“Hujan Pak”, kata Feri.
“Ayo kita makan dulu biar pulas nanti tidurnya. Ayo Wan”, ajak Pak Tomo.
Malam belum terlalu dalam. Mata juga masih jauh untuk terpejam. Tapi hujan sudah mendahului. Bahkan jam makan malam pun mereka ajukan sebagai persiapan di awal datangnya musim hujan yang lebih sering tampak di malam hari.
Pak Tomo dan Feri sudah terlebih dahulu tertidur. Iwan masih terjaga dengan suara jatuhnya air hujan yang semakin keras deras. Rasa ingin tahunya memuncak ketika ia mendengar suara tapak langkah yang begitu berat dan basah. Iwan harus membuktikannya sendiri untuk mencapai titik sadar apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Selain itu ia tidak bisa terus-terusan dikuasai oleh rasa takut yang tidak jelas bentuknya. Iwan memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama seperti yang kemarin malam Feri lakukan yaitu mengintip dari celah pintu dan jendela.
Siapakah orang itu? Makhluk serupa manusia itu berjalan mondar-mandir di halaman rumah. Seluruh tubuhnya terbalut lumuran lumpur hitam pekat sama seperti warna tanah embung sebelum tertutup dipenuhi air hujan. Posturnya tinggi besar. Tampak mata dan mulutnya hanya lubang-lubang hitam. Melihat apa yang sedang diperhatikannya Iwan benar-benar ketakutan setengah mati. Bergerak saja ia kini tidak sanggup. Berat sekali rasanya untuk sekedar melangkah kembali ke tempat tidur. Ingin ia memanggil bantuan untuk menolongnya dari situasi ini tapi membuka mulut saja ia kesulitan. Situasi tambah buruk ketika makhluk yang sedang diintipnya berbalik melihat ke arahnya. Sosok menyeramkan itu melangkah dengan cepat menghampiri Iwan yang sedang melihat dari balik pintu. Terdengar jelas suara langkahnya “plak… plak.. plak…” langkah yang berat mengendapkan lumpur meninggalkan jejak. Tiba-tiba makhluk itu berhenti tepat sebelum selangkah lagi sampai di depan pintu. Bambu kuning yang dipasang di pintu menghentikan langkahnya. “Arggh… arggh… argghh..” suara makhluk itu mengerang yang membuat Iwan tambah lemas. Ia tidak perlu memicingkan mata lagi. Sosok mengerikan itu kini dengan jelas bisa dilihat olehnya tengah mematung di balik pintu. Ia tidak kuasa lagi. Iwan jatuh pingsan.
Iwan terbangun di tempat tidur dengan kondisi kepala yang masih terasa pusing. Tidak hanya itu saja beribu pertanyaan mengetuk benaknya menuntut untuk segera diberikan penjelasan dan jawaban. Ia memandang dari jendela kamar yang terbuka langit yang dominan mendung hanya sedikit celah-celah cahaya yang bisa menembusnya. Dari kejadian malam tadi rupanya ia sudah cukup lama tidak sadarkan diri. Ia menghela nafas panjang mengetahui ia terbagun di sore hari setelah melihat mesin waktu di dinding kamar. Sebentar lagi malam akan kembali.
“Sudah bangun Wan? Ini diminum dulu teh anget habis itu makan dulu sudah disiapkan”, kata Pak Tomo menyadari Iwan sudah terbangun.
“Feri kemana Pak?”, tanya Iwan.
“Feri sedang di rumahnya Endang”, kata Pak Tomo.
“Pak. Tadi malam saya melihat…”, kata Iwan.
“Iya nanti aku jelaskan sambil makan sama-sama siapakah mereka”, potong Pak Tomo.
“Mereka?”, kata Iwan tercengang.
