkan Lily sendiri di pinggir jalan yang sama seperti tiga hari lalu.
'akhirnya aku bisa bertemu dengan dia lagi, tapi aku harus mencari dia ke mana? Jika menunggu di sini, akan kecil kemungkinannya,' batin Lily dengan kepala yang bergerak menoleh ke sana ke mar dan jangan lupakan wajah bahagia yang saat ini dia keluarkan.
Para anggota keluarga besar yang mengetahui kegembiraan dari anak bungsu mereka itu, jelas turut bahagia. Masalahnya, mereka sangat jarang melihat Lily seantusias itu saat diajak keluar rumah. Bagi mereka, ini adalah sebuah hal yang baru setelah sempat cukup lama merasa trauma untuk keluar dari rumah. Iya, Lily sempat mengalami trauma cukup lama. Semua itu dikarenakan karena satu bulan lalu, dia jadi korban bully beberapa orang yang tidak dikenali di ibu kota.
Dari kecil Lily memang tidak pernah suka bersosialisasi. Setiap bertemu orang baru, dia akan lebih memilih menghindar karena merasa minder dengan keadaannya yang bisa dibilang tidak normal. Walaupun gadis itu tidak menjauh pun, teman-temannya akan tetap menjauhinya dan bahkan tidak segan melakukan perundungan. Sebenarnya, Lily memang sudah menjada langganan korban bully
Kenapa, dibully? Bukankah dia dari keluarga kaya raya?
Di ibu kota, semua orang itu kaya raya. Ada banyak keluarga yang jauh lebih kaya dari keluarga besar Lily. Jadi, bisa dibilang merek semua yang tinggal di ibu kota itu setara dan itulah kenapa Lily menjadi gadis yang tidak terlalu spesial. Terlebih lagi dia punya kekurangan yang membuat para pembullyan di sekolahnya waktu itu memangsanya tanpa ampun.
Lily sebenarnya juga masih menjalani perkuliahan, tapi gadis itu berhenti karena terus-menerus mendapatkan bullying dari teman-temannya.
Jangankan teman, sepupu-sepupunya pun bahkan tidak segan ikut melakukan perundingan itu. Tidak ada alasan yang sepesial, mereka semua hanya iri lantaran ayah Lily jauh lebih kaya dibandingkan ayah-ayah mereka.
'dia di mana sih?' batin Lily pada dirinya sendiri. Saat ini wanita itu terlihat sudah memberanikan diri untuk meninggalkan tempat yang semestinya tidak boleh dia tinggalkan. Akan tetapi, saking tidak sabarnya dia untuk bertemu orang yang tiga hari lalu memberikan dia senyum, Lily kembali mengeluarkan sikap beraninya.
"Hai, Nona-"
Laki-laki yang tadinya hendak memberikan teguran bernada kasar untuk Lily, langsung terdiam saat melihat pakaian serba mewah yang wanita itu kenakan.
Sedang-kan Lily, wanita 20 tahun itu langsung membungkuk hormat untuk mengucapkan kata maaf yang tidak bisa dia ucapkan.
"Ha? Dasar aneh." Setelah mengatakan itu, laki-laki yang tadinya tidak sengaja disenggol oleh Lily, pergi.
Lily yang mendapati cercaan itu langsung menegakkan tubuhnya kembali. Dia dengan ekspresi yang takut-takut mulai kembali berjalan lebih jauh ke arah timur. Cukup lama wanita itu berjalan dengan kepala menoleh ke segala arah, akhirnya dia berhasil menemukan sosok laki-laki yang sedari tadi dia cari-cari.
'akhirnya ketemu juga,' batin Lily dengan tersenyum senang saat mendapati sosok Fahmi yang tengah mengangkat sekeranjang buah jeruk di pundaknya.
Padahal jarak perempuan itu dengan Fahmi bisa dibilang masih cukup jauh, tapi dari sana dia bisa melihat jelas sosok penuh peluh Fahmi yang terlihat kelelahan dan sedang berjalan cepat membawa sekeranjang jeruk di pundaknya.
Tanpa mau membuang waktu, Lily langsung mengambil langkah untuk berlari. Gadis bergaun casual mewah itu, terlihat tidak peduli dengan buruh-buruh yang dia tabrak tanpa sengaja. Baginya yang terpenting sekarang adalah dia bertemu dengan Fahmi dan meminta laki-laki itu untuk membantunya memindahkan barang belanjaan, sekaligus ingin memberikan laki-laki itu sebuah surat yang tiga hari lalu sudah dia tulis.
