[REVISI]
.
.
.
"Ini ponselnya, Mas." Qiana menyerahkan ponsel dan kantong plastik warna hitam kepada Chandra.
"Apa ini?"
"Celana dalam." bisik Qiana dengan malu-malu.
"Memangnya kamu tahu ukuran ku?" tanya Chandra yang tidak habis pikir dengan istri kecilnya yang membelikannya celana dalam.
"Kira-kira saja, Mas." Chandra hanya tersenyum melihat sikap istri kecilnya yang menundukkan kepalanya.
Sebenarnya, Qiana mengira-ngira tinggi badan Chandra sebagai gambaran untuk pedagang underwear. Dari gambaran Qiana, pedagang underwear menyarankan untuk mengambil ukuran L. Jadi, Qiana tidak sepenuhnya berbohong, tetapi ia juga tidak berani mengungkapkan kebenarannya karena malu. Merasa suaminya hanya diam, Qiana segera pamit untuk memasak.
"Kabur dia." gumam Chandra yang membawa kantong kresek ke dalam kamar.
Di dalam kantong plastik yang diberikan Qiana tidak hanya berisi celana dalam, ada celana pendek dan kaos oblong serta kemeja dan celana bahan. Chandra terkesan dengan pilihan sang istri. Ukurannya pas untuknya dan warnanya juga sesuai seleranya. Ada pula charger type C untuk ponselnya. Yang menjadi pertanyaannya sekarang ini adalah uang yang digunakan Qiana untuk belanja.
Setelah Qiana pergi bekerja pagi ini, Chandra yang di rumah sendiri merasa bosan tidak ada kegiatan. Ponsel pun di bawa Qiana untuk diisi daya. Ia memutuskan untuk membersihkan rumput yang ada samping-samping rumah Qiana. Rumah yang terletak di antara danau dan tanah pertanian itu sangat asri, tetapi karena rumput ilalang yang tinggi di samping rumah membuatnya terlihat tidak terawat. Ia pun membersihkan rumput dengan alat seadanya yang ia temukan di dapur, sampai adik Qiana, Afifah pulang sekolah.
"Mas sedang apa?"
"Jangan banyak tanya, mending bantu-bantu sini."
"Tidak mau. Gatal!" Afifah pun berlari masuk ke dalam rumah.
Tetapi tak lama kemudian, Afifah kembali dengan membawa segelas es teh ditangannya yang kemudian ia letakkan di sebelah Chandra. Tanpa sungkan Chandra segera meminum es teh tersebut setelah mengucapkan terima kasih. Es teh di hari yang panas ini memang sangat pas.
Afifah tidak beranjak dari sana, dengan alasan berteduh di bawah pohon kersen ia justru menemani kakak iparnya sampai selesai. Ketika Chandra selesai menumpuk semua rumput yang telah ia potong, ia pun duduk di sebelah Afifah yang asyik memainkan game di ponselnya. Iseng-iseng, Chandra membuka percakapan untuk mencari tahu tentang Qiana dari Afifah. Afifah pun bercerita tentang kakak perempuan yang paling ia takuti.
“Mbak Qiana itu pendiam dan jutek di mata orang lain. Tapi kalau sama aku, Mbak Qiana itu super galak! Aku salah sedikit saja, diomeli habis-habisan sama Mbak Qiana.” Jelas Afifah.
“Apa kamu tidak diomeli, Ibu?” tanya Chandra yang mencoba menyinggung Ibu Ningsih.
“Tidak. Ibu tidak pernah mengomeliku. Mbak Qiana yang sering buat Ibu marah dan mengomel.” ucap Afifah dengan bangga.
“Apa yang membuat Ibu mengomeli, Qiana?” Chandra semakin penasaran.
Afifah menjawab, entah itu karena kakaknya pulang telat, tidak memasak atau bersih-bersih, membantah dan lain-lain. Jika sang Ibu sudah mengomel, kakaknya hanya akan diam dan menangis diam-diam di malam hari.
"Begitu kah kehidupan istri kecilku selama ini?" batin Chandra miris.
Dan dari penuturan Afifah, kakaknya bisa sekolah sampai SMK karena mendapatkan beasiswa dan kakak pertama mereka yang membantu uang pendaftaran. Sedangkan sekolahnya sekarang adalah hasil dari kakaknya bekerja dan sang ibu yang terkadang membawa dagangan ke pasar. Selama kakaknya bekerja, gaji sang kakak akan diserahkan kepada sang Ibu setengahnya dan sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan ongkos transportasi bekerja.
Mendengar penuturan Afifah tersebut, Chandra tidak percaya jika uang 600 ribu bisa digunakan selama sebulan. Dilihat dari masakan yang disajikan Qiana beberapa kali, setidaknya dalam sebulan pengeluarannya akan tembus 1 juta. Bagaimana cara Qiana menghematnya? Dan barang-barang yang dibelikan untuknya tidak kurang dari 300 ribu.
"Nanti saja aku tanyakan, sekarang aku harus mengabari Mamak terlebih dahulu." gumam Chandra yang kemudian menyalakan ponselnya.
Beberapa notifikasi serempak masuk ke dalam ponselnya, termasuk debit dari rekeningnya senilai 5,6 juta. Ia tahu jika itu adalah pembayaran resign istrinya sehingga ia mengabaikannya.
"Ngapuntene, Mak. Aku isih ning Rembang. Aku nemu jodoh ning kene,dadi urung iso mulih."
(Maaf Mak, aku masih ada di kota Rembang. Aku menemukan jodoh disini, jadi belum bisa pulang.)
"Iyo, Mak. Nek urusan bojo ku ning kene wis bar, secepete aku balik. Cuti ku juga kari wolung dino meneh."
(Iya, Mak. Setelah urusan istri ku selesai, aku akan segera pulang. Lagipula cutiku hanya tersisa 8 hari lagi.)
Chandra menutup panggilannya bersama Mamak, bertepatan dengan Qiana yang masuk ke dalam kamar mengantarkan kopi dan sepiring pisang goreng. Inilah kesempatan Chandra.
"Tunggu Dek. Duduk sini dulu." Qiana menurut dan duduk disamping Chandra.
"Masukkan nomor ponselmu, agar aku bisa menghubungimu sewaktu-waktu."
Qiana menurut dan memasukkan nomor ponselnya di kontak suaminya. Tetapi ketika Chandra melakukan panggilan ke nomor Qiana, ia dibuat terkejut dengan ponsel Qiana. Perempuan seumur Qiana yang bahkan sudah bekerja, mengapa ponselnya kalah canggih dengan ponsel yang dimiliki Afifah, adiknya. Jaman sekarang, yang menggunakan ponsel polyphonic hanyalah para orang tua yang buta teknologi.
"Aku punya banyak PR rupanya." batin Chandra.
"Kenapa Mas?" tanya Qiana heran dengan diamnya Chandra.
"Tidak. Besok kita jalan-jalan ke kota bagaimana?" tanya Chandra mengalihkan pikirannya.
"Boleh, Mas. Tidak apa-apa kan kalau naik angkutan umum?" tanya Qiana ragu.
"Apa tidak ada penyewaan motor?" Bukan Chandra tidak mau menggunakan bus. Jika ingin jalan-jalan, menggunakan bus itu tidak efisien seperti menggunakan motor.
"Coba aku tanya teman ku dulu, Mas."
Qiana menghubungi seseorang dengan ponselnya. Setelah beberapa menit, Qiana menganggukkan ke arah Chandra dan mengakhiri teleponnya. Lalu mengatakan kepada Chandra jika mereka bisa menggunakan motor temannya yang saat ini bekerja di pulau Kalimantan. Qiana pamit ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan Chandra merebahkan tubuhnya sambil menyusun rencana untuk besok.
Terlebih dahulu, ia mencari wahana wisata, tempat makan, dan tempat belanja di sekitar kota Rembang dan rute yang harus ia lalui melalui aplikasi Map. Tak lupa membuat catatan apa saja yang harus ia beli untuk Qiana besok. Tidak seperti Jogja yang mempunyai Mall atau Pasar Beringharjo, Rembang hanya memiliki satu pasar kota. Jika membawa Qiana ke pasar, tidak menutup kemungkinan Qiana akan menawar harga yang ditawarkan oleh pedagang karena sudah familiar. Chandra akhirnya memutuskan untuk menandai beberapa toko rekomendasi aplikasi pencarian.
Qiana yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi, dihampiri oleh Ibu Ningsih yang mengatakan jika uang yang diberikan Qiana minggu kemarin sudah habis untuk membeli dagangan. Tetapi dagangan tidak bisa langsung dijual karena Ibu Ningsih membeli pisang yang masih ada di pohon. Menurut beliau, sekitar 2 minggu lagi baru bisa dipanen.
"Nopo boten rugi, Bu?" tanya Qiana khawatir.
(Apa tidak rugi, Bu?)
"Kuwe ngerti opo? Justru nek tuku saiki, ora ono nek bakal ngerebut."
(Kamu tahu apa tentang dagangan? Justru kalau di beli sekarang, tidak akan ada berani merebut.)
Ya. Semakin hari, orang yang terjun menjadi pedagang seperti Ibu Ningsih semakin banyak dan bersaing. Ibu Ningsih yang tidak memiliki alat transportasi sendiri, menjadi kalah cepat dengan mereka yang memilikinya. Keputusan beliau untuk membeli pisang di pohon pun menjadi pilihan agar ketika waktunya panen, beliau tinggal menyewa ojek untuk mengambilnya.
“Regi pisang boten saget dados patokan, Bu. Menawi mangke regi pisang anjlok, njenengan saget rugi.” Qiana mencoba memberi pengertian.
(Harga pisang tidak stabil, Bu. Misalkan nanti harga pisang anjlok, Ibu akan rugi.)
“Wes tho, ra sah ngurusi. Arep rugi arep untung, urusan mburi.”
(Sudahlah, tidak usah ikut campur. Mau itu rugi atau untung, urusan belakangan.)
Sejak SMP, Qiana sudah ikut membantu Ibu Ningsih menjual dagangan ke pasar. Pisang, kelapa, jagung, ayam, atau apa pun itu akan di bawa ke pasar pukul 02.00 pagi. Sampai pasar, jika beruntung akan mendapatkan pembeli yang memborong semuanya, jika tidak maka mereka akan menjual eceran sampai habis. Jika tidak habis, Qiana akan pulang terlebih dahulu setelah adzan subuh. Sedangkan Ibu Ningsih bisa sampai pukul 09.00 baru sampai rumah.
"Membantah pun percuma." batin Qiana.
Qiana pun mengatakan jika dirinya masih memiliki uang, nanti setelah selesai mencuci Qiana akan memberikannya kepada sang ibu. Segera setelah Qiana selesai bicara, Ibu Ningsih berlalu begitu saja meninggalkan Qiana tanpa repot untuk membantu.
Percakapan Qiana dan Ibu Ningsih tidak sengaja didengarkan oleh Chandra yang kebetulan ingin pergi ke kamar mandi. Chandra hanya bisa menghela nafas melihat istri kecilnya diperlakukan tidak adil oleh ibunya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
Yani
Chandra lagi pede kate sama istri dadakannya
2024-06-06
3
Nabilah
masoh kurang lengkap ka, tb bb goldar /Joyful/
2024-06-04
1