Penduduk desa mengenal sosok mereka dengan sebutan manusia lumpur yang berasal dari embung desa yang mereka bangun sendiri. Makhluk itu akan muncul di saat musim hujan tiba. Kedatangan mereka bersamaan dengan terisinya embung yang menampung air hujan selama musim berlangsung. Embung itu adalah rumah bagi para manusia lumpur. Dari sanalah sosok serupa manusia yang berlumuran lumpur itu bangkit di setiap musimnya. Mereka bisa menampakan diri mereka secara utuh saat hujan lebat mengguyur. Saat hujan reda sosok merekan pun akan pudar dan samar. Semakin jelas wujud mereka semakin nyata pula ancaman dan kekuatan mereka. Ketika hujan berhenti mereka mulai melemah dan menghilang kembali masuk ke dalam embung. Saat hujan deras mereka akan mendatangi rumah-rumah warga. Tujuan mereka ialah untuk menangkap para penduduk desa dan membawanya masuk ke dalam embung. Sosok manusia lumpur itu kuat dan juga menjijikkan. Jika sudah tertangkap akan sangat sulit untuk melepaskan diri dari mereka. Melawan mereka nyawa taruhannya. Bambu kuning adalah kelemahan mereka. Manusia lumpur akan takut dan menjauh jika berhadapan dengan bambu kuning. Untuk itulah para warga desa melindungi diri mereka dengan memasang bambu kuning di pintu dan jendela rumah mereka.
Sembari makan Iwan merenungi penjelasan yang disampaikan oleh Pak Tomo mengenai permasalahan yang senantiasa meneror warga desa di setiap musim hujannya.
“Kenapa tidak dilawan saja Pak? Misalnya pas sedang tidak turun hujan kita buru mereka”, usul Iwan.
“Semua cara sudah pernah kami lakukan. Mereka selalu datang kembali”, ujar Pak Tomo.
Bambu kuning tidak hanya digunakan sebagai tameng di rumah-rumah mereka saja. Setiap penduduk desa yang hendak beraktivitas di luar rumah selama musim hujan wajib membawa bambu kuning yang mereka fungsikan sebagai tongkat untuk menakut-nakuti manusia lumpur jika mereka bertemu dengan makhluk itu secara langsung.
“Memang jumlah mereka berapa Pak?”, tanya Iwan kepada Pak Tomo.
“Banyak”, jawaban yang menggetarkan Iwan.
Jika bambu kuning digunakan sebagai alat untuk pertahanan maka ada satu alat lagi yang digunakan sebagai alarm oleh warga desa di setiap musim hujannya. Yaitu kentongan yang terbuat dari bambu duri yang bisa menghasilkan bunyi yang lebih ngebass. Kentongan akan dipukul sebagai komunikasi yang memberitahukan bahwa hujan akan segera datang. Bunyi itu untuk memperingatkan warga yang sedang beraktivitas di waktu pagi atau pun siang dan sore hari dengan tujuan memanggil mereka supaya bergegas pulang ke rumah. Terlebih hampir seluruh warga desa berprofesi sebagai seorang petani yang artinya setiap harinya waktu mereka dihabiskan di ladang. Karena ada saja warga yang tetap nekat keluar rumah meski sudah jelas ancaman manusia lumpur itu nyata dan pernah mereka alami sendiri. Bunyi kentongan pada musim hujan juga diartikan sebagai pertanda malam yang akan segera datang. Pemukul kentongan itu memanggil anggota keluarganya untuk segera pulang.
“Tok.. tok.. tok….”
“Tok.. tok.. tok…”
“Tok... tok.. tok..”,
Sore sudah mulai habis. Langit mendung segera akan bertemu dengan gelap. Untuk pertama kalinya para warga membunyikan kentongan di rumah mereka masing-masing secara serentak. Itu adalah tanda bahwa petang akan segera datang. Dan menjadi sebuah konfirmasi bahwa di malam sebelumnya mereka telah melihat kemunculan manusia lumpur untuk pertama kali.
“Tok.. tok.. tok..”, Iwan melihat Pak Tomo juga memukul kentongan yang digantung di beranda rumah mereka.
Kentongan akan berhenti di pukul tatkala keluarga mereka sudah lengkap berada di rumah. Begitu sudah tidak ada bunyi dari kentongan artinya warga desa sudah berada di dalam rumah masing-masing dengan keadaan rumah yang sudah terkunci.
Malam itu Feri tetap tidur di rumah bersama Pak Tomo dan Iwan. Ia gagal meyakinkan Endang kakak perempuannya yang bersikeras ingin tinggal seorang diri tidak mau ditemani oleh siapa pun. Luka batin yang masih menganga di hatinya membuatnya berlaku sungguh dingin terhadap warga desa bahkan saudara dan ayahnya sekalipun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments