Fakta Tentang Khanza

Dua Minggu tak terasa akan berakhir esok. Khanza tak ada tanda-tanda menghubungiku. Kenapa dia melakukan hal ini lagi padaku? Apa dia sengaja melakukannya? Haruskah aku benar-benar datang ke rumahnya lagi?

Elgard sudah menghubungiku. Besok dia akan datang ke sini. Paling terlambat jam 11 siang. Ah, ini membuatku bingung. Apa Khanza juga akan datang kesini diam-diam karena ponselnya begini?

Rasanya aku ingin menangis. Rasa sesak di dada ini, terasa seolah aku sendirian. Aku merasa seolah Khanza perlahan menjauhiku, dengan tanpa kabar begini. Nanti, dia akan kembali dan meminta maaf lagi. Kenapa harus begitu? Bagaimana jika suatu saat nanti, dia mengulangi ini lagi dan benar-benar pergi?

Ughhhh, aku menyeka air mataku sendiri. Kenapa aku menjadi begini hanya karena satu manusia berjenis kelamin laki-laki itu. Biasanya aku tidak begini. Biasanya, aku bodoh amat. Tapi, kenapa aku selalu, selalu.... Arrggh!

Rasanya aku ingin membating ponselku.

Besok ini, hari liburku dalam seminggu. Besok adalah penentuan. Khanza, ku harap kau sungguh datang besok dan mengatakan apa yang terjadi dengan ponselmu. Kau sudah tak ada kabar selama 12 hari.

...----------------●●●----------------...

Pukul 09.41 Elgard meneleponku.

[Sekar, aku ada di dekat tempat kerjamu. Haruskah aku masuk ke sana?]

"Eh, jangan. Aku sedang tidak disana. Tunggulah di taman depan. Aku akan menjemputmu" Aku cepat-cepat mengambil gardiganku dan segera membuka pintu keluar.

DEGH!

Bayangan laki-laki, terlihat di hadapanku. Khanza? Aku langsung mendonggakkan pandanganku.

Hatiku tiba-tiba terenyuh. "Sekar, maaf. Aku rindu sekali" Aku termangun di tempat. Hatiku terasa sakit. Melihat wajah Khanza yang penuh luka, seperti habis dipukuli orang. Bibirnya terlihat berdarah di ujung kirinya.

Aku memegang wajahnya. Mengusap pipinya yang terluka. "Apa yang terjadi padamu?" Tanyaku dengan pelan dan menariknya masuk ke dalam rumah.

Aku tak bisa marah karena melihat kondisinya. Aku merasa bersalah padanya.

Aku dapat melihat ujung bibir Khanza yang berdenyut. Bibirnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Matanya mulai berlinang. Tangannya terlihat bergerak. Dia menggunakan bahasa Isyarat, mengatakan aku tidak baik-baik saja. Ah, aku langsung memeluknya. Aroma tubuhnya tidak berubah. Dia kembali mendekapku. Hangat dan erat.

Isakan perlahan terdengar dari dadanya, tempat telingaku menempel. "Ayahku, menutup usia. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan, Sekar..." Mataku terbulat lebar mendengarnya.

Ponselku kembali berdering. Khanza melepaskan pelukannya sejenak dan langsung duduk di sofa. Aku melihat ponselku. "Elgard nelpon" Ucapku.

Mata Khanza terbuka untuk sesaat. "Ah, benar juga. Kita ada janji dengan Elgard ya?"

Aku mengangguk.

Khanza memegang tanganku. "Jangan diangkat ya, pinjamkan aku kamar mandimu. Kita segera kesana dan membuat kejutan untuk Elgard" Hari ini, aku merasakan adanya perbedaan di cara Khanza melihatku. Senyuman itu, tidak lagi mengambarkan Khanza yang ku kenal.

Apa yang terjadi padanya?

Aku mengusap punggung tangannya. Aku menunjukkan senyuman lebarku. "Hu'um. Aku ambilkan baju untukmu ya..." Jawabku sambil mengusap kepalanya.

Dia mengangguk dan berjalan ke arah kamarku, untuk meminjam kamar mandiku.

Khanza selesai mandi tak lebih dari 15 menit. Aku mengobati luka di bagian kulit tulang pipinya.

Tiba-tiba, ketukan pintu terdengar. Aku terdiam sejenak. Melihat jam dinding. Tidak mungkin itu Bu Vety.

"Ayo berangkat sekarang, mungkin itu Elgard" Ucap Khanza sambil berdiri lalu memelukku dari belakang, kemudian memegang bahuku dan mendorongku seperti permainan kereta.

Pintu ku buka. Dan benar, itu Elgard. "Eh? Elgard, baru saja kami...." Elgard melihat Khanza dengan tatapan tak biasa.

Aku mendongakkan kepalaku, melihat Khanza yang sama sekali tak menampakkan senyumannya kepada Elgard.

"Khanza, kau.... ah lupakan saja. Ayo berangkat" Elgard tiba-tiba tidak jadi berbicara setelah melihatku. Aku sempat melihat Khanza terkejut karena Elgard tidak jadi berbicara.

"Kau kesini, naik apa?" Tanya Elgard tiba-tiba.

Benar juga, aku tidak melihat motor Khanza. Aku melihat Khanza. Khanza mengaruk tengkuknya. "Ikut mobil pick-up sayur" Jawabnya.

"Hah?" Aku kaget.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Khanza.

"Astaga, aku baru saja mendengar kabar tentang Ayahmu. Kau sedang dicari-cari, tau? Lain kali saja kita jalan-jalan. Sekar, bolehkah aku meminjam Khanza untuk hari ini saja?" Tanya Elgard.

Aku menahannya. "Memang apa yang terjadi?" Tanyaku.

"Kau, bagaimana bisa tau tentang Ayahku?" Tanya Khanza memotong perbincangan.

Elgard menunjukkan ponselnya. Itu pesan WhatsApp. Khanza tidak menunjukkannya padaku. Dia langsung mengambil dan membacanya sendiri. Aku semakin khawatir dengan dirinya.

"Bagaimana orang-orang Ayahku bisa memiliki nomormu?" Tanya Khanza.

"Aku sendiri tidak tau..." Jawab Elgard mengambil ponselnya dari Khanza.

"Arg, sialan. Aku sungguh membenci ini. Apa yang harus ku lakukan? Haruskah, aku pergi ke luar negeri? Ah, benar juga. Kau masih berkerabat dengan Ayahku, kenapa tidak kau saja yang dapat warisan itu?" Ucap Khanza yang membuatku tak habis berfikir.

"Hah?! Apa kau gila?! Kenapa harus aku?" Tanya balik Elgard membawa kami masuk ke dalam rumah Bu Vety.

Sebenarnya, siapa tamunya disini?

Khanza melepas tangan Elgard di bahunya setelah sampai di dalam rumah. "Gini saja, menurutmu kau akan menerima semuanya setelah tau dalang dari kematian orang tuamu?" Aku tidak paham maksud Khanza di bagian ini.

Aku sungguh terdiam mendengarkan cekcokan mereka yang tak ku pahami.

Elgard terlihat frustasi. "Apa? Kau tidak bercanda, kan?" Nada suara Elgard menurun saat bertanya seperti itu.

Mata Khanza berlinang. Dia langsung membekap Khanza. Menepuk punggungnya, seperti berusaha membuatnya tenang. "Aku,... aku sungguh merasa seolah aku menyakiti diriku sendiri. Aku tidak tau apabila dia adalah pembunuh Orang Tuaku. Mereka itu bandit, dan bandit tetaplah bandit. Tak ada kata baik untuk mereka meski mereka kumpulan orang dermawan" Khanza mendorong bahu Elgard untuk menjauh dan melepas pelukannya.

Elgard hampir kehilangan kesimbangannya. Dia langsung berpegangan pada sandaran sofa.

Khanza menatapku, tatapannya sungguh memilukan. Aku mendatanginya. Memeluknya perlahan. Dia menangis disana. Aku baru pertama kali ini, mendengar kondisi keluarga Khanza dari mulutnya sendiri.

Elgard kembali mendatangi kami. Mengosok kepala Khanza dengan pelan. "Kalau tak ada rumah, kau bisa tinggal denganku. Kita bersau- ah teman kan?" Ucap Elgard menepuk bahu Khanza dengan keras.

"Aku sungguh malu dengan hidupku," Ucap Khanza sekali lagi.

"Sudah 16 tahun lebih aku hidup dengan pembunuh orang tuaku sendiri, makan dari hasil mereka, bukankah aku seperti pembunuh orang tuaku, juga?" Khanza melepas pelukannya. Menatapku, sambil mengosok pipiku dan tersenyum simpul.

"Tidak. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Khanza. Kamu hanya tidak tau apa-apa Khanza" Ucapku.

Elgard kembali memukul bahu Khanza. "Sudahlah, tenangkan dirimu. Apa kau sudah makan?" Tanya Elgard mengotak-atik ponselnya.

Khanza mengeleng. Elgard terlihat tersenyum dan membuang napas seolah dia lega. "Kita makan-makan saja ya. Lain kali, Khanza jadi pemandu jalan-jalan ya?" Ucap Elgard sambil merangkul bahuku. Tapi, kemudian-"PLAK!" Khanza menepis punggung tangan Elgard di bahu kiriku.

"Jangan dekat-dekat dengannya" Tegas Khanza sambil menarikku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!