Lily terus berlari dan kakinya berhenti melangkah, tepat di belakang tubuh Fahmi yang terlihat sudah tidak mengangkat apa pun. Tanpa kenal yang namanya jijik, wanita itu mengulurkan tangan untuk memegangi lengan kotor dan berkeringat milik Fahmi, membuat sang empunya tersentak kaget dengan kepala menoleh cepat ke belakang.
"Kau?" ujar Fahmi terkejut.
Lily yang mendapati reaksi itu langsung tersenyum. Tangannya yang sedang membawa sebuah kertas, terangkat untuk melambai seolah ingin menyapa dengan itu.
Sementara di sisi Fahmi, laki-laki bertelanjang dada dengan tubuh bagian atas mengkilat oleh keringat itu, langsung tanpa sungkan meraih tangan Lily, menggenggamnya, dan kemudian menyeret gadis yang sedang tersenyum bodoh menurutnya itu, untuk menjauh dari area pasar buah yang sedang sibuk-sibuknya.
"Kalian lanjutkan saja, Bang. Aku ada urusan sebentar!" teriak Fahmi saat melewati teman-temannya yang sedang berada di atas sebuah truk.
Laki-laki itu berhenti melangkah, lalu tangannya yang masih memegangi lengan Lily terlihat bergerak menyentak, membuat tubuh gadis itu tertarik dan berdiri di depannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Fahmi dengan sorot mata yang tajam dan ekspresi wajah yang tegas.
Bukannya menjawab, Lily malah bergerak memegangi lengan Fahmi dengan kedua tangannya, membuat laki-laki itu menaikkan satu alis matanya bingung.
Fahmi tambah bingung, saat Lily tiba-tiba mulai menyeretnya dengan kepala yang terus-menerus menoleh kebelakang dan kembali melihat ke depan. Jangan lupakanlah wajahnya yang terus menerus terlihat bahagia.
Fahmi yang diseret tanpa tahu alasannya, langsung bergerak menghempaskan tangan gadis itu, "Setidaknya bicaralah wahai penduduk ibu kota! Aku tidak sepandai itu sampai-sampai bisa mengerti apa yang ingin kau minta," jelas Fahmi dengan wajah yang terlihat kesal.
Mungkin jika awalnya Lily tidak mendapatkan senyum dari Fahmi, dia mungkin akan ketakutan dan mengira Fahmi itu jahat seperti orang-orang yang pernah dia temui.
Fahmi pun begitu. Laki-laki itu baru kali ini berani membentak orang dari ibu kota. Dia seberani itu, disebabkan oleh kesan yang dia dapat dipertemuan pertama. Terlebih lagi, dia juga merasa gadis ibu kota satu ini sangat berbeda.
Setahunya orang ibu kota itu angkuh dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi, gadis ini tidak melakukan hal yang seperti itu. Biarpun dia dibentak oleh rakyat jelata, dia malah membalasnya dengan tersenyum. Mungkin jika orang ibu kota normal, mereka sudah membuat kegaduhan dan menelepon para pengawalnya untuk melenyapkan rakyat jelata yang tidak punya adab kepada dirinya itu.
"Tidak. Aku tidak akan ikut sebelum kau bicara dan mengatakan tujuanmu ingin membawaku," tolak Fahmi dengan nada bicara yang tenang dan ekspresi wajah yang nyolot. Dia bahkan sampai menarik tangannya yang tadi ingin di genggam oleh Lily.
Sementara di sisi Lily. Gadis 20 tahun itu terlihat kebingungan. Bukannya tersinggung karena diminta melakukan hal yang tidak dia bisa, Lily malah bergerak meraih buku kecil yang tergantung di lehernya.
Wanita itu bergerak membuka buku tersebut, lalu saat mendapati ada lembaran kosong, dia tanpa pikir panjang merobeknya dan mulai menulis di sana. Tentu saja dia juga memfungsikan pulpen kecil yang juga tergantung di lehernya itu untuk menulis.
Lily tersenyum dan langsung menyerahkan selembar kertas yang sudah dia tulis itu kepada Fahmi.
Fahmi yang sedari tadi menatap dengan sorot aneh ke arah Lily, tentu langsung bergerak mengambilnya. Laki-laki itu terlihat menatap fokus ke arah tulisan tangan Lily yang ada di selembar kertas tersebut.
"Ikut saja denganku dulu- Hai, kau ...."
Fahmi tersentak kaget saat Lily lagi-lagi dengan sembrono menariknya untuk ikut. Ekspresi wajahnya memang terlihat tidak suka, tapi anehnya, dia malah tidak melawan dan memilih untuk membiarkan gadis aneh ini menariknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments