Menghilang

Aku memegang wajahnya tanpa sadar.

Kulitnya halus dan sedikit berserbuk. Mungkin karena bedak yang ku poletkan terlalu banyak. Aku melihat matanya. DEGH!. Iris emerald itu, sudah menatapku. Ini membuatku kaget. Aku langsung melepaskannya.

Dia tiba-tiba memegang kedua tanganku. Meletakkan kedua talapak tanganku di kedua pipinya. "Tangung jawab, aku sangat malu" Ucapnya dengan kening yang berkernyit.

...----------------●●●----------------...

"Taeng-gung jaw-ab ap-pha?" Ejaku perlahan.

Aku tidak merasa mempermalukan dia. Disini hanya ada aku dan kartu. Salahnya sendiri apabila dia kalah.

"Aku ingin tau semua tentangmu" Ucapnya tiba-tiba.

Semua tentangku? Memangnya, aku kenapa?

"Aku yakin, kamu bisa sembuh. Kamu hanya butuh rehabilitas. Ayahku kenal dengan seseorang, dia pernah membantu sosok penting bagi dia agar bisa pulih. Aku juga ingin kamu pulih, agar memiliki teman yang banyak. Agar kau bisa berteman juga dengan orang yang kau sukai, tanpa perlu merasa kecil hati karena kekurangan kita" Ucap Khanza dengan lebar.

Aku tak mengerti, mengapa dia bilang seperti ini. "Tolong jangan salah paham. Terima bantuanku. Dengan begitu, aku akan membagi kisahku padamu" Ucapnya.

Aku memang merasa tak nyaman karena selalu mendapatkan bantuan dari Khanza. Di sisi lain, aku ingin pulih. Tapi, aku tak tau bagaimana membalas budinya nanti.

Kalau aku menolaknya, apakah kita masih bisa berteman?

Dia melepas kedua tanganku. Tiba-tiba menunjukkan telinga kirinya padaku. "Telinga kiriku, tidak bisa mendengar dengan baik. Ayahku sering sekali membelikanku alat bantu telinga. Tapi, aku tidak pernah memakainya. Hebatkan?" Aku tau, dari senyumannya saat ini yang terasa lembut, ada perasaan yang dia sembunyikan.

Aku menyentuh telinga kirinya. Aku bisa merasakan dia kini tengah menatapku. "GREP!" Dia memelukku tiba-tiba. "Apa kau akan sama dengan teman-temanku yang lain? Menjauhiku hanya karena ini?" Tanyanya.

Aku menepuk bahunya. Untuk melepaskan pelukan eratnya. Dia melepaskanku dan memegang pipiku. Memaksa mataku untuk melihatnya. "Aku ingin, kau bisa seperti yang lain. Kalau penyebab kamu kesulitan berbicara karena traumamu, kamu pasti sembuh dengan rehabilitas. Ayahku, mengundangmu kemari untuk mengatakan hal itu. Tapi, aku melarangnya untuk berbicara denganmu. Aku ingin menjelaskannya sendiri"

Khanza adalah anak paling baik yang pernah ku temui. Dia juga sangat royal padaku. Padahal, hubungan kami tidak lebih dari teman. Dia juga mengenalku baru empat bulan yang lalu.

"Ma...af" Ucapku.

Dia melepaskan pipiku. Menatapku dengan raut syahdunya. Kemudian menunduk. Aku tidak perlu melanjutkan perkataanku. Dia sudah tau apa kelanjutannya.

Rehabilitasku, tidak membutuhkan dana yang sedikit. Aku tidak ingin berhutang budi padanya.

Dia mengangguk. "Aku tak bisa memaksamu" Ucapnya kemudian menoleh ke jam dinding.

"Sudah jam setengah 10. Aku akan mengantarkanmu ke kamarmu" Ucapnya sambil berdiri dan mengulurkan tangannya.

Dia mengenggam tanganku. Dan membukakan pintu kamarku yang sudah di rapikan oleh pembantu di rumah itu. "Kalau ada apa-apa, chat saja. Aku akan selalu fast respon untukmu" Ucapnya sambil tersenyum.

Kurasa, itu menjadi senyuman terakhir darimu. Kau tak pernah nampak lagi dihadapanku setelah kau mengatarkanku pulang. Kau bahkan tak mengunjungiku di kelas. Aku kembali diganggu oleh circle Clara.

Aku memberanikan diri datang ke kelasmu. Mereka mengatakan kau telah pindah sejak awal semester 2. Apanya yang fast respon saat aku menghubungimu? Kau bahkan hanya membaca pesanku tanpa menjawab apapun.

Aku memberanikan diri untuk meneleponmu. Kau bahkan tak pernah mengangkatnya. Apa maumu? Apa kau memang ingin seperti ini?

Datang dari pintu depan dan pulang dari pintu belakang?

Aku tak enak makan hampir selama seminggu. Aku merasa bersalah. Aku membulatkan tekadku untuk datang ke rumahmu. Itu perjalanan yang jauh dan melelahkan.

Ayahmu membukakan pintunya dengan hangat.

"Walah Sekar. Ada apa kemari?" Tanya Ayahnya Khanza.

Aku menulis di buku mata pelajaran MTK ku. [Paman, saya dengar Khanza pindah sekolah. Dia tidak mengkabariku. Bisakah aku bertemu dengannya?] Tulisku disana dan menunjukkannya.

Ayah Khanza terkejut. "Lah? Dia tidak memberitahumu? Dasar anak itu!" Ayah Khanza meremas lembaran kertas yang dia pegang.

Dia terlihat kesal. Kemudian, mengiringku duduk. "Sekar kesini sendirian?" Tanya Ayah Khanza.

Aku mengangguk.

"Khanza pasti bercerita tentang pendengarannya padamu?" Tanya Ayahnya sekali lagi.

Aku mengangguk lagi.

"Khanza memang seperti itu. Dia tidak merajuk atau marah padamu. Dia hanya sedikit malu dengan kondisinya. Aku memang sudah lama meminta izin pindah sekolah pada gurunya. Dia sekolah di Australia saat ini. Maaf kan, Om karena Khanza sudah membuatmu khawatir. Tapi, tenang saja. Nanti juga Khanza akan merasa baikkan. Sering-sering datang kemari. Om suka anak sepertimu tang berani dan pantang menyerah" Ucap Ayahnya Khanza sambil mengulurkan buku MTK ku.

Aku masih merasa ada yang menganjal di hatiku. Sekali saja, aku ingin bertemu dengan Khanza kembali.

"Ah iya. Gimana kalau Om minta saja nomor telponmu? Om akan menghubungimu saat Khanza pulang" Itu kedengarannya ide yang bagus.

"Tapi, Om tidak bisa janji. Bocah itu, bandel untuk pulang. Kemungkinan besar dia akan pulang kalau sudah lulus SMA"

Aku tidak masalah akan hal itu. Setidaknya, aku ingin meminta maaf padanya sekali saja.

...----------------●●●----------------...

Hari-hariku di sekolah semakin buruk. Banyak coretan tentangku yang bisu di mejaku. Aku melihat ke arah Circle Clara. Disana ada Gavin. Dia hanya memalingkan wajahnya.

Tidak apa-apa, sebentar lagi aku juga pasti lulus.

Kata-kata itu selalu ku tanamkan pada diriku.

Aku mulai menyibukkan diriku dengan menjalankan hobiku. Menulis. Terkadang aku merasa bosan dan aku keluar dari rumah.

Selembar kertas ku temukan di majalah dinding jalanan. Ini adalah kegiatan relawan, untuk membantu dinas sosial. Aku mencoba masuk ke dalam organisasi itu.

Aku anggota paling muda disana. Rata-rata relawan dinas sosial adalah ibu-ibu. Salah satu diantara mereka adalah guru dari Sekolah Luar Biasa. Dia satu-satunya yang bisa mengobrol denganku.

Aku mulai menyukai lingkungan itu.

[S-E-K-A-R, apa kamu mau, membantu Ibu di sekolah? Ibu ada kelas sore dan butuh tenaga bantuan untuk anak-anak. Kalau mau, ibu akan membayarmu. Bagaimana?] Ibu Vety adalah namanya.

Mungkin ini adalah peluangku. Aku langsung setuju tanpa banyak menunggu lama.

Ibu Vety mengajarkanku cara pelafalan suara dan napas untuk memperjelas suaraku. Aku rajin berlatih huruf vocal (a,i,u,e,o). Ada satu huruf dengan pelafalannya yang cukup sulit menurutku.

Itu adalah huruf 'e'. Setiap kali aku berkaca dan mengeluarkan suara 'e' dengan sengaja, selalu saja berimbuhan 'g' atau 'kh' (eg, atau ekh). Aku kesulitan untuk menyantaikan tenggorkanku.

Ibu Vety bilang, aku bisa kembali sembuh kalau aku rajin. Dia menjadi sosok yang sangat memotivasi bagiku. Tengorokanku sering sekali sakit setelah berlatih. Terkadang, saat berlatih sendiri aku menjadi mual.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!