Game

Pria bertubuh tinggi tegap, memiliki gambar tato kepala naga, dan memiliki besetan luka panjang di kelopak mata kirinya. Membuat jantungku berdebar, takut.

"BRAK!"

Kanza tiba-tiba membanting pintu dengan keras. Dan aku melompat karena kaget.

Mungkinkah? Rumor itu benar?

TEP! Pria bertubuh besar itu, menepuk kedua bahuku.

Ehh, tunggu!...

"Waaah! Inikah Sekar yang kamu ceritakan, nak? Dia manis sekali!"

Andai saja aku bisa merekam suaranya, mungkin kalian akan sama melongonya denganku. Suara Ayahnya begitu ramah. Dia menepuk beberapa kali bahuku, lalu Khanza menarikku.

"CIH! AYAH! Kau selalu membuatku malu. Sekar kelihatan ketakutan melihatmu!" Tegas Khanza tiba-tiba.

Kedua mata Ayah Khanza seperti berkaca-kaca. "Akhirnya, setelah melewati banyak purnama, anakku memanggilku Ayah" Ayah Khanza mengeluarkan nada dramatis.

Aku hampir tertawa. Mungkin ini yang Khanza maksud apabila Ayahnya adalah orang yang random. Aku melihat Khanza di sebelahku.

"Ayahku, emang random" Ucapnya.

...----------------●●●----------------...

Leherku yang tegang, akhirnya bisa kembali santai, setelah waktu makan malam yang panjang. Khanza membawaku berkeliling. "Disana, tempatnya para pekerja Ayahku berada. Mungkin, badan mereka memang besar. Tapi, mereka orang yang ramah-ramah" Ucap Khanza.

Aku melihat ke arah timur, tempat bangunan lain yang bertembok setinggi 1 meter dan terang. Disana juga ramai.

Hatiku mungkin bisa memahaminya, tapi tidak dengan respon tubuhku yang selalu waspada melihat orang bertubuh besar seperti mereka. Bukan karena apa. Ini karena rumor tentang Khanza tidak sepenuhnya bohongan.

"Apa kau lelah?" Tanya Khanza membungkuk di depanku.

Aku mengeleng. Aku memang tidak lelah. Tempat ini, lebih ramai daripada rumahku yang sepi.

"Kalau begitu, mau bermain game di kamarku?"

Game?

"Ehk?! Maksudku- Aku punya PS-5. Mau bermain bersama?" Dia tiba-tiba menjadi kikuk.

Apa yang perlu di kikukkan? [Aku tidak pernah main game] Tulisku di note.

"Ah, tidak apa-apa. Aku akan mengajarkannya. Itu mudah" Khanza mudah tersenyum dengan lebar.

Benar juga. Aku tak melihat satupun foto perempuan disini. Apa Khanza berpisah dengan Ibunya? Ini mrmbuatku penasaran. Tapi, akan tidak sopan kalau aku bertanya hal pribadi itu.

Khanza mengajarkanku cara bermain konsol. Aku sungguh bingung. Aku tidak tau mana yang Attack, dan tombol mengarahkan chara. Ini pengalamanku pertama kalinya bermain game.

~●GAME OVER●~

Ini kekalahanku untuk yang ke-8 kalinya. Aku menyerah. Mengembalikan konsol itu padanya. "Ayo sekar! Jangan menyerah! Sini kita belajar dari awal" Dia tiba-tiba mendekat dan duduk di belakangku.

Bahunya yang luas merangkulku. Kedua lengannya masing-masing bertemu dengan kedua tanganku. Dia mengengam tanganku masing-masing dengan telapak tangannya yang lebar.

Dari jarak sedekat ini, aroma parfum dan sampo Khanza tercium kuat.

Telapak tangan Khanza terasa kasar dan hangat. "Perhatiin ya. Yang ini untuk.... Bla-bla-bla"

Khanza menjelaskan semuanya. Meski begitu, aku tidak mengerti. Ini lebih sulit dari game moba yang pernah ku lihat saat Gevan bermain.

Akhirnya, Khanza menyerah. Dia merebahkan tengkuknya di atas kasurnya. Aku masih duduk di depannya. Helaan napas panjang terdengar. Aku melihat ke arahnya. Ingin tertawa karena tak sesuai ekspetasinya.

