Bisa dibilang hampir setiap hari hujan membasahi bumi. Memang sudah seperti itu jikalau musimnya sudah tiba. Air embung kini penuh terisi. Naasnya penampung air hujan itu sudah tidak dipedulikan lagi. Embung sudah mempunyai tuan yang baru yaitu manusia-manusia lumpur yang seram dan keji. Ketika lewat tengah malam para penghuni embung itu akan serempak keluar dari sarangnya untuk berjalan menuju desa demi mengunjungi rumah-rumah warga. Hujan deras adalah kekuatan bagi mereka. Di dalam hujan yang deras mereka bisa berbentuk dengan sempurna. Tujuan mereka hanya satu yaitu menangkap orang-orang desa untuk dibawa masuk ke dalam embung.
“Tok… tok… tok…”
“Tok… tok… tok…”
Di pagi hari yang cukup cerah dengan mentari yang muncul malu-malu bersama kabut tipis warga desa dibuat kaget sekaligus takut dengan suara kentongan yang dipukul berulang-ulang. Rupanya bunyi kentongan itu berasal dari rumah Sukri si sekretaris desa. Warga yang menyadarinya lantas menghampiri rumah warganya yang dekat dengan balai desa tersebut. Alasan Sukri membunyikan alarm kepada warga adalah bahwasanya sejak bangun di pagi itu ia kehilangan kakeknya. Ia sudah mencarinya di setiap sudut rumah tapi tidak juga ditemukan.
Sukri sendiri bukanlah asli warga desa sini. Baru sekitar dua tahunan ini ia menetap di desa tinggal bersama kakeknya yang hidup sendiri. Kakek Sukri atau yang dikenal dengan nama Mbah Kus memang usianya sudah lanjut bahkan akhir-akhir ini ingatannya juga sudah mulai berkurang. Sudah mulai pikun dimakan oleh usia dan kondisi kesehatannya.
Setelah dicari dan diselidiki oleh warga jejak terakhir mbah Kus ditemukan di jamban yang berlokasi di luar rumahnya. Ada sarung yang dikonfirmasi oleh Sukri kalau sarung itu adalah sarung yang sang kakek kenakan di malam sebelumnya ditemukan di jamban tersebut. Di depan jamban itu juga terdapat jejak kaki yang bisa dipastikan jejak kaki yang berukuran lebih besar dari ukuran normal kaki manusia itu adalah jejak kaki dari manusia lumpur. Jejak kaki yang dalam dengan warna khas hitam pekat tanah embung itu meninggalkan tanda kepada orang-orang bahwa mereka telah kehilangan satu warga mereka yang dibawa oleh manusia lumpur.
Lewat tengah malam mbah Kus terbangun dari tidurnya. Laki-laki tua itu merasakan mulas di perutnya yang membuatnya ingin segera buang air besar. Makan malam terakhirnya adalah ubi jalar yang manis berteman air putih hangat. Pantas saja mbah Kus tidak bisa menahan lagi untuk pergi ke jamban. Ia keluar dari pintu dapur menuju ke jamban di samping rumahnya. Gerimis tidak menghalanginya. Tidak apa jika harus basah sedikit dari pada harus basah penuh di celana. Sayangnya kondisi pikun mbah Kus membuatnya lupa dengan apa yang akan ia temui di luar sana.
Meski matanya sudah rabun tapi pendengaran orang tua itu masih tajam. Saat sedang menikmati buang hajat mbah Kus mendengar suara langkah yang begitu berat mendekatinya. Semakin jelas suara langkah-langkah itu mbah Kus juga mencium bau yang sangat khas yang tidak pernah mungkin ia dan warga desa yang lain bisa lupa. Bau itu adalah bau lumpur embung. Ketika menyadari itu semuanya sudah terlambat baginya. Manusia lumpur dengan mudah membuka pintu jamban kemudian mengangkat orang tua itu untuk dibawanya menuju embung.
Faktor usia menjadikan mbah Kus korban manusia lumpur pertama di musim hujan kali ini. Karena pikun ia melakukan itu semua tanpa memperhitungkan bahayanya. Di waktu malam hari di musim hujan para warga menyediakan wadah sendiri di dalam rumah yang dikhususkan jika mereka ingin buang air. Karena itulah mereka tidak melapisi pintu jamban dengan bambu kuning.
Setelah kepergian mbah Kus para warga hari itu juga langsung membuatkan makam atau kuburan yang bersifat simbolis sama seperti makam-makam yang dibuatkan kepada para korban manusia lumpur sebelumnya.
“Apa makam-makam itu juga hanya formalitas saja?”, tanya Iwan yang turut membantu menggali tanah untuk kuburan.
“Iya”, jawab Feri.
“Apa bedanya dengan makam yang asli?”, selidik Iwan.
“Kalau makam orang yang meninggal asli papan nisannya letaknya benar. Sedangkan kalau yang meninggal di embung papan nisannya kami balik,” terang Feri.
Mendengar penjelasan itu Iwan baru memperhatikan dan menyadarinya. Ia lalu melihat makam dari mendiang suami Endang yang ternyata papan nisannya terbalik. Nama dan hari tanggalnya dituliskan di papan nisan bagian bawah atau di bagian kaki kuburan.
Dalam perjalanan pulang dari makam perhatian Iwan selalu tertuju kepada sebuah rumah usang yang tampaknya sudah tidak berpenghuni. Ini adalah kali kedua ia pergi ke tempat pemakaman desa ia tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
“Fer. Rumah di pinggir jalan menuju ke pemakaman itu rumah siapa?”, tanya Iwan.
“Itu rumah kosong. Sudah lama tidak dihuni”, jawab Feri.
“Kemana penghuni lamanya?”, tanya Iwan lagi.
“Sudah pergi dari desa”, jawab Feri lagi.
“Kenapa pergi?”, tanya Iwan lagi yang membuat Feri heran dengan sikap temannya itu yang berubah layaknya seorang detektif yang sedang melakukan interogasi.
“Aku tidak tahu pastinya waktu itu aku masih kecil. Lagian siapa juga yang mau berlama-lama tinggal di rumah dekat kuburan seperti ini? Angker”, ungkap Feri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments