Ke Khawatiran

Test telah usai. Aku berkeringat dingin dan tidak percaya diri terhadap jawabanku. "Aaaa, Sekar... Kakiku lemas...." Ucap Khanza dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

Aku menepuk bahu Kanza sebagai apresiaku. Kemudian, Elgard mendatangi kami dan duduk disebelah Kanza. Menyandarkan kepalanya di bahu kiri Khanza. "Kanza, bagaimana test mu?" Tanya Elgard setelah beberapa saat.

"Lancar. Bagaimana denganmu?"

"Mayan, aku sedikit percaya diri dengan semua jawabanku. Lalu, bagaimana denganmu, Sekar?" Tanya Elgard.

Aku meringis dan memainkan jari-jari Khanza yang lentik. "Aku gugup, tapi aku sudah semaksimal mungkin mengerjakannya!" Jawabku.

Khanza terkekeh. Dia kembali duduk dengan benar dan mengosok kepalaku. "Bagus, kamu sudah berjuang!" Jawab Kanza dan meringis dengan lebar.

Aku menjadi tenang, setelah melihat senyuman itu. Meski begitu, aku sebenarnya risau. Banyak anak yang sama denganku menangis setelah mengerjakan test mereka. Banyak dari mereka yang test hari ini sebagai tahun terakhir bagi mereka mendaftar di Universitas Negeri. Ini memang bukan tahun terakhirku. Tahun depan adalah tahun terakhirku. Kalau sekarang gagal, aku akan berusaha lagi tahun depan.

Aku menoleh ke arah Khanza, melihat Elgard yang menempel padanya seperti koala dengan dahan pohon. Melihatku dengan irisnya yang berwarna hazel. Keningku kembali berkerut. Elgard sedikit menyeramkan. "Kenapa kau memeluk Khanza?" Tanyaku melepaskan lengan Elgard di pingang Khanza.

"Menenangkan diri" Jawabnya sambil menepuk bahu Khanza dan meringis lebar.

Khanza terkekeh. Elgard sungguh, mencurigakan. Ya, meski ini hanya pikiranku, aku tetap saja tak bisa diam apabila Khanza dipeluk begitu.

Khanza tidak langsung membawaku pulang. Dia terkena hasutan Elgard untuk berkeliling kota. Mau tidak mau, aku akan ikut dengan mereka. Menjaga Khanza dari Elgard yang mencurigakan.

Elgard mengikuti Khanza, berkeliling dengan motor bebeknya. Orang lain, tidak akan menduga apabila pria berpenampilan culun itu adalah seorang model yang terkenal.

Kami, melewati savana yang luas. Gunung tampak indah di barat sana. Pepohonan yang arang, penuh dengan monyet. Ranting-ranting terlihat berjatuhan saat angin cukup keras menerpanya. Sekelompok sapi dan kambing liar memakan rumput di sisi utara. Ini pertama kalinya bagiku ke tempat wisata yang seperti ini.

Kami sampai di pantai yang dituju. Pasir putih dengan laut yang bening. Bebatuan kecil timbul dari bibir air laut. Bebatuan besar, menjadi pemecah ombak laut. Monyet-monyet terlihat memantau kami dari kejauhan. Laut ini, sepi. Hampir tidak ada orang selain kami bertiga.

"Nah, wisata yang sepi kek gini yang gua cari" Ucap Elgard mengikat poni rambutnya dengan karet dari bungkus nasi yang kami beli.

Dia merangkul Khanza. Hatiku merasa aneh. Kenapa aku menjadi begini? Selama ini, aku memang tak pernah melihat Khanza dengan temannya. Ayolah, kenapa aku begini? Khanza juga pasti ingin akrab dengan temannya. Tapi, akh. Elgard, aneh.

"Sekar, mikirin apa?" Aku terkejut. Khanza tiba-tiba di sebelahku dan bertanya demikian.

Aku merangkul lengannya. "Tempatnya bagus" Jawabku.

Ah, aku tak ingin menjadi pasangan yang terlalu mengusik hidup Khanza. Khanza tertawa. "Astaga, ku kira kamu tak suka dengan pantai ini" Khanza mengusap pipiku dan mencubitnya.

Aku menyipit karena cubitan besar itu. "Aku ke depan bentar ya. Kunci motorku keknya ketinggalan. El, titip Sekar bentar ya. Barang kali mau diambil monyet" Ucap Khanza setengah bercanda.

"Astaga" Khanza emang agak lain.

"Anjir, titip ke gua, cuma takut diambil ama monyet. Pacar lu bukan pisang, astaga" Ucap Elgard sambil melempari Khanza dengan kerang kecil di tangannya.

Khanza tertawa keras sambil melompat menghindari lemparan Elgard. Kemudian, dia berlari dengan kencang ke arah parkiran yang cukup jauh. Mungkin, jaraknya hampir 350 meter dari sini.

Aku khawatir kunci motornya diambil monyet.

Elgard tiba-tiba duduk disebelahku. "Sudah berapa lama pacaran dengan Khanza?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku mengeser dudukku. "Jalan seminggu. Tapi, kami sudah saling mengenal sejak dia kelas 1 SMA" Jawabku.

"Ah, begitu rupanya. Pantas saja, Khanza terlihat nyaman denganmu. Aku penah mendengar sesuatu tentangnya saat di Australia. Dia sulit untuk di dekati perempuan. Dan dia bersikap begitu dingin pada perempuan yang merupakan staff modeling di Australia. Melihat, dia bisa menyandarkan kepalanya begitu padamu, aku merasa lega"

Eh? Aku terkejut mendengar Elgard.

"Aku tak bisa mengingat wajah orang yang ku kenal, begitu pula dengan wajahku sendiri. Jadi, kalau kita bertemu di jalan, sapa aku dari dekat. Meski begitu, aku bisa mengenal kalian dari cara penampilan dan aroma parfum kalian. Haha, untuk Khanza tadi, aku sebenarnya agak ragu menyapanya. Takut salah orang. Dan akhirnya, dia yang menunjukkan foto kami dari salah satu majalah yang membuatnya naik. Aku langsung, tak ragu memanggil namanya" Jelas Elgard dengan senyum simpul di wajahnya.

Mungkinkah, ini alasan dia masuk Psikologi anak? Tapi, bukankah seharusnya dia masuk Psikologinya saja?

"Maaf, Aku ingin bertanya. Kalau tidak ingin menjawabnya, tidak perlu di jawab. Apa kau sudah lama mengalami buta wajah?" Tanyaku dengan hati-hati. Kurasa ini memang tak sopan untuk bertanya. Kami baru bertemu.

Elgard kembali tersenyum simpul. Mengenakan kacamata tebalnya. "Aku kecelakaan saat kelas 6. Itu menyebabkan cedera di otakku. Dan karena itu, aku harus rehabilitas di rumah, home scholling hingga SMA. Aku tidak percaya diri saat bersama dengan orang lain. Tapi, Khanza berbeda. Dia memiliki masalah rumit di rumahnya, tapi dia bisa tetap seceria itu. Jadi, aku ingin sekali mencontohnya. Haha, maaf ya karena dari tadi aku merasa kau seperti tak nyaman denganku" Ucap Elgard sambil mengosok tengkuknya.

Ah, ternyata Elgard sangat peka, meski dia memiliki kekurangan seperti itu. Aku tak pernah mengira apabila Khanza memiliki masalah keluarga yang rumit. Saat aku kerumahnya dulu, Ayahnya terlihat baik meski orangnya random.

Elgard termasuk ke dalam golongan orang yang kuat. Aku menepuk bahunya. "Kuharap, kita bisa lolos dan masuk ke kampus bertig-"

"EHM!" Suara deheman tiba-tiba terdengar dari belakang. Aku terkejut. Langsung menoleh ke belakang. Itu Khanza. "Siapa yang menyuruhmu, duduk di sebelah pacarku?" Khanza mengambil langkah dan duduk di tengah-tengah kami.

Bibirnya manyun. Melihat ke arahku. "Aku, masih tampan kan, dimatamu?" Tanya Khanza dengan matanya yang berlinang.

Aku tersenyum lebar. Melihat Elgard yang menjadi kikuk dan mengosok tengkuknya melihat ke arah lain. Aku kembali melihat Khanza. Memegang kedua pipinya. "Tentu saja, kamu memiliki wajah yang tampan. Bagaimana dengan kunci motornya?" Tanyaku.

"Hihi, sudah ku ambil..." Jawab Khanza dengan ceria sambil menunjukkan senyumnya yang menampakkan gigi-giginya.

Ah, rasa Khawatirku terhadap kelakuan Elgard terhadap Khanza tiba-tiba menjadi tenang setelah mendengar ceritanya. Aku mengusap pipi Khanza dengan pelan. Tiba-tiba aku merasa iba terhadap diri Khanza yang selalu tertutup. Dia juga masih tertutup padaku. Ku harap, suatu hari nanti, dia akan bercerita kepadaku tentang dirinya.

Khanza memegang wajahku. Mengusap rambutku yang menghalangi pandanganku.

"Kalian berdua, jangan lupakan aku" Ucap Elgard sambil berjalan ke arah laut.

Khanza langsung merangkulku. Dia tertawa dan membawaku untuk ikutan bermain air laut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!