Bab 12 Buah Perbuatan Yang Ditanam

Tujuh tersangka yang telah diadili oleh amarah warga adalah Wasiman selaku dalang utama bersama enam orang lainnya yang tidak lain adalah orang-orang desa yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Anggota keluarga yang lain yang sama sekali tidak tahu menahu dengan perbuatan Wasiman merasa malu sekaligus kecewa yang membuat mereka memutuskan untuk pergi keluar dari desa yang selama ini telah menjadi rumah yang nyaman bagi mereka.

Yayan, Endang, dan Rustam adalah tiga bocah sekawan permainan yang diturunkan dari garis pertemanan dan persahabatan ayah mereka. Endang adalah putri sulung Tomo. Rustam adalah keponakan kesayangan dari Dirman. Yayan yang paling tua diantara ketiganya adalah putra semata wayang dari Wasiman yang dikenal sebagai seorang pengkhianat desa. Yayan sendiri ditelantarkan oleh kerabat ayahnya yang lain. Hanya Tomo yang bersedia untuk menanggung anak kecil itu.

Anak-anak desa sering menghabiskan waktu di embung sebagai tempat kesukaan mereka. Bocah-bocah kecil itu sama sekali tidak tahu perbuatan yang dilakukan oleh orang tua mereka terhadap embung yang mereka jadikan sebagai tempat bermain setiap harinya. Di tempat dibuangnya mayat-mayat itulah anak-anak mereka bermain, berenang, tanpa mengetahui pedih apa dibalik peristiwa yang tidak pernah ada seorang pun yang membicarakannya sejak kejadian kelam itu.

“Pulang.. pulang.. hujan”, teriak seorang warga membubarkan kerumunan anak-anak yang sedang asik bermain di embung.

Anak-anak pun lantas berbalap lari untuk sampai di rumahnya masing-masing.

Yayan, Endang, dan Rustam menjadi barisan terakhir dalam perjalanan itu.

“Kenapa?”, tanya Rustam kepada Endang yang tiba-tiba berhenti.

“Feri masih di sendang”, kata Endang.

“Ya sudah aku yang jemput kalian berdua pulang dulu sana”, perintah Yayan.

Feri adik Endang yang masih kecil selalu ikut kemana saja kawanan kakaknya pergi bermain. Feri sudah pamit kepada kakaknya kalau ia akan pergi ke sendang untuk buang air besar. Hujan dan panik meniggalkan bocah yang belum hafal jalan itu seorang diri di embung.

Feri bangkit dari jongkoknya setelah lega mengeluarkan kotoran-kotoran dari dalam perutnya. Sadar bahwa hujan mulai turun ia bergegas menghampiri kakak-kakaknya di embung untuk ia ajak pulang ke rumah. Tapi sesampainya di embung Feri ternyata tidak menemukan orang sama sekali.

“1.. 2.. 3.. 4.. 4… 5……….. e…. 6….. 7……”,

Feri yang sudah mulai pandai berhitung menghitung orang-orang yang baru saja keluar dari embung yang kemudian berdiri di ujung bibir embung yang berlawanan denganya. Pikir Feri orang-orang itu adalah anak-anak desa yang baru saja selesai berenang di embung. Feri pun berjalan mengitari embung untuk menghampiri mereka. Feri kecil masih bingung lewat jalan mana jika ia ingin pulang sendiri sampai ke desa. Ia berharap dengan pulang bersama orang-orang itu ia tidak lagi takut akan tersesat terlebih hujan yang semakin deras membuat pandangan mata samar tidak jelas.

Namun setelah langkahnya hampir sampai kepada orang-orang yang hanya berdiri mematung setelah keluar dari embung Feri tiba-tiba berhenti. Matanya yang masih awas bisa menyimpulkan bahwa makhluk-makhluk berlumpur dengan tampang menakutkan itu bukanlah orang. Kini Feri hanya bisa berdiam diri tubuhnya seakan terbius tidak bisa bergerak sama sekali. Di lain sisi makhluk-makhluk menyeramkan itu mulai melihat dirinya. Mereka semua berjalan perlahan mendekati bocah kecil itu.

Tubuh Feri digoyang-goyang, Yayan menemukan adik dari Endang itu berdiri memaku dengan air mata ketakutan yang deras mengalir tanpa bisa bersuara apa pun. Yayan menggendong Feri di balik punggungnya untuk kemudian berlari sekuat tenaga meninggalkan embung yang kini tengah punya penjaga.

Sesampainya di rumah Yayan menceritakan semuanya. Apa yang dilihatnya sama persis dengan apa yang dilihat oleh Feri. Namun sayangnya cerita Yayan tidak ditanggapi dengan serius oleh Pak Tomo dan juga istrinya. Endang pun menganggap Yayan hanya mengarang cerita iseng saja sebagai bahan untuk menakut-nakuti anak-anak desa yang lain. Sementara Feri tidak bisa membela kesaksian Yayan karena setibanya di rumah anak itu hanya bisa diam dengan tubuh yang menggigil karena kehujanan. Ia menyempatkan pergi ke rumah Pak Kus sang kepala desa namun hasilnya sama saja ucapannya hanya diremehkan. Niat baiknya disalah artikan berbalas sinis sikap warga desa yang menganggapnya hanyalah seorang anak kecil kesepian yang sedang mencari hati perhatian.