Aku pindah tempat duduk. Aku merasa puas saat melihat Khanza menyerah. Aku masih memperhatikannya. Dia kembali duduk dengan benar dan membuka ponselnya.

"Mau makan cemilan?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku mengeleng. Aku masih kenyang. Aku ingin melanjutkan novelku.

"Umm, gitu ya?"

Kurasa dia mulai bosan? Aku menulis di note kecilku. Menepuk lututnya dan menunjukkan note ku padanya.

[Game tadi menyenangkan. Sayang sekali, aku masih bingung caranya. Apa tidak ada permainan lain yang mudah dilakukan?] Tulisku.

Bibir Khanza manyun. Dia seperti berfikir. "Mau main kartu? Kita main 41, itu permainan yang paling mudah. Kalau kalah, wajah harus di poleti bedak" Ucapnya.

[Sepertinya itu menyenangkan] Tulisku.

Khanza mengangguk dan kembali riang. "Tunggu disini ya, aku ambil kartu dan bedak" Dia bangkit dan keluar dari kamarnya dengan bersemangat.

Mataku mulai berkeliling. Ini pertama kalinya bagiku berada di kamar seorang teman. Kamar Khanza memang sederhana. Tapi, karena luas kamarnya yang hampir setara dengan kamarku di tambah ruang tamu rumahku, dan barang-barang miliknya yang terlihat mahal, membuat kamarnya terlihat lebih mewah. Terutama, lemari kayu dengan ukiran besar yang membatik disana. Lemari itu, memiliki nilai sendiri.

Aroma kamar Khanza sungguh berbeda dengan aroma kamar laki-laki yang diilustrasikan di dalam novel yang pernah ku baca. Rata-rata, aroma kamar laki-laki biasanya beraroma lembab dan sedikit tercium aroma rokok. Kamar Khanza sungguh bersih, rapi, dan enak di pandang.

Pendingin kamarnya juga, telah digantungkan pewangi. Aroma tercium segar dan khas. Cocok seperti Khanza.

Khanza tiba tak lama kemudian. Dia mulai menjelaskannya. "Kita singkirkan Joker. Lalu, untuk kartu A, nilainya 11. Sedangkan kartu J, K, Q nilainya 10" Kami mulai bermain lagi.

Ini permainan yang mudah.

Khanza terus-terusan kalah. Di wajahnya sudah banyak poletan bedak disana. Dia terlihat lucu, aku senang melihat wajahnya yang berantakan.

"ARRGGHH! KENA..PAAA?????" Dia menjerit dengan suara yang kecil. Sambil meletakkan empat kartu ditangannya yang baru berjumlah 38.

Aku menulis di note. [Main lagi?]

"OGAHH!!" Dia langsung menutupi wajahnya dan meratakan semua bedak di wajah itu. Warna kulit Khanza yang berada antara tone kuning langsat dengan sawo matang, menjadi lucu karena bedak bayi itu.

Dia berkaca. Menepuk kedua pipinya dan menariknya ke bawah. "Apa...Aku terlihat cantik?" Tanyanya tiba-tiba sambil melihat ke arahku.

"PFFT, PAHAHAHAHA!" Aku tertawa karena leluconnya. Bulu mata Khanza memang lentik. Alisnya juga sedikit tebal dan sudah menjadi sedikit abu-abu karena bedak. Bila boleh bilang, wajah Khanza berparas Arab. Wajah Khanza berbeda jauh dengan Ayahnya yang berparas Eropa. Tinggi dan putih.

"AAAKKKH, JANGAN KETAWA...." Ucapnya sambil menutup wajahnya dengan bantal. Lalu melempar bantal itu tinggi-tinggi.

Dia lucu. Dalam benakku, aku ingin sekali memegang wajah itu meski sebentar. Ini tidak sengaja. Sering kali, tubuhku bergerak karena imajinasiku. Aku memegang wajahnya tanpa sadar.

Kulitnya halus dan sedikit berserbuk. Mungkin karena bedak yang ku poletkan terlalu banyak. Aku melihat matanya. DEGH!. Iris emerald itu, sudah menatapku. Ini membuatku kaget. Aku langsung melepaskannya.

Dia tiba-tiba memegang kedua tanganku. Meletakkan kedua talapak tanganku di kedua pipinya. "Tangung jawab, aku sangat malu" Ucapnya dengan kening yang berkernyit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!