Keluarga Besar Ayah Khanza

Ini sudah lima hari sejak Khanza kembali ke kota. Dia menjadi sulit dihubungi sejak dua hari yang lalu. Pesanku tak dia baca sejak dua hari itu. Aku khawatir. Takut dia akan menghilang tanpa kabar seperti saat itu.

Aku sudah berusaha meneleponnya, nomornya tidak aktif. Aku berusaha berfikir positif. Mungkin ponselnya kehabisan daya atau mati karena jatuh ke dalam air. Ah, itu tidak mungkin. Ponsel Khanza tahan air. Mungkinkah ponselnya hilang?

Rasa tidak nyaman di pikiranku, memuncak setiap bersiap akan tidur. Aku selalu melihat WhatsApp-nya. Dia terakhir di lihat dua hari yang lalu 19.38. Pesan terakhirnya juga mengirim foto tempat yang gelap dan tinggi, namun banyak lampu dari kejauhan. Tempatnya, hampir seperti tebing waktu itu.

Aku menghela napas perlahan. Berkaca, mataku sebam. Aku tidak mood mengerjakan apapun.

Keesokan harinya, aku berangkat bekerja. Disapa oleh beberapa ibu kompleks yang berkumpul membicarakan sekolah anak-anak mereka. "Berangkat kerja, Sekar?" Sapa mereka.

"Iya bu" Jawabku mengangguk, melewati mereka.

"Hati-hati" Ucap mereka.

Mereka sebenarnya orang baik, tapi mereka sering sekali kekurangan topik pembicaraan hingga, "Ku dengar, Sekar dulu anak bisu. Dia yatim-piatu yang di angkat oleh Bu Vety. Kasihan sekali dia" Lirih-lirih yang ku dengar.

Ah, tak perlu mengkasihani aku. Aku tidak pernah merasa perlu di kasihani atas kehidupanku. Tetaplah jalan terus, selalu melihat ke depan. Sifat manusia memang begitu. Mengkasihani orang lain, tanpa mengkasihani dirinya sendiri. Mereka terlalu memfokuskan diri terhadap orang lain yang ada di hadapan mereka.

Sampai di Cafe, kami bersih-bersih. Di cafe itu, aku satu-satunya karyawan perempuan. Mereka semuanya laki-laki. Rata-rata kami sepantaran dan ada yang berusia dua tahun lebih tua dariku. Dia senior kami.

"PROK! PROK! PROK!" Suara tepukan tangan cepat terdengar. Aku menoleh ke asal suara itu. Tepukan itu berasal dari Senior kami.

"Yok! Semangat! Pasti hari ini sepi lagi!" Senior kami bernama Kak Dylan. Dia orang yang humoris. Kata 'sepi' disini merupakan kata keramat yang bisa membuat seisi Cafe ramai hingga punggung terasa seolah tertindih batu besar.

"Hayuuu! Semangat Sekar... Lemes amat dari tadi, kek lagi berantem sama ayang" Ucap Kak Dylan sambil menepuk bahuku.

Aku tersenyum lebar, sambil menggunakan celemek warna khaki ini. "Haha, siap kak" Jawabku padanya.

Pelangan datang satu-persatu. Aku berada di bagian kasir. Cafe mulai ramai dan sejenak, aku lupa tentang masalahku.

Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Cafe menjadi sepi dengan cepat. Banyak dari mereka, anak kampus yang pulang karena jam kelas mereka. Aku beristirahat sejenak. Membuka ponselku. Elgard mengirimkan pesan.

Kenapa akhir-akhir ini Elgard yang chatingan denganku? Aku menjadi malas. Tapi, Khanza berpesan padaku untuk tidak mengabaikan pesan orang lain. Aku melihat chatingnya. Dia mengirimkan gambar tugu selamat datang di desa ini. Dengan caption, [Aku ada di desamu. Ada jadwal pemotretan nih. Boleh mampir ta?] Ini chatingnya 12 menit yang lalu.

Aku langsung membalasnya [Aku lagi kerja. Memang, kau kapan akan kembali?]

Aku meletakkan ponselku. Menunggu jawabannya. Tak berselang lama, ponselku berbunyi. Aku melihatnya, ini dari Elgard.

[Walah, Sekar kerja]

[Mungkin nanti malam aku pulang]

[Kalau boleh tau, kerja dimana?]

Dia cepat sekali mengetik. Aku melihat jam dinding. Masih pukul 3 sore. Sisa dua jam lagi aku pulang. [Cafe Roos] Jawabku.

CTING!

Ponselku berbunyi lagi. Elgard mengirim foto. Aku membukanya. Itu foto cafe tempatku kerja, captionnya [Weh, aku ada di depan. Boleh mampir?]

Belum sempat aku menjawab, Elgard sudah membuka pintu Cafe. Astaga, dia benar-benar mengecat rambutnya menjadi cokelat tua. Dia menggunakan kacamatanya seperti biasa. Dia terlihat lebih segar dibanding waktu kami bertemu di campus.

"Selamat Datang" Sapa Kak Dylan.

Elgard menyabaikannya dan melambaikan tangan padaku. Teman-temanku yang lain melihat ke arahku. "Anjir, kau kenal denganya, Sekar?" Bisik rekanku di sebelahku.

"Iya, dia teman dari kampus" Jawabku.

"Potongannya bagus" Ucapku pada Elgard saat dia melihat menu cafe di dekatnya.