Di malam harinya tepat setelah lewat tengah malam hujan yang tadinya sudah mulai mereda kembali bersuara dengan derasnya. Untuk pertama kalinya warga desa kedatangan tamu tengah malam yang memaksa mereka untuk dibawa ke embung. Di malam itu untuk pertama kalinya para penguasa embung yang baru memperkenalkan diri mereka yang disebut warga sebagai manusia lumpur.

Kunjungan pertama para penghuni embung tidak hanya untuk mengejutkan dan menakut-nakuti warga. Sebuah serangan nyata dari para manusia lumpur berhasil menyandera warga desa yang kemudian mereka bawa ke embung. Penduduk desa kewalahan menghadapi besarnya tenaga makhluk licin berbadan besar itu. Orang-orang mengejar manusia lumpur yang memanggul anggota keluarga mereka. Dalam deras hujan itu makhluk yang baru pertama kali mereka lihat ini berjalan semakin cepat. Semakin mendekati embung manusia lumpur menjadi semakin kuat.

Sesampainya di embung tujuh warga desa yang tertangkap langsung dilemparkan ke dalam embung. Orang-orang yang dimasukan oleh manusia lumpur ke embung tidak pernah bisa keluar lagi. Seperti mayat-mayat yang dibuang begitu saja yang tidak bisa melakukan perlawanan. Semua warga desa menjadi saksi malam mengerikan itu.

Malam itu masih panjang. Manusia lumpur tidak berhenti. Mengetahui warga desa yang datang menyusul makhluk-makhluk itu kembali berbalik arah untuk memburu mereka. Mengetahui dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi warga desa yang ketakutan berlari berhamburan mencari tempat untuk bersembunyi.

Jangankan untuk melawan untuk berlari menjauh saja warga desa sudah lemas. Tidak hanya tenaga mereka yang habis melainkan mental mereka juga hancur. Orang-orang yang memilih untuk berlari menuju hutan menemui jalan terjal tatkala arus sungai yang harus mereka seberangi begitu deras. Kalau tidak hati-hati bisa-bisa mereka malah mati terseret arus sungai jika nekat menyeberanginya. Tapi dari pada harus mati di dalam dekapan makhluk berlumpur yang menjijikan mereka lebih memilih menyeberangi sungai. Anehnya manusia lumpur tidak menyeberangi sungai untuk mengejar mereka.

Warga yang memilih lari ke sawah dengan mudah ditangkap oleh makhluk-makhluk embung itu. Sebagian besar korban pada malam itu adalah para perempuan yang memang tidak cukup kuat untuk melawan dan melepaskan diri dari jerat manusia lumpur apabila sudah tertangkap.

Penduduk desa yang lain memilih bersembunyi di antara pohon-pohon bambu. Berharap mereka bisa mengelabui para pemangsa mereka. Nyatanya perhitungan orang-orang itu salah. Manusia lumpur masih bisa mengendus persembunyian mereka dan menemukannya dengan mudah. Namun dalam peristiwa ini sebuah harapan datang. Diketahui oleh warga bahwa makhluk-makhluk menyeramkan itu takut dengan bambu kuning. Kus yang memimpin rombongan itu mengayunkan pohon bambu kuning yang masih kecil ke tubuh manusia lumpur layaknya sebuah cambuk. Manusia lumpur itu pun mengerang seperti kesakitan dan meninggalkan kebun bambu tersebut. Melihat keajaiban di tengah kemalangan ini warga desa lantas meniru apa yang dilakukan oleh Kus. Mereka menebang bambu kuning untuk digunakan sebagai senjata melawan para manusia lumpur.

Seakan alam bersikap adil hujan yang deras mulai diredakan. Warga yang kini memegang kendali tanpa ampun memukuli para manusia lumpur yang begitu takut dengan bambu kuning. Makhluk-makhluk itu berjalan pergi sambil merengek kesakitan menuju embung. Seiring hujan yang mereda sosok-sosok itu juga semakin melemah dan wujudnya hanya samar-samar belaka. Warga meneriakkan puas kemenangannya setelah berhasil mengirim manusia-manusia lumpur itu masuk kembali ke dalam embung. Mereka berhasil mengakhiri teror mencekam malam itu dengan sebuah kemenangan. Mereka berhasil mengetahui rahasia-rahasia musuh mereka yang nantinya akan menjadi lawan abadi mereka selama tinggal di desa. Meski tidak dipungkiri malam itu juga tragis karena mereka harus membayarnya dengan nyawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!