Aku mendengar rumor tentang Kanza. Dari bisikan-bisikan anak kelas. Tentang alasan mengapa dia ditakuti banyak orang. Termasuk Guru.
Kanza adalah anak Kota yang harus merantau karena Ayahnya. Dia memang salah satu calon ORANG BESAR. Aku tidak tau sebutan yang tepat untuk kata itu yang cocok untuknya. Siur burung mengatakan, Ayahnya adalah seorang penguasa dunia gelap. Untuk keamanannya, dia di rantaukan di desa ini.
Aku ingin sekali bertanya tentang kebenaran itu. Tapi, dia tidak terlihat seperti anak dari penguasa gelap. Kurasa, rumor itu tidak benar. Mereka hanya iri dengan kondisi Kanza.
Aku menatap Kanza terlalu lama tanpa ku sadari. Aku terkejut tiba-tiba dia bertanya dengan bahasa Isyarat.
Menunjuk, menepuk bahu kanannya, dan memutar kedua telapak tangannya dari dalam keluar di depan dada sambil mengeja di bibirnya. [Ada apa?].
Aku mengerakkan kedua tanganku sejajar dengan bahuku menurun seperti perosotan [Sudah] dan mengangkat kembali tangan kananku setinggi bibirku, mengepalkannya seperti memegang sendok dan memutarnya ke dalam [Makan] || [Sudah makan?] gerak bibirku.
Dia mengangguk.
Tak lama dari itu, dia langsung tertawa. "Keren juga aku!" Ucapnya dengan girang.
Aku hanya tersenyum. Aku sebenarnya bersyukur karena Khanza selalu menemaniku di sekolah. Karena dia, aku merasakan damainya sekolah tanpa diganggu oleh golongan Clara dan anak lain.
----------------●●●----------------
Jum'at sore. Dia memintaku untuk menunggunya di lapangan voli. Itu adalah ekstrakulikulernya. Dia memaksaku, dan katanya mau menunjukkan tempat bagus untuk merefreshkan otak.
Dia melompat begitu tinggi saat memblok smash-an dari lawan. Ini pertama kalinya bagiku menonton anak main voli. Biasanya, aku hanya membaca di buku saja. Suara bola yang menghantam kulit basah karena keringat, terdengar begitu panas. Mungkin, tanganku akan merah kalau bermain dengan bola itu.
Tim Kanza berhasil mendapatkan skor karena lawan memberikan serangan cepat yang keluar dari garis kuning. Khanza melihat ke arahku dan menunjukkan jempol tangan kanannya. Aku ikutan menunjuk dua jempol tanganku. Dia hebat.
Akhirnya, ekstrakulikuler Kanza usai. Dia sangat berkeringat. "Jangan deket-deket. Aku agak apek" Ucapnya.
Aku bahkan tidak pernah mencium aroma keringatnya. Tumben dia berkata seperti itu. Biasanya saat dia baru selesai kelas olahraga langsung ke kelasku tanpa menganti seragamnya dulu. Aku hanya melihatnya. Dan dia hanya meringis.
Dia membawaku berjalan. Hampir 15 menit. Kakiku mulai pegal karena jalan menanjak. Aku membuka ponselku. [Masih jauh? Aku ada PR] Kirimku.
Ponselnya berbunyi. Dia segera membukanya dan melihatku. "Enggak jauh lagi kok. Sudahlah, besokkan tanggal merah. Jadi, kita tenangin otak dulu~" Ucapnya sambil mengambil ranselku dan dia membawakannya.
Emang enak mulutnya kalau bilang. Aku menyipitkan mataku saat menatapnya. "Haha" Dia langsung membuang wajahnya jauh-jauh melihat sisi kanannya yang hanya persawahan.
----------------●●●----------------
Kami sampai setelah 20 menit kemudian. Dia membohongiku yang dari tadi bilangnya cuma 5 menit lagi, hingga bablas sampai 20 menit. Kakiku lemas-pegal setelah sampai di tempat. Tapi, rasa lelah itu segera terbayarkan karena hal yang dia tunjukkan.
Dia membawaku ke tebing. Ini tempat yang sepi. Semilir angin dan pemandangan sawah yang hijau, sungguh menyegarkan mata. Dia duduk di sebelahku. Membuka tasnya.
"Aku punya dua roti. Suka strawberry apa cokelat?" Dia mengulurkan dua bungkus roti itu. Aku mengambil yang rasa cokelat. Aku menepuk daguku dengan tiga jariku dengan keadaan telapak tangan yang terbuka dan membuka telapak tanganku sejajar dengan sikuku [terima kasih] gerak bibirku.
Dia mengangguk seperti bocah. "Gimana isyaratnya sama-sama?" Tanyanya.
Aku meraih tangan kanannya. Mengepalkannya dan menyisahkan Ibu jari dan jari kelingkingnya. Menyentuhkan ibu jarinya pada dadanya dan mengerakkannya maju mundur dua kali. "Oh..., ini sama-sama?" Tanyanya sekali lagi.
Aku mengangguk. Dan dia mengangguk balik. Mempraktekkan gerakan tangannya barusan yang ku contohkan padanya. Aku menunjukkan dua jempol ibu jariku padanya.
Aku mulai memakan roti darinya sambil menatap sawah dan ladang hijau disana. Burung-burung banyak yang berterbangan menuju arah barat dengan berkoloni. Langit terlihat mulai menjingga. Aku melihat Kanza di sebelahku. "Ehk?" Mata kami bertemu. Aku tidak tau dia melihatku sejak kapan. Tapi, dia membuatku merasa canggung.
Aku mengambil ponselku. Membuka WhatsApp-ku. Mengetik. [Kapan kita pulang?] Kirimku padanya.
Dia langsung membaca pesanku. "Kalau kakimu sudah tidak lelah lagi. Kalau masih capek, aku bisa membopongmu" Ucapnya.
Ufffh, kau baik sekali. [Terima kasih, aku bisa jalan sendiri. Mau pulang sekarang? Sebelum semakin gelap. Aku takut dengan ular] kirim pesanku.
Dia terkekeh saat melihat ponselnya. "Baiklah, kita foto dulu ya" Ucapnya sambil membuka kamera depan ponselnya. Dia mengeser duduknya lebih dekat ke arahku. Merangkul bahuku dan [CKRIK!].
"Ah, ngeblur. Coba ku timer dulu, 3 detik" Gumamnya.
"Sekali lagi. Ayo senyum" Ucapnya sambil meringis dan menekan tombol kameranya. Timer aktif. Di detik ke dua aku sedikit menelengkan kepalaku ke arah bahunya. Dia langsung melihat ke arahku. [CKRIK!]
Aku melihat Kanza. Dia terlihat terkejut. "Maa-af" Aku segera menarik kepalaku lagi dari bahunya.
"Eh?! Ti-tidak masalah" Dia tiba-tiba terlihat buru-buru membuang pandangannya lalu melihat hasil jepretanya.
Aku mengintip. Yah, Kanza tidak melihat kemeranya. Tapi, ekspresiku bagus. [Mau foto ulang?] Tanyaku di chating.
Dia langsung melihatku. "Tidak. Ini bagus. Ku jadiin wallpaper boleh?" Tanyanya sambil mengosok tengkuknya.
[Tidak masalah?] kirimku.
Dia melihat ponselnya lalu melihatku. "Emang kenapa?"
[Kau tidak melihat kamera] Kirimku lagi.
"Haha, ini foto yang bagus. Tidak masalah meski aku tidak melihat kamera" Dia langsung menjadikan foto itu, sebagai latar belakang ponselnya.
[Aku mau juga foto itu. Kirim ya...]
"Tentu" Ucapnya sambil mengirimkan dua foto itu pada WhatsApp-ku.
----------------●●●----------------
Dia mengantarkanku pulang sampai di depan pagar rumahku. Dia melambaikan tangannya. Tapi, entah mengapa aku merasa seperti ada yang kurang. Apa dia mau berkata sesuatu di tebing itu? Sebab, beberapa kali aku berkontak mata dengannya. Lalu, dia tiba-tiba bertingkah aneh yang membuatku sedikit canggung.
Aku tidak langsung membuka pagar rumah. Aku membuka layar ponselku. [Apa kau mau berkata sesuatu? Kau aneh dari tadi] kirimku.
Dia membukanya dengan cepat. "Eekh?! Apa begitu ya? Kelihatan baget?" Dia melihat ke arahku dan langsung berwajah bingung-malu.
Aku mengangguk.
Dia tiba-tiba berjongkok dan menutup wajahnya.
Dia kenapa lagi? Apa dia sakit sekarang? Aku mendatanginya dan memegang pundaknya. Mengintipnya perlahan.
Dia mengangkat wajahnya. Wajahnya sungguh merah. "Ii..itu, ummm... eeh...?" Dia kembali bertingkah canggung. Apa dia mau ke toilet karena mules?
Aku membuka ponselku lagi. [Mau mampir dulu ke rumahku? Tidak enak kalau mengobrol disini. Di dalam rumahku ada toilet. Kau boleh memakainya] Aku menunjukkan ketikanku padanya.
"Toilet?" Dia meringis tapi, kenapa alisnya seperti orang sedih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Archplanetes
emang sakit sih, harus kuakui🗿
2024-04-07
1