"Hehehe, makasi. Cappucino panas 2, sama Choco Mousse 2" Pesanan Elgard.

"Bareng temen kesini?" Tanyaku.

"Enggak, cuma bareng sama manager aja, dia lagi diare di toilet taman sana" Tunjuk Elgard ke luar cafe.

"Astaga, bisa-bisanya. Totalnya 96 ribu" Ucapku.

"Q-ris ya?"

Elgard duduk di kursi nomor 11 dekat dengan jendela tak lama setelah dia membayar. Aku melihat dia yang berkeliling pandang. Seolah, menilai cafe ini. Teman-temanku kembali berisik setelah aku memberikan pesanan Elgard kepada Kak Dylan di bagian dapur.

"Dia Artis kah? Sampai punya manager gitu?" Tanya rekanku dengan berbisik.

Aku hanya terkekeh ringan. Tidak menjawab pertanyaan itu.

Kemudian, mengantarkan camilan kecil berupa potongan dari buah untuk salad kepada Elgard. "Kasih ini, cafenya juga lagi sepi. Ajak mengobrol dulu temanmu" Itu pemberian dari Kak Dylan, setelah mendengar pelanggan itu kenalanku.

"Apa ini?" Tanya Elgard, seolah terkejut saat aku meletakan sepiring potongan beberapa buah-buahan padanya. "Sudah makan saja, dari Senior ku. Selagi menunggu pesananmu jadi" Jawabku masih berdiri di depan meja Elgard.

"Ah, begitu kah?" Elgard langsung berdiri dan membungkuk sedikit ke arah rekan-rekanku jauh disana.

Aku kembali menoleh ke luar. Tak ada tanda-tanda kedatangan manager Elgard. "Apa Managermu masih belum datang?" Tanyaku.

Elgard kembali duduk, kembali melihatku. "Ah, iya. Baru saja Kak Hyzer menghubungiku, dia sedang mencari penginapan disekitar sini, untukku dan staff lainnya. Apa jam shiftmu mau habis?"

"Oh, tidak juga. Apa aku boleh duduk disini?" Tanyaku.

"Apa kau tidak kerja?"

"Mereka yang menyuruhku melakukan ini. Kalau tidak, aku disuruh cuci piring" Jawabku.

"Ahaha, silahkan. By the way, gimana kabar Khanza?" Elgard mulai menyantap potongan buah itu tengan garpu tusuk.

Aku sedikit aneh untuk membicarakan Khanza saat ini. "Masih sama seperti yang ku katakan sebelumnya, dia kembali ke rumahnya. Ada urusan dengan Ayahnya" Jawabku.

"Ayahnya lagi ya? Aku mengenal Ayahnya, kami masih memiliki ikatan darah. Tapi, itu jauh. Dari keluarga Ibuku" Jawab Elgard memangku pipi kanannya dengan telapak tangan kanannya.

Ah, rupanya mereka sepupuan.

"Meski begitu, kami bukan sepupuan" Lanjutnya.

"Eh?" Aku terkejut.

"Khanza adalah anak angkat Ayahnya yang saat ini. Ayahnya yang saat ini, belum pernah menikah. Dia masih lajang. Saat aku masih kecil, mungkin 5 tahunan, Paman Knox tiba-tiba membawa anak kecil berusia 3 tahun di pertemuan keluarga. Itu membuat seluruh keluarga menjadi gaduh. Terutama, dari Nenek Ibuku dan Ayah Khanza sekarang." Elgard mulai bercerita.

"Keluarga Nenek Ibuku, sangat peduli terhadap garis keturunan. Menikahnya Ayahku dengan Ibuku sudah seperti sebuah kutukan baginya. Keluarga besar disana, mungkin masih mengakui Ibuku dan Ayah Khanza sebagai keluarganya. Tapi, tidak dengan Aku, Ayahku, dan Khanza" Lanjut Elgard.

Aku tidak menyangka apabila kondisi Khanza dan Elgard seberat itu. Tapi, melihat dari penjelasannya, Elgard pasti dianggap anak haram di keluarga besar Ibunya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia menghadapi tatapan dan tunjukkan jari telunjuk di keluarganya itu. Dia hebat, bisa bertahan di posisi seperti itu.

Apakah Khanza saat bertemu keluarga besar Ayahnya akan mengalami diskriminasi yang dikatakan Elgard?

Elgard tertawa. Aku kembali melihatnya. Dia tersenyum simpul. "Sejak di pertemuan pertama Khanza itu, Ayahnya memutus semua hubungan dan ikatan keluarga besar di Eropa. Khanza tidak akan tau tentang cerita ini. Ayahnya juga terlihat seolah menghindariku saat dia melihatku di Australia. Ini yang membuatku menyadari, ada batas diantara aku dengan keluarga Ibuku. Ah, jadi curhat" Ucap Elgard sambil terkekeh.

"Plak!" Elgard memukul kedua pipinya.

"Ini yang membuatku, sedikit tidak enak untuk apa-apa menghubungi Khanza langsung, meski aku menyimpan nomornya dan dia menyimpan nomorku. Jadi, maaf ya kalau terganggu dengan semua chatingku" Ucap Elgard sambil melihat ke arah Kak Dylan yang mengantarkan pesanan untuknya.

"Terima kasih" Ucap Elgard kepada Kak Dylan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!