“Kenapa kamu pulang?”,
Di keesokan paginya ayah Feri menanyakan dengan serius alasan dibalik kepulangan putranya. Feri menjelaskan keyakinannya dengan jelas kepada ayahnya mengapa ia harus pulang ke rumah tidak seperti janji yang sudah mereka sepakati ketika di hari pertama ia berangkat ke sekolah. Ditambah lagi ia mengajak seorang teman yaitu Iwan yang akan menjadi tanggungjawab mereka selama waktu liburan selesai.
“Perkenalkan nama saya Iwan Pak. Saya teman asrama Feri”, Iwan memperkenalkan dirinya.
“Aku bapaknya Feri. Namaku Tomo. Dibuat krasan ya Wan selama di sini. Tapi adanya ya cuma seperti ini”, ayah Feri Pak Tomo menyambut baik kedatangan Iwan.
Pagi itu warga berbondong-bondong menuju ke kebun bambu yang berada di dekat embung yang sempat dilihat Iwan kemarin malam. Menjelang memasuki musim penghujan orang-orang di sana melakukan sebuah rutinitas yang selalu mereka kerjakan di setiap tahunnya. Feri yang baru saja pulang pun tak sabar untuk terlibat di dalam masyarakat dimana di sanalah ia tumbuh bersama dengan teman-teman masa kecilnya.
“Pak aku sama Iwan yang ambil bambu ya?”, izin Feri kepada ayahnya.
“Iya sana biar bapak yang rapikan rumah. Jangan banyak-banyak Fer seperlunya saja”, pesan Pak Tomo.
Feri dan Iwan ikut bersama kerumunan warga yang berjalan menuju ke kebun bambu di dekat embung. Di perjalanan pagi itu semua masih terlihat biasa saja di mata Iwan yang baru pertama kali ke sana. Feri sendiri menyempatkan untuk bertegur sapa dengan para tetangganya yang kebanyakan adalah orang-orang seusia ayahnya atau pun yang umurnya lebih tua darinya. Ia sempat menanyakan perihal kemana kawan-kawan kecilnya dulu? Kebanyakan mereka merantau keluar dari desa.
“Fer bukannya dari tadi kita sudah melewati banyak kebun bambu?”, tanya Iwan heran.
“Benar. Tapi yang mau kita ambil ini bukan bambu itu. Kita butuhnya bambu kuning”, jelas Feri.
“Bambu kuning yang sering dibuat hiasan itu?”, Iwan terkejut.
Iwan lebih terkejut lagi ketika sudah sampai di kebun bambu yang dimaksud. Baru kali ini ia melihat kebun bambu kuning seluas ini. Sama sekali berbeda dengan bambu yang umumnya dikenal dengan warna hijaunya bambu kuning memiliki warna yang lebih cantik ditambah corak hijau bergaris. Bambu kuning memiliki ciri batang yang beruas-ruas dan tinggi. Dan lagi bambu kuning juga tidak terlalu bersisik sehingga lebih mudah untuk mengolahnya. Tapi memang keberadaannya jarang dan hanya ada di tempat-tempat tertentu saja seperti di pinggir-pinggir sungai dan salah satunya tumbuh subur di desa ini.
Dalam pengambilan bambu kuning yang dibutuhkan selalu saja ada warga yang berselisih. Terjadi percekcokan antara satu orang dengan orang yang lainnya.
“Kamu ngambilnya kebanyakan. Rumahmu memangnya sebesar apa?”, protes warga yang tidak terima jika ada yang berlebihan.
“Ini sudah pas”, warga yang diprotes tidak mau kalah.
“Kamu harusnya lihat pertumbuhan bambu kuning ini sudah tidak seperti dulu. Banyak yang mati. Kalau kamu seperti itu bisa-bisa warga yang lain tidak kebagian”, warga kembali memprotes.
Di tengah perselisihan itu untungnya selalu ada yang bisa menjadi penengah guna melerai dan meredakan amarah para warga. Ialah Pak Dirman selaku lurah kepala desa di desa itu yang menjadi jembatan dan pengambil keputusan yang adil. Sosoknya begitu dihormati dan disegani para warga.
“Ini putranya Tomo bukan? Aku kok sudah pangling”, kata Pak Dirman kepada Feri.
“Iya Pak Lurah. Saya Feri anaknya Pak Tomo”, kata Feri.
“Ealah… bukannya kamu sekolah di sekolah bagus yang ada pondoknya itu? Kenapa malah pulang?”, kata Pak Dirman.
“Asrama namanya Pak”, jelas Feri.
“Ingat ya nak masih belum ada yang berubah”, pesan Pak Dirman.
Feri sudah mendapatkan cukup bambu kuning yang ia perlukan. Ketika hendak pulang ia malah kehilangan Iwan yang entah pergi kemana. Dengan segera Feri mencari Iwan sebelum kawannya itu benar-benar hilang. Dan benar saja sesuai dengan kejadian semalam kini Iwan tengah berada di embung yang dilihatnya yang letaknya tidak jauh dari kebun bambu kuning.
“Wan ayo balik ke rumah sudah ditunggu bapak”, teriak Feri buru-buru memanggil temannya itu yang dilihatnya sedang berada di bibir embung.
Iwan berjalan ke arah Feri yang memanggilnya.
“Lain kali kalau mau ngilang bilang dulu ya Wan biar aku gampang nyarinya”, kata Feri.
“Fer embungnya kenapa tidak ada airnya?”, tanya Iwan.
“Itukan dulu awal dibuatnya fungsinya untuk menampung air hujan dan air dari sungai. Tapi setelah warga membuat sumur di dekat rumah masing-masing ya jadinya tidak difungsikan lagi. Aliran sungai yang menuju ke embung pun ditutup supaya airnya bisa lebih banyak untuk pengairan sawah warga”, penjelasan Feri.
“Kenapa tidak ditutup saja?”, tanya Iwan.
“Pernah. Dulu kami pernah menimbunnya dengan tanah. Tapi setelah hujan deras turun embung itu selalu kembali seperti semula”, terang Feri.
“Kalau itu bilik-bilik yang rusak di dekat embung itu?”, selidik Iwan penasaran tentang desa yang baru disinggahinya.
“Itu dulu rencananya mau dibuat semacam kakus. Ada juga itu sendangnya. Tapi sekarang ya sudah pada mandi dan mencuci di rumah masing-masing”, terang Feri.
Dalam perjalanan pulang ke rumah dari kebun bambu itu Iwan baru menyadari setelah betul-betul memperhatikan rumah-rumah warga di desa itu. Semua rumah yang dilaluinya pintu dan jendelanya terdapat banyak bekas lubang-lubang paku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ℨ𝔞𝔦𝔫𝔦 𝔞𝔫𝔴𝔞𝔯
makin penasaran
2024-04-29
1