Sesampainya di rumah Iwan dibuat kaget dengan Pak Tomo yang sedang berbincang dengan seorang perempuan. Sosok perempuan itu pernah dilihat olehnya sewaktu ia berlari di malam hari memasuki desa ini. Peristiwa itulah yang membuat Iwan menahan rasa takut sewaktu tiba di rumah Feri untuk pertama kalinya.
“Perkenalkan Wan ini kakak ku. Namanya mbak Endang. Ini Iwan mbak temanku dari sekolah”, Feri memperkenalkan keduanya.
Rasa penasaran Iwan terbayar lunas setelah megetahui perempuan itu adalah saudara dari Feri yang merupakan anak sulung dari Pak Tomo. Endang sudah tidak lagi tinggal bersama ayah dan adiknya. Rumah Endang terletak di deretan paling depan rumah penduduk yang berdekatan dengan gapura masuk desa. Di sanalah Iwan melihat Endang di malam itu yang tampak ngeri membuatnya berpikir itu adalah sebuah penampakan ucapan selamat datang dari mahkluk halus penunggu desa yang ternyata bukan. Tapi walau bagaimana pun ia harus bisa membiasakan diri dan jaga sikap dengan kondisi Endang yang tangan kirinya buntung.
“Sudah dapat bambunya?”, tanya Pak Tomo.
“Ini cukup kan ya? Tadi aku ketemu sama Pak Lurah sekalian bilang kalau aku ambil bambu buat rumahnya mbak Endang juga”, ujar Feri.
“Ayo kita mulai keburu hujan lagi”, perintah Pak Tomo.
Para warga desa di sana menggunakan bambu kuning tersebut untuk melapisi pintu-pintu rumah mereka dan juga jendela-jendela rumah mereka di setiap musim hujan tiba. Tujuannya untuk menghalau tamu-tamu yang tidak diundang yang sering memaksa masuk ke dalam rumah yang bukan lagi milik mereka. Bambu kuning yang dibelah menjadi dua lalu dipaku di pintu dan jendela membuat para tamu yang hendak mendekat menjadi takut dan enggan untuk masuk. Situasi ini masih belum dimengerti sepenuhnya oleh Iwan yang memang bukan merupakan warga asli desa tersebut.
Sebagai seorang tamu yang menumpang tinggal di rumah temannya Iwan menahan segala rasa ingin tahunya tentang segala keanehan yang terjadi di desa. Mulai dari pemuda-pemuda seumurannya yang jarang bisa ditemui di desa ini. Kemudian ada bambu kuning yang dipergunakan demikian. Lalu saat dirinya melihat embung sewaktu menemani Feri mengambil bambu ia merasakan ada yang janggal dengan warna tanah lumpur di sana yang tampak berbeda. Belum lagi ada Endang yang tangan kirinya buntung. Ia sama sekali tak sampai hati untuk menanyakan kenapa hal itu menimpa kepada perempuan berparas ayu itu. Dan yang saat ini menjadi pertanyaan yang ada di benak Iwan adalah kemana ibu Feri? Ia sudah menemui ayah dan saudara kandung sang tuan rumah tapi ia sama sekali belum melihat sosok ibu di rumah itu.
“Wan nanti siang kau ikut ya aku ajak menemui Ibuku”, pinta Feri disela-sela mereka mengerjakan pintu bambu.
Siang harinya tidak hanya Feri dan Iwan yang bersiap berangkat untuk menemui sang ibu. Pak Tomo dan Endang juga turut serta. Bersama warga yang lain mereka bersama-sama pergi ke kuburan desa. Di sanalah mereka siang itu mengunjungi makam anggota keluarga mereka yang sudah terlebih dahulu berpulang ke alam yang abadi melalui jalan yang diberi nama kematian. Dan dari kegiatan berziarah itulah Iwan mengerti bahwasanya ibu dari Feri sudah meninggal. Pak Tomo, Feri dan Iwan pulang terlebih dahulu dari tempat pemakaman. Sementara Endang memilih untuk tinggal sebentar dan pulang sendirian.
“Mbak Endang sedang berziarah di makamnya siapa?”, Iwan penasaran.
“Itu makam suaminya”, jawab Feri.
Dari situlah alasan yang menjawab mengapa saat ini Endang tinggal di rumahnya sendirian. Dan baru jugalah Iwan menyadari bahwa status Endang adalah seorang janda yang sudah ditinggalkan untuk selamanya oleh mendiang sang suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments